Senin, 03 Desember 2012

Kebetulan

Efek rumah kaca malam ini menyendukan pikiran dan hatinya dengan lumat.
Liriknya mengatakan bahwa jatuh cinta itu biasa saja.
Dia bertanya, apa memang seharusnya jatuh pada cinta itu sesuatu yang biasa saja?

Dia menatapnya. Tapi hanya punggung.
Awas dia mengawasi dan mengintip hidupnya. Tidak banyak, tapi dia tahu apa yang dia suka dan dia tengah geluti.
Dia menatapnya. Tapi hanya punggung.
Sebuah kolom pencarian nama di berbagai jejaring sosial sudah berteriak bosan padanya karena lagi dan lagi harus menerima nama yang sama. Hobi sekali dia mengintipnya.

Dia menatapnya. Tapi hanya punggung.
Hingga hatinya kadang bergoyang-goyang genit. Hingga hatinya mengalami demam.

Dia yang bodoh akan kode. Dia yang merasa bahwa semua hal di dunia adalah kode yang harus dipecahkan. Layaknya cerita horor, dia percaya dari setiap yang terjadi dalam kehidupan ini adalah misteri yang harus dipecahkan.
Tapi dia adalah si bodoh yang tak pernah mahir menebak kode.

Dia melihatnya.
Dengan sengaja menyempatkan waktu untuk melihatnya memakai toga wisuda. Kesengajaannya adalah untuk mengentaskan rasa ingin tahu yang mengebu. Baginya cukup.

Dan Tuhan sempat membalasnya untuk kedua kalinya.
Tepat saat dia tak memikirkan apa-apa lagi tentangnya, tepat saat dia berhenti mengintip hidupnya, tepat saat dia tak lagi ingin tahu tentangnya, tepat saat itulah Tuhan memainkan kuasaNya untuk membuat kode. Dibuatlah seperti kebetulan. Kebetulan yang kebetulan.
Mungkin karena Tuhan tahu bahwa dia bodoh akan kode, jadi semuanya terlihat kebetulan.
Ya, Tuhan mempertemukan lagi dia dengannya. Dengan jarak hanya empat langkah. Tanpa dia mampu berbuat apa-apa. Hanya mampu menatap.
"Tuhan memang cerdik" katanya dalam hati.

Kini dia lunglai,
Jika bisa dia berdoa, dia ingin menyudahi kelunglaian hati dan pikirannya yang aneh ini.
Kata hatinya jelas berkata "bahkan mengenalnya pun kamu tidak"
Kata logikanya jelas berkata "Layakpun belum tentu. Pantaspun kamu tak yakin"

Dia menatapnya. Tapi hanya punggung.

Padahal, saat dia sibuk menatapnya, seorang lain sibuk menatap dirinya. Tapi hanya menatap punggungnya, sama seperti yang dia lakukan padanya.

Jadilah, saling tatap menatap punggung ini dimulai. Dia yang menatap dia sedang ditatap pula oleh dia.
Andai saja dari mereka ada yang mau berbalik arah.
Andai dari mereka ada yang ikhlas memalingkan tatapan.
Mungkin mata akan bertemu mata, bukan lagi punggung.
Mungkin akan sepasang mata yang bertemu.
Andai saja.
tapi..

Yang terjadi adalah mereka menunggu agar para punggung itu mau berbalik badan dan menunjukan wajahnya.
Mereka menunggu. Mereka berharap. Klaim mereka adalah menuggu merupakan satu-satunya usaha. Padahal jika mereka merasa jatuh dalam cinta maka mereka harus berkenalan pada kepastian dan kenyataan.
Dan jadilah, mereka saling tatap menatap punggung. Untuk waktu yang...

Yang itulah masalahnya. Mau sampai kapan tatap menatap punggung ini selesai?



"selalu ada yang bernyanyi dan berelegi di balik awan hitam.
semoga ada, yang menerangi sisi gelap ini, 
menanti seperti pelangi menunggu hujan reda" Efek Rumah Kaca

Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall