Berdebat dengannya tidak hanya sanggup melumpuhkan jaringan saraf logisku, tapi juga saraf emosiku. Seketika, aku tak punya kalimat yang sanggup aku gunakan sebagai pedang untuk melawannya. Aku hanya memiliki nafas yang memburu dan keinginan untuk lekas mengahiri perdebatan demi perdebatan dengannya.
“Ada beda yang jelas antara kamu butuh aku, dengan kamu butuh seseorang. Antara kamu nyerah sama hubungan ini, dengan kamu nyerah sama aku. Antara kamu engga mau perjuangin hubungan ini, atau kamu yang emang engga mau berjuang demi aku?”
Kali ini, dia kembali datang membawa pertanyaan-pertanyaan. Entah dia yang terlalu banyak berfikir, atau aku yang memang terlalu logis, atau sebaliknya.
“Coba kamu pikir baik-baik. Kamu itu nyerah sama aku, bukan sama hubungan ini. Kamu engga mau berjuang kalau cuma demi aku, kamu bahkan engga mencoba perjuangin hubungin ini. Dan mungkin.... Mungkin... Mungkin, kamu engga butuh aku, karena kamu cuma butuh seseorang”
Aku diam. Ingin menjawab dan sekaligus menciumnya agar lekas diam. Entah mana yang harus lebih dulu aku lakukan.
“Aku engga pernah nyerah sama kamu. Tapi iya, aku nyerah sama hubungan ini. Aku mau berjuang demi kamu. Dan kamu dan semuanya yang ada di kamu, adalah apa yang aku mau. Coba kamu pikir baik-baik, apa kamu juga begitu?”
Setiap kali dia marah, kecewa, atau apapun itu, semua kalimat demi kalimatnya diucapkan dengan tenang. Tanpa intonasi atau suara yang meninggi. Seperti lautan yang tampak tenang namun bergemuruh di dasarnya.
Dia selalu sanggup memaksaku berfikir dan menyeretku pada satu ketakutan: bagaimana jika dia ternyata benar?
Sial!
Tidak ada komentar
Posting Komentar