Saya sebenarnya tidak pernah benar-benar melabeli diri saya pada sebuah identitas tertentu, atau lebih tepatnya saya tidak begitu tertarik untuk membuat saya dikonotasikan dengan sebuah unsur tertentu. Akan tetapi, saya tidak bisa memungkiri bahwa setiap manusia memiliki preferensi yang berbeda-beda akan kesukaan dan juga minat yang secara langsung atau tidak, pada akhirnya akan membuat kita memiliki identitas.
Ayah saya seorang Bugis murni dan Ibu adalah Sunda totok tanpa campuran. Dari dulu saya selalu kebingungan untuk menjawab pertanyaan orang tentang identitas asli saya. Walau semakin kesini, pertanyaan itu semakin mudah dijawab karena saya jauh lebih suka diasosiasikan dengan orang Bugis dibanding orang sunda. Sederhana karena saya lebih suka ketegasan yang ada di Bugis dibanding lemah gemulainya Sunda.
Saya dari dulu benci sekali lagu-lagu cinta pinggiran yang mengumbar makna cinta yang mudah dipahami. Rasanya telinga dan hati saya secara otomatis menolak lagu-lagu itu, dan terlebih saya tidak mau diasosiakan dengan mereka yang menggandrungi lagu-lagu begitu. Bagi saya, semakin sastra dan sulitnya lirik sebuah lagu dibuat, semakin baguslah lagu itu. Maka saya lebih menggilai jalur musik alternatif dibanding yang umum didengar.
Sadar atau tidak, tapi saya tidak pernah berhasil jatuh cinta pada lelaki yang pemikirannya terlalu standar akan hal-hal. Saya tidak akan pernah tahan dengan lelaki yang tidak bisa memuaskan saya jika kami sedang mengobrol. Mau bagaimanapun dia merayu, selama dia tidak bisa mengobrol banyak hal dengan saya, maka selama itu juga saya tidak akan tertarik.
Saya punya definisi sendiri tentang apa itu eksistensi, apa itu pekerjaan, apa itu uang, apa itu bahagia. Kadang itu semuapun berlawanan dengan pendapat umum.
Tapi tetap saja, saya tidak merasa bahwa saya ingin melebeli diri saya sebagai jurusan anti mainstream atau hipster. Saya hanya merasa bahwa saya memiliki beberapa preferensi akan sesuatu yang untuk beberapa hal mungkin berbeda dengan orang lain. Tapi saya juga tidak sendiri, orang-orang seperti saya juga banyak.
Sehingga kadang saya merasa nyaman dan aman saja sendirian tanpa perlu mengikuti pendapat orang-orang. Hingga tak lama munculah kritik, bahwa hidup saya tidak bisa terlalu idealis. Bahwa mengakui saya orang Sunda itu bukan berarti bahwa saya lemah gemulai dalam pandangan yang jelek. Atau menyanyikan satu atau dua lagu cinta umum, bukan berarti saya menghianati idealisme saya. Atau mulailah untuk melebarkan preferensi saya akan lelaki. Begitu kata beberapa orang berpendapat.
Maka sesekali saya mencoba mengikuti arus, mengikuti kemana kebanyakan orang berfikir dan bertindak. Namun rupanya, manusia memang memiliki preferensi masing-masing yang tidak bisa dipaksakan.
Jadi biarkan saja kalau saya lebih menyukai musik alternatif, lebih menyukai dibilang orang Bugis, akan selalu terarik pada lelaki yang secara intelektual lebih baik dari saya. Bahkan menurut saya, itu semuapun bukan bagian dari mempertahankan idealisme, itu semua hanya bagian dari perbedaan preferensi dan bagaimana kita menjadi diri kita sendiri.
Ini tentang bagaimana kita mengapresiasi identitas-identitas diri kita.
Ini tentang bagaimana kita mengapresiasi identitas-identitas diri kita.
Tidak ada komentar
Posting Komentar