Sebuah Refleksi 2022
When everything
I believed in grew distant, when all this fame turned into shackles, please
take my desire away from me. No matter what it takes, oh, let me be myself.
(RM – Wildflower)
Seperti biasa, setiap tahunnya, saya punya dua rutinitas yang selalu saya lakukan. Pertama adalah membuat refleksi akhir tahun dengan mengingat-ingat apa saja yang terjadi di sepanjang tahun dan kedua adalah membuat resolusi. Rutinitas yang sudah saya jalani sejak SMP ini entah kenapa membantu saya untuk sejenak diam dan merenungkan kemana perginya 365 hari yang lalu itu, dan memetakan saya sedang berada di tahapan mana.
Tahun ini saya mencoba membuat refleksi dengan cara melihat semua foto-foto yang tersimpan di google photo dari Bulan Januari hingga Desember dan kemudian menuliskan highlight dari masing-masing bulannya. Setelah selesai menuliskan hal-hal yang ada di Bulan Desember, saya menarik nafas panjang dan langsung mengubah posisi duduk yang tadinya tegak lalu menyender. Refleks saya berkata, “Pantes kamu soak, Peh. Pantes kamu jadi jauh lebih jutek akhir-akhir ini, Peh. It is too much!”
Hingga saya tersadar bahwa hanya sedikit dari resolusi yang tercapai tahun ini. Untuk sejenak saya merasa gagal karena hanya bisa men-checklist sangat sedikit target. Saya merasa tidak bisa punya komitmen untuk melakukan target-target yang sudah saya tentukan di awal tahun. Sejenak saya memarahi diri saya sendiri yang merasa tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri untuk bisa fokus pada target-target yang sudah saya tetapkan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa 2022 menjadi tahun yang amat sangat sibuk bagi saya, bahkan setelah saya lulus kuliah hingga 8 tahun bekerja inilah tahun tersibuk yang pernah saya lalui. Tahun ini, entah berapa kota yang sudah saya kunjungi tahun ini, tidak terhitung berapa hotel untuk rapat intensif yang saya ikuti, hari-hari saya pulang malam dan keesokan harinya sudah hari bekerja lagi. Saya bahkan pernah ada dalam 4 kota berbeda dalam kurun waktu 4 hari. Jumat siang ke Pemalang, Sabtu siang ke Jogja, Minggu siang ke Jakarta, Senin dini hari ke Ambon. Tahun ini saja, saya pulang ke Jogja menjelang lebaran adalah H-2 dan bahkan ketika saya pergi liburan ke Korea Selatan, pagi hingga siangnya saya masih di kantor menyelesaikan laporan.
Namun, pikiran-pikiran negatif
itu hilang perlahan ketika beberapa foto mengingatkan saya pada emosi-emosi dari
setiap kejadian-kejadian di tahun ini. Misalnya, saat melihat foto-foto saat tugas
lapangan di Aceh, saya ingat rasanya guling-gulingan di kamar hotel hingga
membatalkan puasa karena sakit. Saat melihat foto kamar hotel bintang 5 tempat
saya tinggal, saya ingat sensasi mualnya karena bekerja hingga jam 10
malam. Atau saya perlu menenangkan diri saat seorang rekan kerja mem-block
nomor WhatsApp saya entah karena alasan apa. Perasaan-perasaan yang timbul itu
seakan memberikan pembenaran bahwa memang tidak banyak yang bisa saya lakukan
selain bekerja karena saya sudah kelelahan.
Mungkin benar, kalau saya kurang memiliki ketegasan dalam mengatur waktu, tidak disiplin dalam mengelola waktu, atau tidak bisa memfokuskan pada hal-hal yang ingin saya dalami. Tapi saya tidak bisa melupakan fakta bahwa saya ini juga bukan robot. Sebagai manusia, saya juga merasakan istilah-istilah sepeti emotionally drained, demotivasi, atau ya sesederhana mager setelah rapat yang bertubi-tubi yang dilakukan sepanjang minggu. Walaupun nyatanya di tahun ini saya sering menekan sisi-sisi humanis sebagai manusia agar tetap bisa bekerja, tapi di penghujung hari, tetap saja saya ini manusia biasa yang energinya habis karena terus-terusnya dipaksa untuk melakukan interaksi sosial. Dan jangan lupa fakta bahwa saya adalah seorang wanita yang setiap bulannya harus menghadapi hormon datang bulan yang membuat tubuh saya lemah dan kurang fokus. Sebagai manusia, banyak komponen yang tidak bisa saya abaikan sebagaimana yang saya lakukan pada usia 20an. Sehingga, jikapun badan saya tidak lelah dan saya masih ada tenaga untuk melakukan beberapa kegiatan untuk mencapai target-target saya tahun ini, pikiran dan energi saya yang tidak sanggup.
Namun, bukan berarti saya tidak memiliki capaian tahun ini. Banyak hal yang sudah tercapai tahun ini, walau itu semua diluar resolusi saya. Dan sebenarnya, tahun ini pun saya
sedang mulai belajar untuk menikmati hidup dan melihat hidup yang ada di depan mata saya. Karena
kalau diingat-ingat, apa yang saya jalani tahun ini adalah sesuatu yang sudah saya idam-idamkan sejak dulu. Tahun ini saya sebenarnya, saya sedang menjalani kehidupan
yang dulu mati-matian saya minta kepada Rabb. Namun entah kenapa, saya tetap merasa
bersalah karena resolusi saya tidak tercapai.
Tarik menarik antara keinginan
untuk menikmati apa yang saya sedang kerjakan dengan pikiran bahwa saya harus
mengejar target-target yang sudah disusun menjadi pertempuran paling keras
sepanjang tahun ini. Belum lagi saya merasa bahwa waktu yang sesekali saya
habiskan untuk melakukan hal-hal kurang produktif, seperti scrolling tiktok,
adalah sesuatu yang salah. Pun perasaan bahwa saya merasa perlu untuk segera
menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan, yang mana, sayapun tahu,
tidak ada satupun urusan pekerjaan yang bisa langsung selesai dan bersantai
sejenak itu bukanlah sebuah dosa. Bekerja itu kan maraton. Ada hal-hal yang
memang perlu kita hentikan sejenak untuk memberikan ruang pikiran kita bisa
berpikir lebih jernih dan kita tidak didera dengan kelehan karena ingin segera
menyelesaikan semua hal.
Ini menjadi refeleksi terbesar
tahun ini. Saya rasa, saya sedang berada di masa transisi antara saya hari ini
dengan diri saya 10 tahun yang lalu. Dulu saya selalu hidup dengan ambisi untuk
mempersiapkan diri menghadapi masa depan. Saya menjadi tidak bisa bersantai hingga
masa depan itu terjadi. Selama saya sekolah dari SD hingga SMA, setiap harinya
saya belajar agar setiap semester saya bisa dapat ranking tinggi dan ketika
lulus, saya bisa masuk jenjang pendidikan yang baik. Lalu saat kuliah, setiap
harinya diisi dengan hal-hal untuk mempersiapkan saya setelah lulus kuliah.
Bahkan saat sudah lulus kuliahpun, pekerjaan demi pekerjaan saya kerjakan
dengan pikiran kalau saya akan membutuhkan keahlian tersebut ketika berada di
satu jabatan tertentu. Bahkan kinipun ketika saya sudah berada di jabatan
tertentu yang saya persiapkan selama 8 tahun ini, saya sedang berfikir
bagaimana membuat diri saya lebih berguna lagi dengan membuat usaha baru. Di
mana titik hentinya?
Menyadari bahwa kita tidak boleh
lengah hingga kemudian hidup dalam zona nyaman tanpa memiliki ambisi apapun
adalah hal yang baik. Tapi jika kita sedang ada di titik menuai apa yang kita
tanam, tidak berdosa untuk duduk sejenak dan menikmati buahnya. Salahnya di
mana?
Seorang teman pernah bertanya, “Engga
sayang apa Peh apartemenya ditinggal terus gitu, kenapa engga ngekos aja,
uangnya ditabung buat sekalian beli rumah?”. Saya tersenyum dan membalas, “Karena
aku pengen punya kehidupan yang layak sekarang. Ngekos bikin aku kayak engga
punya kehidupan yang imbang. Aku pengen tinggal di tempat yang aku merasa
sangat hommy dan betah di sana. Karena kalau nabung-nabung buat kehidupan di
masa depan, aku engga tau kehidupan masa depan itu akan ada atau engga. Jadi
aku butuh menikmati hasil jerih payahku hari ini dengan cara menikmati hidup
yang layak.”
Mungkin itu adalah kuncinya. Bahwa
alih-alih saya menyalahkan diri sendiri atas banyaknya target yang tidak
tercapai tahun ini, saya perlu melihat yang hidup telah berikan kepada saya dan
bagaimana saya sebagai manusia yang memiliki jiwa, pikiran, dan tubuh saya
menikmati dan mensyukuri itu semua.
Tahun ini adalah tahun yang sibuk,
banyak target 2022 yang tidak tercapai, tapi di satu sisi, saya mencapai banyak
hal di luar resolusi saya, dan yang terpenting saya sedang menjalani dan
berusaha menikmati kehidupan yang ada di depan mata. Saya tidak akan menyesali apapun. Hidup yang ada di depan saya, adalah hidup yang layak saya nikmati.
Source: https://i.pinimg.com/564x/7c/b0/40/7cb04043809ca3ddcaa48af62ad3f59e.jpg |