"But we were
something, don't you think so?
Roaring 20s, tossing pennies in the pool
And if my wishes came true, it would've been you"
(Taylor Swift – The 1)
Baru-baru ini, saya bertemu
dengan seseorang. Saya mengajaknya pergi ke pantai karena saya sedang
suntuk-suntuknya bekerja dari rumah dan entah kenapa, saya kepikiran untuk
mengajak dia pergi. Agak random memang. Setelah saya hubungi, ternyata dia bersedia
menemani saya, dan di hari yang kita sepakati, kita berdua pergi ke pantai. Ternyata,
pertemuan kami dan agenda ke pantai dadakan itu malah sebuah reuni kecil
diantara kami.
Kami sudah mengenal sejak 2011,
saat kami masih sama-sama kuliah walau beda kampus. Saat itu saya bahkan masih
pakai hot pants dan berambut panjang tergerai tanpa hijab. Namun setelah kami
lulus kuliah dan mulai bekerja, sejak 2014 kami tidak sering berkomunikasi lagi.
Dan seingat saya, terakhir kali kami bertemu adalah 8 tahun yang lalu.
Awalnya saya membayangkan mungkin
pertemuan kami akan berjarak atau penuh kecanggungan, namun menariknya, sepanjangan
perjalanan pulang-pergi bersama dia, bagi saya, dia tidak berubah sama sekali.
Kami tertawa terbahak-bahak saat saya meledeknya bahwa selera musiknya masih
begitu-begitu saja, tidak ada perubahan. Cara dia menyentuh layar handphone-pun
masih sama, dengan jari tengahnya. Bahkan gaya dia membalas pesan WA saya pun
masih sama, tidak basa-basi. Dan tidak hanya itu, apa yang saya rasakan
padanya, juga tidak berubah. Tidak sedikitpun.
2011 saat kami masih sama-sama
kuliah dan kerja paruh waktu di tempat yang sama, dia adalah orang yang entah
bagaimana selalu bisa saya andalkan untuk antar-jemput di kala saya sedang
lelah. Tidak seperti orang lain yang memang ada maksud terselubung dengan
antar-jemput saya, bersama dia, rasanya seperti diantar-jemput orang yang tepat.
Dia bukan orang yang mahir memberi pesan tarik-ulur ala lelaki di awal 20
tahunan. Bagi dia, semuanya adalah tentang aksi yang nyata. Jadi pernah waktu
itu saya bilang, “Aku capek deh besok abis kuliah langsung kerja sampe malem”.
Dia tidak akan membalas dengan basa-basi, ‘Gimana, mau aku anter jemput?’. Tapi
dia akan langsung bilang, “Oke, besok jam 8 pagi siap-siap ya. Karena aku
kuliah pagi juga, jadi kamu siap lebih awal.”. Dan benar saja, jam 8 dia
akan ada di depan rumah, tanpa malamnya perlu konfirmasi ulang. Setelah
menjemput saya di rumah dan mengantar ke kampus, dia akan tanya, “Jemputnya
jam 2 ya?” Dan saya tinggal bilang, “iya”. Maka jam 2 siang, dia
akan ada di depan gerbang kampus, menjemput dan mengantar ke tempat kerja paruh
waktu. Saya tidak pernah punya peraaan yang meledak-ledak seperti perasaan kasmaran
jika sedang bersama dia. Saya tidak merasa ada kecamasan berlebihan atau merasa
harus memberikan impresi yang spektakuler. Bersama dia, saya merasa tenang,
cukup, dan bisa menjadi saya tanpa perlu banyak bicara. Maret 2022, bahkan saat
saya bertanya apakah dia bisa pergi ke pantai menemani saya, perasaan saya
padanya pun masih sama. Dia, masih seperti orang yang saya kenal di 2011.
Sepanjang perjalan dari rumah
saya di Jalan Kaliurang hingga ke Pantai Parangtritis, saya mencoba merangkum
hidup saya sesingkat mungkin agar dia mendapat gambaran apa yang sedang saya
lakukan selama ini. Pun dia, mencoba menceritakan pada saya apa yang dia alami
selama 8 tahun terakhir. Dan tukar cerita itu, bagi saya, berjalan seperti kita
tidak pernah hilang kontak bertahun-tahun. Mengalir saja.
Lalu kita ini apa? Hmmm apa ya?
Jika bicara soal membahasakan
sesuatu, semakin kesini saya semakin pusing dengan banyak sekali
istilah-istilah yang digunakan. Ada satu akun di tiktok yang membuat konten
tentang istilah-istilah yang populer di kalangan anak Jakarta Selatan. Dia sering
bilang, “Oh sekarang kalau cemas namanya panic attack. Kalau butuh liburan
tapi engga mau jauh-jauh namanya staycation atau healing.” Saya waktu liat
kontennya itu, hanya bisa tersenyum geli karna kok rasanya ribet sekali ya jadi
manusia hari ini yang apa-apa harus ada labelnya.
Entahlah, rasanya semakin kesini,
kita memang semakin haus mencari istilah. Rasanya kita perlu membahasakan semua
yang abstrak dengan sesuatu yang konkrit. Kita harus mengklasifikasi semua hal
pada folder-folder tertentu. Entah kenapa rasanya semua hal harus masuk pada
istilah umum.
Ini jadi mengingatkan saya pada series
terakhir yang saya tonton, Stranger Things. Di episode-episode awal
saat ibu Will, Mrs. Byers melihat penampakan si mahluk dari upside down
world, dia selalu tergagap bilang, “I see that…. That thing came out
from the wall”. Kita juga sebagai penonton tidak tahu harus menyebut si
mahluk itu apa, bahkan judul seriesnya saja Stranger Things. Seakan
menjelaskan betapa sulitnya itu dijelaskan.
Saya merasa banyak hal di hidup
saya seperti halnya mahluk alien di Stranger Things. Saya tidak tahu
harus membahasakan bagaimana atau menjelaskan dengan kata yang seperti apa, tapi
saya tau persis bahwa hal-hal itu terjadi. Saya sering tergagap dan bersembunyi
di balik kata-kata, ‘ya gitu deh pokoknya’ karena merasa tidak bisa
menerjemahkan dengan jelas apa yang saya rasakan, atau kejadian apa yang sedang
atau pernah terjadi dalam hidup saya. Saya merasa banyak hal di hidup saya atau
bahkan di dunia ini yang tidak bisa dikategorikan ke dalam istilah umum.
Istilah mantan pacar misalnya.
Apa sih itu yang disebut mantan pacar? Apa indikator seseorang menjadi mantan
pacar? Apakah harus diawali dengan jadian lalu ada kata putus diakhirnya?
Apakah mantan pacar dinilai dari seberapa berharganya hubungan yang dilalui?
Atau apa?
Contoh lainnya adalah penamaan
sahabat. Bagaimana seseorang itu layak disebut sahabat? Apakah setelah melewati
lebih dari sekian tahun pertemanan? Apakah harus bermusuhan dulu? Atau yang
bagaimana? Oh, satu lagi, tentang selingkuh. Pada posisi apa seseorang
dikatakan selingkuh? Apakah kalau sudah ada aksi nyatanya, atau hanya sebatas
menyimpan dalam hati? Jika hanya menyimpan dalam hati dan dikatakan selingkuh,
bagaimana membuktikannya? Tapi haruskah menunggu hingga kepergok baru bilang
selingkuh?
Benar kan, banyak hal yang
indikatornya saja tidak jelas, lantas mengapa kita selalu harus memasukan
segala hal pada kategori tertentu, atau merasa harus memberi nama yang jelas?
Memangnya kenapa jika banyak hal di dunia ini yang absurb apa adanya?
Kembali ke seseorang yang
menemani saya ke pantai. Di hidup saya, beberapa orang-orang tidak bisa saya
sebut hanya dengan istilah ‘teman’, namun kami juga tidak punya sesuatu yang special.
Hubungan kami seperti di tengah-tengah antara ada apa-apa dan tidak ada apa-apa.
Misalnya lagi, saya punya satu mantan pacar karena dia secara resmi nembak saya
dan saya bilang “iya, ayok kita pacaran”. Tapi dia bukan orang
membekas dalam hidup saya dan hubungan kami hanya berjalan satu bulan. Menurut
saya, itu tidak pas dikatakan mantan pacar. Sementara beberapa laki-laki yang
kehadirannya di hidup saya amat sangat membekas, tapi justru tidak pernah ada
hubungan resmi diantara kami.
Atau dalam hal persahabatan
misalnya, di periode tertentu, ada beberapa orang yang paling memahami saya karena
saya menghabiskan waktu untuk bercerita banyak hal pada mereka. Namun hari ini,
saya tidak tahu sedikitpun tentang mereka, beberapanya bahkan saya tidak lagi menyimpan
nomernya. Namun bagi saya, mereka tetap sahabat-sahabat saya, hubungan kami di rentang
waktu itu sangat berkesan dan saya akan berusaha mengingat mereka selamanya.
Tapi saya tidak akan mengatakan
bahwa semua hal harus dibiarkan absurb atau abu-abu. Ada beberapa hal dalam
hidup yang garis pemisahnya harus dibuat jelas memang. Hanya saja, perlu kita
pahami bahwa ada banyak hal di dunia ini yang sangat sulit sekali dimasukan pada label-label tertentu. Untuk hal-hal yang seperti ini, saya lebih suka
membiarkannya apa adanya.
Karena memang akan selalu ada orang-orang
di hidup kita yang saat namanya disebut, membuat kita terdiam sejenak dan berkata, ‘dia tuh… orang
yang….’. Beberapa pertistiwa juga tidak akan cukup dimasukan dalam kategori
yang umum. Beberapa peristiwa juga akan membuat kita terdiam sejenak dan
berkata, ‘sesuatu terjadi… aku sampe sakarang juga masih engga tau, itu
kenapa dan gimana. It just happened’.
Beberapa hal memang seperti Demorgorgon,
aneh tapi nyata.
Sumber Gambar:https://id.pinterest.com/pin/229683649737598932/ |
Tidak ada komentar
Posting Komentar