Sabtu, 05 November 2016

Malam Terakhir Dengan Shofi dan Obrolan Metafisika

“Aku paham sih gimana pandangan orang-orang itu kalau liat kita Peh. Kita percaya sesuatu yang bagi mereka itu engga ada”  
(Shofi Awanis, 2016)  

Tidak semua orang mempunyai teman bicara yang seimbang untuk memperbincangkan topik-topik berat seperti metafisika. Beruntungnya saya, saya punya Shofi Awanis. 
Perempuan mandiri nan cerdas yang saya kenal sejak masih di komunikasi.  

Kalau sudah ketemu Shofi, rasanya semua hal yang paling tabu sampai yang paling ruwet, habis kami perbincangkan. Dan dengan semangat sok tau, kami analisa topik-topik itu dengan bermodalkan buku-buku yang pernah kami baca.   

Di malam terakhir sebelum Shofi ke Amerika, kami menyempatkan diri untuk bertemu dan duduk di kafe Affandi. Semacam perpisahanlah. Setelah membahas tentang kisah asmara masing-masing, kami beranjak ke topik tentang rencana hidup ke depan, dan akhirnya membahas tentang Tuhan.   

Tuhan dan hal-hal metafisika yang mengelilingiNya membuat kami betah berdiskusi. 

Kami sepakat untuk tidak pernah melebeli diri kami dengan sebuah cap tertentu. Liberal atau konvensional, bagi kami itu hanya akan membatasi kami berpikir. Tapi yang jelas, pada malam itu, kami butuh asupan logika dari hal-hal yang tidak tampak. Malam itu, kami seperti butuh berbincang tentang alasan kenapa kami masih menjadi seorang islam hingga hari ini.  

Itu dimulai dari pertanyaan saya, “Kenapa kamu masih jadi Islam Shof?”.   

Dan obrolan demi obrolanpun berlanjut. Seperti cara Shofi berfikir “Aku mau ke Amerika Peh, pakai jilbab itu ga safety buat aku. Tujuan jilbab di Al-Qur’an itu satu untuk menjaga diri, dan dua untuk dikenali. Aku merasa, alasan pertama engga lagi relevan! Justru aku ga aman pakai jilbab di sana, tapi aku masih akan pakai jilbab, karena aku harus dikenali sebagai seorang muslim. Al-Quran minta aku supaya aku dikenali. Untuk alasan yang kedua, aku pertahanin jilbabku”  

Kami memperbincangkan Tuhan, agama, alam semesta, penciptaan manusia hingga konsep takdir selama berjam-jam. Tidak semuanya kami sepakati bersama, tapi kami sampai pada satu titik kesimpulan yang sama: menjadi islam adalah cara kami dalam mengiyakan mau Tuhan. 
Kami setuju bahwa manusia harus menemukan apa itu Tuhan sebelum melebeli diri dengan sebuah agama. Karena kalau tidak, selamanya dia akan menganggap agama sebagai sebuah dogma tanpa paham esensinya. Atau selamanya dia akan melihat agama dari bungkusnya, bukan isinya.   

Malam itu juga, kami membahas jawaban dari pertanyaan “kenapa ya kita kudu sholat?” dari kacamata logika, dan bukan sebatas jawaban “Itu sudah perintah, kalau dilanggar dosa!”.  

Percakapan panjang malam itu, membuat saya selalu yakin atas Islam dan menjadi Islam. Saya melihat konsep yang sempurna dari agama ini, dimana logika saya bisa mencerna dan hati saya terasa mantap.  

Saya belum menjadi Islam yang baik, jadi jangan sekali-kali lihat saya sebagai contoh. Tapi Islam sebagai sebuah konsep agama, bagi saya adalah paling masuk akal saat ini.   

Terimakasih Shofi untuk selalu mau berbicara tentang rationalitas dari hal-hal yang irrational.

Baik-baik di Amrik yaa ;)


Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall