Dalam beberapa tahun terakhir,
saya sering mendengar istilah toxic productivity. Sebuah istilah baru
yang menjelaskan bagaimana kebanyakan masyarakat di perkotaan merasa bersalah
jika mereka beristirahat. Setelah membaca konsep itu lebih dalam, saya jujur sulit
menilai apakah saya masuk dalam kategori toxic productivity atau tidak. Karena
bagi saya, tidak ada salahnya jika kita selalu berusaha untuk produktif, dan
lagi pula, yang seperti apa sih yang dinamakan toxic itu? Malah kalau menurut
saya, justru lebih baik over produktif daripada waktu sengganggnya dipakai
untuk hal-hal tidak berfaedah.
Tapi sebenarnya, jauh sebelum
saya mengenal istilah toxic productivity, saya sudah mengenal konsep check-list.
Sebuah konsep yang saya maknai sejak kecil bahwa setiap harinya saya harus
membuat check list dan mencentangnya. Jika ada hari di mana saya gagal
mencentang check list tersebut, entah kenapa saya merasa gagal.
Mungkin, ini semua berawal ketika
saya masih ada di bangku Sekolah Dasar. SD saya waktu itu mengharuskan setiap
siswanya mengisi buku aktivitas siswa bernama Buku Kegiatan. Didalamnya kami
perlu mengisi check list dari matrik aktivitas yang tertera di buku tersebut.
Mulai dari sholat 5 waktu, baca Al Quran, belajar, hingga kalau tidak salah
berbuat baik pada sekitar, dan itu semua harus diberikan paraf orang tua. Buku Kegiatan
itu wajib dikumpulkan tiap pagi di meja guru piket, dan akan dikembalikan lagi
saat pulang sekolah. Jika ada siswa yang tidak membawa buku itu, maka akan
diberikan hukuman, entah itu memimpin baca Al-Quran atau piket tambahan. Jadi
kebayang ya, bagaimana setiap malamnya saya sibuk mencentang semuanya dan
meminta paraf orang tua.
Lalu sesampainya di rumah, selama
SD, sebelum tidur, kedua orang tua saya akan memanggil saya dan bertanya apakah
saya sudah melakukan tugas-tugas saya. “Udah ngerjain PR? Udah bantuin mbak
siram tanaman? Buku-buku udah dimasukin semua?”. Beberapa kali saya harus
berbohong karena saya takut menjawab ada dari hal-hal tersebut yang belum saya
kerjakan.
Hal itu berlanjut saat SMP. Tapi
karena tidak lagi ada Buku Kegiatan yang wajib diisi, saya punya satu binder
yang isinya adalah check list kegiatan yang harus saya lakukan. Mulai
dari membaca materi A, mengerjakan PR, hingga check list ekstra
kurikuler. Kalau sudah selesai dengan list-list tersebut, saya akan
dengan lega mencoretnya. Kebiasaan itu terus berlanjut hingga saya SMA dengan
kegiatan yang 2 kali lebih sibuknya. Bahkan hingga hari ini saya memasuki
kepala tiga pun, kebiasan membuat check list menjadi hal wajib yang
harus saya lakukan.
Dari situlah saya merasa, ritme dan
kualitas hidup saya sangat ditentukan dari check list yang saya buat dan
yang sudah berhasil saya centang. Pertanyaannya,
apakah saya pernah menuliskan dalam list tersebut hal-hal untuk diri
saya sendiri? Seperti misalnya, “Makan eskrim enak tanpa diminta adek”, “Tidur
siang yang nyenyak tanpa takut telat masuk les.” Atau sesederhana, “Main
sepuasnya, pulang kalau capek saja”. Tentu saja tidak. Hal-hal seperti itu
tidak pernah ada dalam daftar saya. Karena semua check list yang saya
buat adalah upaya agar saya bisa menjadi siswa terbaik dan menjadi netizen yang
baik.
Check list memang membantu
saya agar saya bisa mendapatkan hasil yang baik dalam kehidupan akademik dan sekarang
pekerjaan. Tapi apakah check list membantu saya menjadi pribadi yang lebih
menikmati hidup?
Hingga tahun 2022, untuk pertama
kalinya saya melakukan perjalan ke Korea Selatan seorang diri untuk liburan. Karena
ini adalah perjalanan jalan-jalan ke luar negeri sendirian pertama kalinya,
saya punya pikiran kalau saya tidak boleh rugi waktu dan uang. Pokoknya, apapun
yang terjadi, saya harus menikmati liburan saya hingga detik terakhir. Sayapun
mulai membuat rencana perjalanan yang tidak ambisius namun cukup padat. Karena
saya mulai dari pergi ke Busan untuk menonton konser BTS, maka saya
mengestimasikan di Busan selama 3 hari, lalu pergi ke daerah pegunungan,
Gyeongju selama 3 hari, dan lalu pegi ke Seoul selama 3 hari. Harapannya, 9
hari saya di Korea Selatan, saya bisa maksimalkan dengan baik. Semua tempat-tempat
yang ingin saya kunjungi, tempat makanan, hingga barang-barang yang ingin saya
beli, semua ada dalam check list saya.
Saat itulah saya mulai menyadari
sesuatu.
Jadi, singkat cerita, sebelum
saya pergi ke Korea Selatan, saya baru saja menyelesaikan kegiatan monitoring
dan evaluasi di Kalimantan selatan dan setelah itu saya wajib untuk ikut
workshop finalisasi hasil temuan selama 3 hari yang mana juga harus
berkejar-kejaran dengan pekerjaan lain. Walaupun bos saya sudah tahu bahwa saya
akan cuti selama 12 hari, namun hari terakhir workshop temuan lapangan
sangat mepet dengan keberangkatan saya ke Korea Selatan, sehingga saya belum
secara final menyelesaikan laporan saya. Padahal saya sudah membuat check
list bahwa semua kerjaan harus selesai sebelum saya ke Korea Selatan.
Namun jangankan laporan selesai, saya bahkan saangat terburu-buru pulang dari
kantor untuk bisa persiapan ke Korea Selatan malamnya. Alhasil saya ke Korea Selatan
dengan membawa beban pikiran, laporan saya belum selesai!
Saat sampai di Korea Selatan,
agenda pertama saya adalah nonton konser BTS, maka saya langsung mengaktivasi fangirling
mode. Semua berjalan sangat baik hingga dan saya sudah mencentang check list
‘menonton Konser BTS’. Barulah di
hari kedua, saya terbangun dengan pikiran, “Aku punya check list yang harus
saya lakukan. Ayo Ipeh, bangun” yang mana di saat yang bersamaan, saya
punya pikiran, “Aduh, laporan saya belum selesai” dan saya masih dalam
eforia habis nonton konser BTS, “Aduh, Jimin ganteng banget.”
Alhasil, dengan badan yang masih
rontok setelah nonton konser BTS, saya bangun, mandi, dan membuka laptop sambil
menyelesaikan laporan lapangan saya. Hngga saya tersadar bahwa waktu hampir
sore dan saya hampir membuang waktu saya di Korsel untuk menyelesaikan
pekerjaan. Saya merasa check list hari kedua tidak bisa saya laksanakan,
padahal saya sudah membuat list dari pagi hingga malam hari. Di situ
saya merasa amat sangat frustasi.
Sore itu saya memutuskan untuk segera
menutup laptop dan menikmati Busan. Di momen itu juga saya bilang ke diri saya
sendiri bahwa bukan salah saya jika timeline saya ke tugas lapangan itu
mepet dengan jadwal keberangkatan saya ke Korea Selatan yang memang sudah
jauh-jauh hari saya rencananakan. Bukan salah saya jika jika laporan itu belum
selesai karena saya punya pekerjaan inti yang juga harus saya selesaikan. Di
sebuah sore di Busan, sambil berjalan kaki menuju pasar tradisionalnya, saya
tarik nafas panjang dan berkata lirih, “Kalau habis ini aku dinilai tidak
perform, tidak apa-apa. Aku punya keterbatasan”.
Tidak hanya bertekad untuk tidak
menyelesaikan laporan saya selama saya di Korsel, tapi juga saya mengabaikan
semua check list yang saya buat untuk 9 hari saya di Korea Selatan,
tentang tempat-tempat yang harus saya kunjungi, tentang makanan-makanan yang
harus saya makan, tentang apapun itu. Sore itu, saya menikmati Busan tanpa
beban.
Hari-hari selanjutnya di Korea
Selatan saya hanya melihat check list saya sepintas dan menjadikan itu sebagai
panduan saja, bukan kewajiban. Saya memutuskan untuk tidak mengukur
keberhasilan saya dalam 9 hari itu dengan seberapa banyak check list
yang sudah tercentang. Hanya sebatas panduan yang jika mood dan energi
saya pas, saya akan menepatinya. Saya melakukan banyak improvisasi dan lebih
menikmati waktu. Saya memutuskan untuk lebih lama di Busan dan melamun di
pantai lebih lama dan mengurangi waktu di Seoul. Entah kenapa, saya merasa
sangat hidup selama liburan saya di Korsel.
Perjalanan selama 9 hari di Korea
Selatan menyadarkan saya bahwa semakin terpakunya saya pada check list,
semakin sulitnya saya menikmati hidup yang sedang terjadi saat itu juga. Mungkin
sebenarnya bukan check list-nya yang salah, namun kebiasaan saya yang
tidak pernah memasukan kebutuhan emosional saya dalam list tersebut yang
membuat saya tidak bisa menikmati hidup dengan maksimal. Ditambah cara saya
memperlakukan check list sebagai indikator keberhasilan saya sebagai
manusia.
Saya tidak akan berhenti
menggunakan check list, karena check list tetap membantu saya
menjadi seseorang yang memiliki etos kerja yang baik dan memiliki prestasi yang
baik sejak sekolah hingga bekerja. Check list membuat saya tetap
memiliki panduan, terutama jika saya sedang hilang arah. Check list
membantu saya tetap bergerak dan tidak membuang-buang waktu hanya untuk karena
malas.
Namun saya tidak boleh lupa,
bahwa dalam hidup, akan banyak check list yang butuh lama agar kita bisa mencentangnya.
Anggaplah, ‘sembuh dari trauma masa kecil’, ‘memproses emosi setelah dimarahin
bos’, ‘memulihkan rasa percaya setelah dihianati kekasih’. Check list
semacam itu tidak akan benar-benar bisa kita centang. Semakin diburu-buru untuk
mencentangnya, semakin sulit menikmati prosesnya. Untuk itu, saya akan belajar
untuk hanya menulis satu check list besar tanpa harus saya dikte
turunanannya.
Dan check list tersebut adalah 'Menikmati hidup saat ini'.