Kamis, 04 Mei 2017

Jangan tunggu, mungkin ini saatnya

Mungkin tanpa sadar, kita terbiasa menetapkan indikator-indikator dalam hidup. Misalnya, kita akan merasa bahagia jika kita sudah begini atau begitu. Sehingga, jika kita belum begini atau begitu, maka kita akan dengan tegas mengatakan bahwa kita ini belum bahagia.  

Tapi menetapkan indikator juga bukan hal yang salah sih. Sebagai manusia, kita memang lebih mudah memahami hal-hal yang kongkrit daripada yang abstrak. Lebih mudah mengatakan kita senang karena mendapatkan bunga dari gebetan, daripada menjelaskan rasa kengen tengah malam yang tiba-tiba datang.   

Kita bisa-bisa saja punya indikator atas hal-hal yang membuat kita bahagia, sedih, dongkol atau jenis perasaan lainnya. Cukup pahami bahwa jika indikator itu sudah kita tetapkan, kita jadi punya semacam standar atau ukuran baku. Standar itulah yang menjadi awal lahirnya sebuah ekspektasi. Dan sering kali, ekspektasi itulah yang menjadi sumber kesedihan, kegembiraan, atau berbagai perasaan lainnya. Dengan kata lain, kitalah dalang dari perasaan-perasaan yang kita rasa.

Minggu lalu, seorang teman dekat saya mengabarkan bahwa mantan kekasih satu-satunya akhirnya menikah. Saya tanya bagaimana perasaannya, dan dia menjawab “Surprisingly ya Peh, biasa aja loh…”  

Saya kaget mendengar jawabannya. Karena seingat saya, saat pertama kali dia tau bahwa mantan pacarnya bertunangan, dia semacam terguncang hebat. Maka saya katakan, “Mungkin setelah kamu tau dia tunangan, kamu udah punya standar kesedihan, kalau-kalau suatu hari kamu tau dia menikah beneran. Dan kamu pasang standar kesedihannyanya terlalu tinggi, jadi pas kejadian beneran, engga begitu bikin kamu sedih”  

Dia jawab santai, “Mungkin juga… “   

Tapi, bolehkah kita bersedih, bergembira, kesal, atau marah tanpa indikator? Tanpa ekspektasi? Tanpa rencana? Bahkan tanpa punya standar baku?  

Tadinya saya mempunyai beberapa indikator yang saya pikir akan membuat saya sedih bukan kepalang kalau itu kejadian, atau senang bukan kepalang kalau itu kejadian. Lucunya, setelah kejadian itu benar-benar terjadi, perasaan saya sungguh berbeda dari apa yang saya bayangkan. Sebelum lulus misalnya, saya pikir masuk salah satu agensi iklan terkemuka akan membuat saya bangga dan happy. Lah, nyatanya saya malah terpuruk. Atau saya pikir, kalau saya resign dari radio tempat saya bekerja, saya akan galau berminggu-minggu. Eh, saya engga ada galau-galaunya tuh. Bahkan saat siaran terakhir.  

Dulu saya bayangkan wisuda akan jadi moment yang membahagiakan. Nyatanya biasa aja. Diterima judul proposal yang justru bikin saya bahagia. Kalau ingat hal ini, saya jadi menyesal kenapa harus memburu-buru proses wisuda. Saya kudunya rayakan aja dulu kesenangan saya saat judul skripsi di terima.   

Atau saya menyesal tidak menerima tawarannya untuk menjemput saya di bandara, atau mengantar keliling Jogja, karena saya pikir itu bukan saatnya. Tapi sekarang, saya rela melakukan apa saja agar dia bisa menjemput saya di Bandara, atau dia ke Jogja sehingga kita bisa jalan-jalan. Saya bisa saja bahagia saat itu, tapi saya tolak.   

Semacam ada dorongan untuk berkata, “Jangan senang dulu… ini belum apa-apa. Ini belum saatnya”.

Lah, justru kalau sekarang happy, ya engga usah ditahan-tahan dong. Belum tentu di waktunya nanti, kita akan beneran bahagia, kalau engga?  

Hal ini membuat saya belajar untuk menerima hari ini sebagaimana adanya. 

Misal, saya ingin membuat sebuah lemari buku yang lucu kalau saya punya rumah sendiri. Tapi…, kenapa harus tunggu punya rumah sendiri? Saya bisa bikin saat ini juga dan bahagia saat ini juga. 

Atau, kalau kelak di usia 30 an saya belum menikah, saya berpikir, mungkin saya akan sedih. Tapi kenapa harus sedih? Saya bisa beli apartemen sendiri dan bisa punya kehidupan yang seru jikapun saya belum menikah saat itu. 
Sebaliknya, tidak perlu tunggu besok untuk bersedih. Kalaupun ada hal-hal mengaggetkan yang membuat saya sedih, maka saya akan terima seperti tsunami yang tiba-tiba datang. Tidak perlu saya bayangkan saat ini. Toh belum kejadian.   

Saya akan belajar untuk bahagia saat ini juga dan menerima kesedihan saat sudah terjadi saja. hehehe 

Saya rasa, saya harus belajar untuk tidak punya aturan baku dalam perkara sedih dan senang. Sesekali, hidup akan saya buat mengalir apa adanya. Mensyukuri apa yang ada dulu, dan bersiap dengan kejutan esok hari.

Que sera sera.


Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall