Di suatu pagi menjelang siang, seorang teman bercerita pada saya dengan nada sedikit geram. Ternyata, agenda kopi darat yang akan dia lakukan dengan seorang lelaki gagal terlaksana. Begini ceritanya, teman saya itu sedang menghadiri pesta pernikahan temannya yang lain di luar kota, kebetulan di kota yang sama itu jugalah si lelaki itu tinggal. Maka si teman saya itu berpikiran bahwa inilah saat yang tepat untuk mereka saling bertemu. Awal mula si teman saya dan lelaki itu saling mengenal adalah karena campur tangan keluarga besar mereka masing-masing. Berhubung keduanya sedang mencari pasangan hidup, maka bagi teman saya itu, ide kopi darat ini pas untuk dilakukan. Saya sebagai temannya, sudah sibuk mencie-cie kan dia sejak sebelum dia berangkat ke luar kota. Dan berhubung si teman saya itu sedang aktif berkopi darat sana-sini, kesempatan ini bukan hal yang baru. Biasa aja...
Tapi rencana tinggalah rencana, karena pertemuan itu gagal total. "Dia masa bilang ya Peh... di posisi aku udah siap nunggu dia, 'Lah, aku kira engga jadi'. Langsung aja aku screenshot WA kita, aku kirimin ke dia, biar dia tau kalau aku engga pernah membatalkan apapun.", katanya menggebu.
Saya yang melihat screenshot itu juga harus setuju, bahwa teman saya ini tidak membatalkan janjinya untuk bertemu. Bahkan dia dengan tegas bertanya melalui pesan singkat itu, 'besok jadi kan?' dan dibalas 'insha Allah'.
Maka sayapun balik bertanya, "Kok dia bisa berpendapat kamu batalin sih?"
"Kan aku pasang status gambar singa itu loh Peh, tahu kan? nah dia komen, dia bilang 'kucing garong'. Ya udah engga aku bales chat dia lagi. Lagian mau bales apa juga kan? Nah... mungkin aja dia ngerasa karena aku engga bales, itu artinya aku engga jadi ketemuan sama dia"
"Kok aneh sih? Trus kamu bales apa pas dia bilang 'kirain engga jadi' itu?"
"Ya aku nasehatin dia lah, abis ku sebel banget. Aku bilang aja, jangan diulangi lagi ke siapapun karena itu engga baik. Aku bilang kalau aku ini tamu dan dia itu tuan rumah, ya kalau tuan rumah emang engga mau ketemu, jangan nawarin bukain pintu, jangan malah tamu yang disuruh nunggu. Aku juga bilang sama dia, 'tahu gitu kan aku pulang ke Jakartanya sore aja, engga usah malem. Aku kan pulang malem karena kamu ngajak ketemuannya malem'."
Saya ngangguk-ngangguk...
"Dia terus bilang kalau di tempat dia ujan, Peh. Ya emang ujan sih Peh... tapi cuma bentar. Jadi alesannya juga aneh. Abis itu, abis aku nasehati dia, eh dia malah bales gini... 'terserah kamu mau anggap aku apa, aku minta maaf ya"
"Kamu tanggepin?"
"Aku jawab pas di kereta, aku bilang aku maafin tapi jangan diulangi, trus aku hapus chatnya. Sebel deh. Trus aku sugesti diri kalau dia itu ga worth it bikin aku marah lama-lama. Dia juga kan bukan siapa-siapa..."
Kita terdiam sejenak...
"Apa gitu loh susahnya bilang kalau emang dia engga mau ketemu. Kan aku bisa susun rencana lain. Kayak gitu kan basic ya..."
"Mungkin bagi dia, kamu engga bales itu... bisa diartikan kalau kamu ngebatalin janji....?"
"Ya kan dia bisa mastiin lagi. Lagian engga ada kalimat yang bilang kalau aku engga jadi ketemu sama dia. Ya kan? Childish banget dia tuh. Tahu gitu kan aku pulangnya sore aja. Hih sebel!"
Saya dan teman saya akhirnya melanjutkan pembicaraan kami siang itu sambil makan tahu baxo khas Semarang yang dia bawa sebagai oleh-oleh.
Di hari yang sama, tetiba mama saya Whatsapp dan meminta tolong untuk menghubungi adik bungsu saya, Enzo. Mama saya bilang kalau si Enzo ngambek dan engga mau diajak pergi, dan berharap saya bisa membujuk dia supaya ngambeknya tidak terlalu lama. Maka sayapun coba hubungi Enzo. Awalnya saya cerita basa-basi kalau madu yang saya beli, pas dibuka tutupnya eh meledak (ini beneran).
Enzo awalnya menimpali dengan lucu, eh lama-lama... tanpa saya mintapun akhirnya dia mau curhat. Remaja kelas 1 SMP ini bilang kalau harusnya dia punya janji main basket dengan adik perempuan saya Pasha di hari Sabtu, tapi mama tetiba muncul dengan agenda lain dan ngotot. Enzo engga dikasih ruang buat menjelaskan agendanya dan yang ada mama malah maksa. Dengan polosnya Enzo berkata, "Kan aku jadi engga jadi basket, mama semua-semuanya diurusin deh." Kekecewaan yang sangat beralasan bagi saya. Ya siapa sih yang suka jadwalnya dibongkar-pasang mendadak begitu? Bahkan bagi Enzo si remaja tanggung ini, hal-hal seperti itu seharusnya engga kejadian. Kayak... ya kalau orang udah punya agenda, ya tanya dulu dong kalau mau ngerubah. Basic gitu...
Pernah sekali waktu saya jalan-jalan ke sebuah mall dan kebelet pipis. Kebetulan di kamar mandi perempuan antriannya panjang. Kami semua mengantri dengan model berbaris satu garis, jadi nantinya kalau ada pintu toilet manapun yang terbuka duluan, maka orang yang paling depan yang akan masuk lebih dulu. Lalu tetiba, ada seseorang yang nyelonong dan berdiri di salah satu pintu kamar mandi dan mengantri di situ. Beruntungnya, dia tidak harus lama mengantri karena pintu toilet itu terbuka sehingga dia bisa langsung masuk. Semua wanita yang mengantri, termasuk saya cuma bisa geleng-geleng kepala melihat perilaku mbak yang satu itu. Dalam hati kami semua mungkin berkata, 'Tjuy! Engga liat apa ini kita semua ngantri panjang? Situ langsung aja ngantri depan toilet'. Kayak.... hal seperti itu kan basic banget ya... masa sih harus juga diajarin?
Mau contoh kasus lebih banyak? Coba deh cek twitter. Di twitter banyak kejadian bagaimana hal-hal yang mungkin basic tapi nyatanya tidak basic bagi orang lain. Ada orang yang tidak mau membayar pesanan makanannya di aplikasi online dan malah memarahi driver online-nya. Ada orang yang malah marah waktu ditegur karena naik motor di trotoar. Ada orang yang ketika makan food court, meja yang harusnya untuk umum, malah dipakai untuk makan sendirian padahal sedang banyak orang yang tidak kebagian tempat. Ada orang menyerobot naik kendaraan umum, dia lupa peraturan dasar bahwa penumpang yang hendak keluar seharusnya diberi jalan terlebih dahulu, barulah penumpang yang akan naik itu bisa masuk. Dan lain-lainnya yang kalau saya tulis semua bisa jadi lembaran manuskrip.
Basic loh ini padahal, engga perlu lagi diajarin lagi kalau sudah dewasa seharusnya, tapi kenapa kasusnya makin beragam ya?
Mencoba melihat dari perspektif sebaliknya. Saya jadi ingat ketika saya berada di posisi yang tidak memahami ke 'basic' an ini. Pernah suatu ketika, saat ulang tahun radio tempat saya dulu bekerja mengadakan acara ulang tahun, seluruh penyiar dan crews mengadakan acara makan malam di sebuah restoran sambil membuat foto bersama. Sebagai salah satu yang menggagas idenya, di hari H tersebut saya jutsru datang terlambat nyaris 1 jam lebih. Dan bukan karena kesalahan teknis, tapi karena saya keasikan nonton drama series. Tapi sebentar, belajar dari pengalaman yang sudah-sudah, anak-anak radio saya ini punya kebiasaan telat yang gila-gilaan. Jadi saya berfikir bahwa mungkin kali ini juga akan telat seperti yang sudah-sudah. Dan dari info terakhir yang saya pahami, acaranya akan berlangsung sampai malam, makanya saya agak santai dan malas-malasan.
Sampai di sana, semua orang sudah memasang muka engga enak. Dan saya masih lempeng-lempeng saja... sampai salah satu rekan kerja saya bilang, "Kamu engga sadar ya Peh, salah kamu apa?" Saya langsung deg. Di titik itu saya merasa bahwa keterlambatan saya cukup fatal. Saya akhirnya meminta maaf dan mencoba untuk menjelaskan kondisinya dengan perasaan carut marut. Jadi ternyata, sebagai bagian dari kerjasama, pihak restoran tersebut hanya menyediakan waktu 2 jam saja untuk kami. Untuk itu acara dimulai tepat jam 4 sore sampai jam 6 sore saja, dan selebihnya adalah acara bebas yang tidak termasuk dalam paket kerjasama ulang tahun. Ada salah pemahaman yang saya tangkap. Dan berhubung saya datang sudah mendekati jam 5 lebih, ya tentulah semua orang keki, karena acara ulang tahun itu tidak bisa terlaksana dengan ideal karena menunggu kedatangan saya.
Tapi baru kali itu mereka semua datang tepat waktu, makanya saya kaget! Saya tahu kok kalau datang terlambat itu engga baik, tapi toh mereka juga selalu datang terlambat selama ini, jadi saya kira ya akan biasa saja. Nah... dari sini lah akhirnya saya menyadari konsep basic ini semakin ke sini, semakin bias dan ambigu. Dan karenanya, kita sering memberikan banyak toleransi pada diri kita sendiri untuk melalukan hal-hal yang sebenarnya kurang menyenangkan bagi orang lain, serambi berkata dengan santainya:
"Aku ngaret 2 jam, biasa aja tuh..."
"Biasa aja ah, engga usah terimakasih kayak apa, emang udah tanggung jawab dia kali buat ngelakuin itu"
"Dasar A@&88909--hjk, gua doain ketabrak..."
"Engga usah lebay deh, gitu aja dipermasalahin"
"Iya udah iya maaf, lagian kan udah kejadian kan, ya udah lah..."
"Jangan baper deh, aku kalau digituin juga bakal biasa aja kok"
"Ah elah... bohong-bohong dikit gapapa kali"
Di sinilah pemakluman itu terjadi. Saya baru saja pertama kali melihat anak-anak radio saya itu on time, saya engga punya ekspektasi itu akan jadi msalah. Si lelaki yang seharusnya diajak kopi darat oleh teman saya itu, mungkin dia baru pertama kali mendapat pengalaman melakukan kopi darat dan akhirnya merasa grogi sehingga berperilaku begitu. Mama saya mungkin engga tahu bagaimana caranya untuk berkomunikasi dengan anak remaja. Dan si mbak-mbak penyerobot di toilet itu, mungkin itu adalah pengalaman pertamanya masuk toilet di mall, jadi cuma itu yang dia tahu, kalau ngantri ya di depan pintunya langsung. Sehingga saya dan orang-orang ini, kami belum memahami dengan baik apa itu basic.
Tapi tenang saja... toh semesta tidak akan tinggal diam dan semua orang akan punya pelajaran pertamanya. Di satu titik, satu per satu kejadian dan perilaku tidak mengenakan yang sadar atau tidak sadar kita lakukan itu, nantinya akan berbalik menyerang diri kita sendiri. Dan di saat itulah kita akan berkata:
"Gilak ya... ada loh orang, udah tau dia yang salah, eh masih bisa ngeles..."
"Dia yang bikin ini ribet, dia juga yang ngegas"
"Masa ya dia engga bisa ngeliat kalau apa yang dia lakuin itu ngerugiin orang?"
"Apa sih susahnya ngomong? Kan tinggal di jelasin aja kan?"
"Udahlah dia salah, masih loh gengsi, trus marah-marah..."
"Ada loh ya... orang udah dibantu kayak apa, masih aja lempeng, terimakasih engga... apa kek..."
"Wow, udah dinasehatin dengan baik, masih aja defense! Mantab!"
HA!
Dan di sini lah penyamaan persepsi itu terjadi. Beginilah cara manusia belajar untuk lebih peka pada hal-hal yang basic: yaitu saat mereka sudah kena batunya. Saat akhirnya kita tahu bagaimana tidak enaknya saat janji dibatalkan tanpa pemberitahuan, saat kita akhirnya merasa terluka saat difitnah, saat kita akhirnya gemas sendiri dengan perilaku orang lain yang tidak tahu rasanya berterimakasih, saat itulah hukum sebab akibat berlaku.
Saya pun sebenarnya juga bingung bagaimana harus menjelaskan arti kata 'basic' ini, ya karena itu tadi, rupanya tiap-tiap orang mempunyai standar dan nilainya masing-masing dalam berperilaku. Tapi idealnya... sebagai manusia, kita semestinya lebih tahu bagaimana cara memperlakukan spesies yang sama dengan diri kita sendiri, tanpa perlu diajari berkali-kali, atau sampai mengikuti kelas-kelas kepribadian. Ya... hal-hal basic. Hal-hal yang secara alami bisa kita rasakan sejak lahir.
Misalnya, kalau kita merasa lebih senang ditraktir dan merasa kesal kalau dihutangi (apalagi tanpa ada niatan membayar dari orang yang bersangkutan), ya tentunya orang lain yang berspesies manusia juga akan merasakan hal yang sama dengan kita. Basic. Semua orang yang dibohongi dan injak-injak harga dirinya akan marah, dan sebaliknya, jika seseorang itu dipuji, maka dia akan sumringah. Basic. Walaupun dalam beberapa konteks, hal itu bisa menjadi lebih rumit karena perbedaan kultur, budaya, pola asuh, lingkungan, dan lain sebagainya. Tapi terlepas dari itu semua, saya yakin bahwa semua manusia pasti punya satu garis merah yang sama, yang tidak akan berubah hingga mentari tak bersinar lagi, yaitu semua manusia selalu suka diberi hal-hal yang baik dan benci mendapat hal-hal yang buruk. Basic.
Kecuali tiga kondisi: Dia belum merasakan hal tersebut menimpa dirinya, dia memang terlahir anomali, atau dia luar biasa bebal!
Sebuah ucapan kuno 'perlakukanlah orang lain sebagaimana kamu ingin diperlalukan', mungkin bisa dijadikan sebagai sebuah penjelasan yang lengkap tentang bagaimana kita bisa menerapkan basic ini ke siapapun.
Ini memang tentang interaksi dengan sesama manusia. Kita akan diminta untuk selalu bertanya pada intuisi, bahwa kalau kita saja tidak nyaman diperlakukan demikian, kenapa kita berharap orang lain akan merasa nyaman? Dan kalaupun kita yang mendapat perlakuan tidak menyenangkan itu, coba maklumi saja, mungkin itu kali pertama dia melakukan itu sehingga persepsi akan basic ini tidak sama. Shantay...
PS: Jangan pakai tas ransel di punggung kalau sedang naik transjakarta, tapi taruh di depan, karena orang lain jadi susah masuk dan geraknya, dan kamu engga bisa monitor ruang gerak penumpang lain! Ini sungguhlah basic! Kecuali kalau kamu baru pertama kali naik transjakarta, ya oke lah, aku maklum.