Minggu, 02 Juli 2023

Tidak Ada Check List Hari Ini

Dalam beberapa tahun terakhir, saya sering mendengar istilah toxic productivity. Sebuah istilah baru yang menjelaskan bagaimana kebanyakan masyarakat di perkotaan merasa bersalah jika mereka beristirahat. Setelah membaca konsep itu lebih dalam, saya jujur sulit menilai apakah saya masuk dalam kategori toxic productivity atau tidak. Karena bagi saya, tidak ada salahnya jika kita selalu berusaha untuk produktif, dan lagi pula, yang seperti apa sih yang dinamakan toxic itu? Malah kalau menurut saya, justru lebih baik over produktif daripada waktu sengganggnya dipakai untuk hal-hal tidak berfaedah.

Tapi sebenarnya, jauh sebelum saya mengenal istilah toxic productivity, saya sudah mengenal konsep check-list. Sebuah konsep yang saya maknai sejak kecil bahwa setiap harinya saya harus membuat check list dan mencentangnya. Jika ada hari di mana saya gagal mencentang check list tersebut, entah kenapa saya merasa gagal.

Mungkin, ini semua berawal ketika saya masih ada di bangku Sekolah Dasar. SD saya waktu itu mengharuskan setiap siswanya mengisi buku aktivitas siswa bernama Buku Kegiatan. Didalamnya kami perlu mengisi check list dari matrik aktivitas yang tertera di buku tersebut. Mulai dari sholat 5 waktu, baca Al Quran, belajar, hingga kalau tidak salah berbuat baik pada sekitar, dan itu semua harus diberikan paraf orang tua. Buku Kegiatan itu wajib dikumpulkan tiap pagi di meja guru piket, dan akan dikembalikan lagi saat pulang sekolah. Jika ada siswa yang tidak membawa buku itu, maka akan diberikan hukuman, entah itu memimpin baca Al-Quran atau piket tambahan. Jadi kebayang ya, bagaimana setiap malamnya saya sibuk mencentang semuanya dan meminta paraf orang tua.

Lalu sesampainya di rumah, selama SD, sebelum tidur, kedua orang tua saya akan memanggil saya dan bertanya apakah saya sudah melakukan tugas-tugas saya. “Udah ngerjain PR? Udah bantuin mbak siram tanaman? Buku-buku udah dimasukin semua?”. Beberapa kali saya harus berbohong karena saya takut menjawab ada dari hal-hal tersebut yang belum saya kerjakan.

Hal itu berlanjut saat SMP. Tapi karena tidak lagi ada Buku Kegiatan yang wajib diisi, saya punya satu binder yang isinya adalah check list kegiatan yang harus saya lakukan. Mulai dari membaca materi A, mengerjakan PR, hingga check list ekstra kurikuler. Kalau sudah selesai dengan list-list tersebut, saya akan dengan lega mencoretnya. Kebiasaan itu terus berlanjut hingga saya SMA dengan kegiatan yang 2 kali lebih sibuknya. Bahkan hingga hari ini saya memasuki kepala tiga pun, kebiasan membuat check list menjadi hal wajib yang harus saya lakukan.

Dari situlah saya merasa, ritme dan kualitas hidup saya sangat ditentukan dari check list yang saya buat dan yang sudah berhasil saya centang.  Pertanyaannya, apakah saya pernah menuliskan dalam list tersebut hal-hal untuk diri saya sendiri? Seperti misalnya, “Makan eskrim enak tanpa diminta adek”, “Tidur siang yang nyenyak tanpa takut telat masuk les.” Atau sesederhana, “Main sepuasnya, pulang kalau capek saja”. Tentu saja tidak. Hal-hal seperti itu tidak pernah ada dalam daftar saya. Karena semua check list yang saya buat adalah upaya agar saya bisa menjadi siswa terbaik dan menjadi netizen yang baik.

Check list memang membantu saya agar saya bisa mendapatkan hasil yang baik dalam kehidupan akademik dan sekarang pekerjaan. Tapi apakah check list membantu saya menjadi pribadi yang lebih menikmati hidup?

Hingga tahun 2022, untuk pertama kalinya saya melakukan perjalan ke Korea Selatan seorang diri untuk liburan. Karena ini adalah perjalanan jalan-jalan ke luar negeri sendirian pertama kalinya, saya punya pikiran kalau saya tidak boleh rugi waktu dan uang. Pokoknya, apapun yang terjadi, saya harus menikmati liburan saya hingga detik terakhir. Sayapun mulai membuat rencana perjalanan yang tidak ambisius namun cukup padat. Karena saya mulai dari pergi ke Busan untuk menonton konser BTS, maka saya mengestimasikan di Busan selama 3 hari, lalu pergi ke daerah pegunungan, Gyeongju selama 3 hari, dan lalu pegi ke Seoul selama 3 hari. Harapannya, 9 hari saya di Korea Selatan, saya bisa maksimalkan dengan baik. Semua tempat-tempat yang ingin saya kunjungi, tempat makanan, hingga barang-barang yang ingin saya beli, semua ada dalam check list saya.

Saat itulah saya mulai menyadari sesuatu.

Jadi, singkat cerita, sebelum saya pergi ke Korea Selatan, saya baru saja menyelesaikan kegiatan monitoring dan evaluasi di Kalimantan selatan dan setelah itu saya wajib untuk ikut workshop finalisasi hasil temuan selama 3 hari yang mana juga harus berkejar-kejaran dengan pekerjaan lain. Walaupun bos saya sudah tahu bahwa saya akan cuti selama 12 hari, namun hari terakhir workshop temuan lapangan sangat mepet dengan keberangkatan saya ke Korea Selatan, sehingga saya belum secara final menyelesaikan laporan saya. Padahal saya sudah membuat check list bahwa semua kerjaan harus selesai sebelum saya ke Korea Selatan. Namun jangankan laporan selesai, saya bahkan saangat terburu-buru pulang dari kantor untuk bisa persiapan ke Korea Selatan malamnya. Alhasil saya ke Korea Selatan dengan membawa beban pikiran, laporan saya belum selesai!

Saat sampai di Korea Selatan, agenda pertama saya adalah nonton konser BTS, maka saya langsung mengaktivasi fangirling mode. Semua berjalan sangat baik hingga dan saya sudah mencentang check list ‘menonton Konser BTS’.  Barulah di hari kedua, saya terbangun dengan pikiran, “Aku punya check list yang harus saya lakukan. Ayo Ipeh, bangun” yang mana di saat yang bersamaan, saya punya pikiran, “Aduh, laporan saya belum selesai” dan saya masih dalam eforia habis nonton konser BTS, “Aduh, Jimin ganteng banget.”

Alhasil, dengan badan yang masih rontok setelah nonton konser BTS, saya bangun, mandi, dan membuka laptop sambil menyelesaikan laporan lapangan saya. Hngga saya tersadar bahwa waktu hampir sore dan saya hampir membuang waktu saya di Korsel untuk menyelesaikan pekerjaan. Saya merasa check list hari kedua tidak bisa saya laksanakan, padahal saya sudah membuat list dari pagi hingga malam hari. Di situ saya merasa amat sangat frustasi.

Sore itu saya memutuskan untuk segera menutup laptop dan menikmati Busan. Di momen itu juga saya bilang ke diri saya sendiri bahwa bukan salah saya jika timeline saya ke tugas lapangan itu mepet dengan jadwal keberangkatan saya ke Korea Selatan yang memang sudah jauh-jauh hari saya rencananakan. Bukan salah saya jika jika laporan itu belum selesai karena saya punya pekerjaan inti yang juga harus saya selesaikan. Di sebuah sore di Busan, sambil berjalan kaki menuju pasar tradisionalnya, saya tarik nafas panjang dan berkata lirih, “Kalau habis ini aku dinilai tidak perform, tidak apa-apa. Aku punya keterbatasan”.

Tidak hanya bertekad untuk tidak menyelesaikan laporan saya selama saya di Korsel, tapi juga saya mengabaikan semua check list yang saya buat untuk 9 hari saya di Korea Selatan, tentang tempat-tempat yang harus saya kunjungi, tentang makanan-makanan yang harus saya makan, tentang apapun itu. Sore itu, saya menikmati Busan tanpa beban.

Hari-hari selanjutnya di Korea Selatan saya hanya melihat check list saya sepintas dan menjadikan itu sebagai panduan saja, bukan kewajiban. Saya memutuskan untuk tidak mengukur keberhasilan saya dalam 9 hari itu dengan seberapa banyak check list yang sudah tercentang. Hanya sebatas panduan yang jika mood dan energi saya pas, saya akan menepatinya. Saya melakukan banyak improvisasi dan lebih menikmati waktu. Saya memutuskan untuk lebih lama di Busan dan melamun di pantai lebih lama dan mengurangi waktu di Seoul. Entah kenapa, saya merasa sangat hidup selama liburan saya di Korsel.

Perjalanan selama 9 hari di Korea Selatan menyadarkan saya bahwa semakin terpakunya saya pada check list, semakin sulitnya saya menikmati hidup yang sedang terjadi saat itu juga. Mungkin sebenarnya bukan check list-nya yang salah, namun kebiasaan saya yang tidak pernah memasukan kebutuhan emosional saya dalam list tersebut yang membuat saya tidak bisa menikmati hidup dengan maksimal. Ditambah cara saya memperlakukan check list sebagai indikator keberhasilan saya sebagai manusia.

Saya tidak akan berhenti menggunakan check list, karena check list tetap membantu saya menjadi seseorang yang memiliki etos kerja yang baik dan memiliki prestasi yang baik sejak sekolah hingga bekerja. Check list membuat saya tetap memiliki panduan, terutama jika saya sedang hilang arah. Check list membantu saya tetap bergerak dan tidak membuang-buang waktu hanya untuk karena malas.

Namun saya tidak boleh lupa, bahwa dalam hidup, akan banyak check list yang butuh lama agar kita bisa mencentangnya. Anggaplah, ‘sembuh dari trauma masa kecil’, ‘memproses emosi setelah dimarahin bos’, ‘memulihkan rasa percaya setelah dihianati kekasih’. Check list semacam itu tidak akan benar-benar bisa kita centang. Semakin diburu-buru untuk mencentangnya, semakin sulit menikmati prosesnya. Untuk itu, saya akan belajar untuk hanya menulis satu check list besar tanpa harus saya dikte turunanannya. 

Dan check list tersebut adalah 'Menikmati hidup saat ini'.


Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall