Saat awal-awal mengenalnya, aku
sempat bertanya apakah namanya itu memang ada kaitannya dengan Bulan November?
Seperti jika seseorang bernama Julia, dia mungkin lahir di bulan Juli, atau
Agustina yang bisa jadi lahir di bulan Agustus, apakah namanya juga berarti
demikian? Dia pun mengiyakan. Maka semenjak itu, aku selalu mengingat bulan
November sebagai bulan kelahirannya. Walau tidak pernah mengucapkan secara
langsung, tapi aku masih ingat tanggal pastinya kapan dia berulang tahun.
Perkenalan kami sudah terjadi
lama sekali. Waktu itu aku masih menjadi seorang siswi di sekolah menengah atas
dan dia adalah seorang alumni yang jaraknya cukup jauh dari aku, 4 atau 5 tahun
kalau tidak salah. Aku bertemu dengannya pertama kali di acara reuni akbar yang
mengundang alumni dari tahun 90an hingga alumni yang baru lulus di tahun itu. Aku
sedang mengobrol dengan seorang alumni lainnya saat dia memasuki ruangan yang
sama. Aku sadar dia menatapku dan setelah itu dia semacam mencoba masuk ke dalam
percakapan antara aku dan alumni yang sedang aku ajak bicara. Agak mengganggu
sebenarnya. Itu kali pertama semesta mengirimkannya padaku. Aku masih berumur
kalau tidak 15 ya 16 tahun. Masih belia pokoknya.
Selanjutnya adalah kisah yang
panjang. Sangat panjang, sampai-sampai di pagi hari saat aku menuliskan ini,
aku harus berkali-kali diam sejenak, membuang nafas berat karena ingatanku akan
dia berloncatan dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya, dan dari satu emosi
ke emosi lainnya.
Aku juga tidak tahu apakah aku
harus menyebut ini sebuah kisah asmara atau kisah apa, tapi yang jelas, pernah
ada satu masa di mana semua tulisanku hanya berkisar pada dia saja. Bahwa
dalang dibalik semua emosi-emosiku pada saat itu adalah dia. Seorang teman yang
mengenal kami berdua pernah berkata, “Kalian itu selalu aja begini selama
bertahun-tahun, kalau yang satu suka, yang satunya biasa aja. Kalau yang
satunya gantian suka, yang satunya udah sama yang lain. Kalau yang satu ketemu
aku, pasti bakal nanyain yang satunya, yang satunya kalau dikasih tau kalau dia
ditanyain, terus jadi gantian nanya juga. Gitu aja terus…” Mungkin kalau kisah
ini diangkat jadi sinetron di layar kaca, ratingnya sudah anjlok karena terlalu
monoton ritmenya.
Apa yang sebenarnya terjadi pada
kami juga bukan sesuatu yang mudah aku bahasakan. Sulit sekali untuk
menyimpulkan perasaanku padanya, perasaan dia padaku, atau bagaimana kami bisa
ada di satu kisah yang sangat panjang. Tapi kami sepertinya harus sepakat bahwa
ada masa dalam hidup kami berdua, di mana kami berharap satu sama lain bisa menemani
kehidupan satu sama lainnya. Sayangnya, sama seperti yang teman kami katakan
itu, kami tidak pernah ada dalam satu waktu yang sama saat keinginan itu ada. Selalu saja, takdir membuat kami beririsan.
Terlepas dari apa yang kami
rasakan, dia adalah lelaki pertama yang membuat emosiku jatuh bangun. Aku tidak
bicara soal cinta pertama karena memang bukan dia orangnya, aku sedang bicara
tentang bagaimana aku mengenal keterikatan emosi pada lawan jenis untuk pertama
kalinya. Mungkin ini lebih tepat dikatakan sebagai pengalaman pertamaku
mengenal emosi dalam bentuk rasa suka.
Waktu aku mengenalnya dan kisah
ini pertama kali ada, aku masih berusia belasan tahun sementara dia seorang
mahasiswa. Beberapa alumni yang sering menjadi pembimbing ekstrakurikuler di
sekolah dulu sempat beberapa kali memberitahuku tentang perasaanya, tapi pada
saat itu, jujur aku tidak tahu harus merespon bagaimana. Bahkan hingga
bertahun-tahun setelahnyapun, aku masih saja gagap, bingung harus bersikap seperti apa. Kesalahan terbesar dari ketidaktahuanku menghadapi dia
adalah caraku yang menggantungkan dia dan semua perasaannya dalam waktu yang
lama. Aku bertindak seolah-olah aku tertarik padanya, padahal sebenarnya aku
tidak benar-benar yakin dengan apa yang harus aku lakukan. Kami sama-sama awam
dalam memahami ini, terutamanya aku.
Pola seperti itu terjadi cukup lama.
Aku antara ada dan tiada baginya, dan dia yang akan selalu ada buatku. Hingga di
satu titik, akhirnya diapun melangkah maju dan memiliki kehidupannya sendiri.
Aku sempat merasa tertinggal saat mengetahui dia sudah memiliki kehidupan baru
yang tidak ada kaitannya dengan aku. Lama-kelamaan, kamipun berjarak, tapi
tidak benar-benar hilang. Aku tumbuh menjadi manusia dewasa dengan semua mimpi
yang aku kejar dan kisah-kisah baru dengan lelaki-lelaki lain. Begitu pula
dengan dia. Tapi setiap kali mengingat dia, ada sesuatu yang mengganjal di hati.
Aku seperti dihantui hutang penjelasan atas semua sikapku padanya selama
bertahun-tahun. Selalu saja muncul keinginan untuk bertemu dengannya dan berbicara
panjang tentang hal ini, mamun aku juga tidak tahu harus memberikan penjelasan
apa. Aku tidak punya kata yang tepat untuk menjelaskan apa yang terjadi karena
aku juga tidak tahu kenapa itu terjadi. Maka akupun pasrah dan membiarkan
keganjalan ini tetap ada di hidupku selama bertahun-tahun lamanya.
Kepasrahanku rupanya membuahkan
hasil. Pelan tapi pasti, waktu dan rangkaian kejadian seakan memberikan keping
demi keping pemahaman yang membuatku bisa memahami semua perasaan mengganjal
ini. Hingga akhirnya, semua kepingan itu membentuk sebuah penjelasan yang utuh
tentang dia, aku, dan apa yang sebenarnya terjadi.
Maka di sebuah hari di bulan Desember tahun 2019, setelah lebih dari 10
tahun kami saling mengenal, aku memberikannya sebuah penjelasan. Aku tidak
tahu sebenarnya apakah penjelasan itu adalah hal yang penting atau tidak, dan
apakah hal itu dia butuhkan atau tidak. Yang aku tahu adalah aku harus
menyampaikan ini untuk diriku sendiri. Seperti sebuah hutang, aku merasa perlu
memberikannya penjelasan.
Kami sepakat bertemu di daerah
Setiabudi, Jakarta Selatan. Aku berangkat di jam yang tepat, agar aku tidak
membuatnya menunggu. Cukup deg-degan
sebenarnya. Aku pun sampai di tempat yang dia arahkan, dan dari kejauhan aku sudah
bisa melihat sosoknya yang masih sama, tinggi menjulang! Diapun menyapaku
ramah. Sudah lama sekali aku tidak mendengar suara dan ketawanya itu. Dia
memboncengku dengan motor tuanya yang sangat retro, khas dia. Dia masih menjadi
seorang copywriter, posisi yang sejak
dulu selalu dia inginkan, dan dia masih memiliki hobi yang sama, melahap banyak
buku dan karya seni. Sepintas, dia masih menjadi sosok yang sama dari terakhir
kali kami bertemu.
Kami duduk dan makan siang di
rumah makan yang dia pilih. Lalu akupun mulai bercerita, memberikannya
penjelasan yang memang sudah aku persiapkan jauh-jauh hari. Saat berbicara,
kadang-kadang aku menerawang dan nafasku tetiba memburu. Sedang dia, dia takzim
mendengar. Akhirnya dengan susah payah, aku dapat menyelesaikan semua penjelasanku.
Dia tidak banyak berkomentar, walau raut mukanya banyak berubah. Aku mencoba
memahami kalau tentu saja tidak banyak hal yang bisa dia sampaikan padaku. Dia toh
harus mencerna dan mengatur emosinya juga. Walau sejujurnya aku ingin mendengar
dia mengatakan sesuatu tentang apa yang dia rasakan. Tapi nihil.
Karena sudah telalu lama di
tempat makan, kamipun pindah ke sebuah kedai kopi di salah satu pusat
pembelanjaan di daerah Setiabudi. Hari itu, entah ada skenario apa, kami
bertemu dengan teman baiknya yang juga merupakan alumni yang aku kenal baik.
Kebetulan alumni itu sedang mampir ke Jakarta bersama dengan istri, ipar, dan
anak-anaknya. Maka kamipun melakukan reuni kecil-kecilan sambil berbincang
ringan. Agak sedikit canggung sebenarnya karena sudah sangat lama aku tidak
pernah bertemu dengan si alumni itu. Tidak lama, rombongan dari Jogja itupun
pamit pulang dan menyisakan kembali aku dan dia.
Karena dia tidak juga mengatakan
apapun, aku hendak mengakhiri hari itu dengan berpamitan. Aku berkata bahwa aku
akan pulang naik transjakarta karena toh sudah sore. Mendengar itu, raut
mukanya seperti enggan tapi akhirnya dia setuju. Dia membujuk untuk menemaniku
berjalan hingga halte transjakarta. Aku menolak awalnya karena aku butuh waktu
untuk berjalan sendiri, tapi dia memaksa, maka kamipun berjalan menuju halte.
Ada sebuah bangku panjang di
pinggir jalan dekat dengan jembatan penyebarangan menuju halte transjakarta yang
akan aku tuju. Kamipun memutuskan untuk duduk sebentar di situ. Pas sekali
karena langit sore waktu itu sedang cerah dan lalu lintas Jakarta juga tidak
padat. Cocok memang untuk duduk-duduk sore.
Kamipun duduk.
Sama-sama diam.
“Kayaknya daritadi aku terus ya yang ngomong? Engga mau cerita apa
gitu?” tanyaku. Dia menggeleng.
Kesabaranku seketika hilang. Aku tidak tahu kenapa aku harus duduk menikmati
langit sore Jakarta dengan seseorang yang sudah aku lukai perasaanya, sementara
dia diam saja. Seperti menyiksa diri dengan melihat dia tetap diam
sementara aku butuh waktu untuk bernafas. Akhinya terjadilah yang tidak aku
rencanakan, sesuatu yang aku sesali hingga hari ini, aku memaksanya
berbicara. Dengan nada agak tinggi aku berkata, “At least tell me what you feel!” Dia akhirnya berkata beberapa hal yang
menurutku hanya karena keterpaksaan saja, selebihnya dia kembali diam.
Aku tidak tahan.
Di akhir waktu kami di bangku
itu, dia bertanya apakah dia bisa mengajaku pergi lagi. Aku pribadi tidak tahu
apakah itu ide yang bagus atau tidak untuk kami saling bertemu setelah hari itu,
tapi aku katakan bahwa tentu saja aku tidak akan menolak kalau dia mengajaku
pergi di lain hari. Walau sebenarnya aku sanksi hari itu akan terjadi.
Setelah kebisuan yang panjang dan
emosikupun sudah terkuras habis, maka aku berpamitan padanya. Aku memintanya untuk tidak menemaniku
berjalan. Dia setuju.
Ketika menaiki jembatan
penyebrangan menuju halte transjakarta, dadaku terasa ringan, semua keganjalan
itu seperti pecah. Aku tersenyum di sore itu, lega. Aku sudah mengakui
kesalahanku, semua sikap kekanak-kanakanku, mengakui akar masalahnya. Aku merasa
hutang itu telah terbayar. Ada memang perasaaan tidak enak muncul ketika
membayangkan bahwa mungkin dia terluka dengan pertemuan ini. Sempat ada
hasrat untuk menghubunginya lagi, sekedar untuk bertanya kabarnya, tapi aku urung.
Apapun yang dia rasakan harus dia hadapi sendiri. Setidaknya aku tidak perlu
ikut campur untuk bagaimana cara dia menghadapi pertemuannya denganku. Karena
kalau tidak, aku masih menjadi orang yang sama yang membuat kami hanya
berputar-putar di situ-situ saja.
Maka di hari itu, kisah panjang
inipun memiliki sebuah penjelasan diakhirnya. Sesuatu yang aku syukuri karena
tidak semua kisah memilikinya. Dan kini setiap kali aku melintas di area
Setiabudi dan melihat bangku di pinggir jalan itu, aku akan selalu mengingat bagaimana
bangku itu telah menjadi saksi bisu dua emosi manusia yang pecah di sebuah
sore.
Begitulah satu hari yang panjang
bersama dengan lelaki yang pernah bertanya, “Lagi baca buku apa bulan ini?” dengan intonasi yang benar-benar
tulus karena dia juga seorang kutu buku. Lelaki pertama yang mengajaku menonton
teater dan berbicara panjang lebar tentang seni. Lelaki yang mengenalkanku pada
dunia periklanan dan Efek Rumah Kaca. Lelaki yang pernah
membuat degup jantung berdebar kencang dan air mataku tumpah berhari-hari
karenanya. Dia adalah lelaki yang lahir di bulan November dan aku akan selalu
mengenangnya sebagai satu dari sangat sedikit lelaki yang membentukku hingga
menjadi aku di hari ini.
Aku sangat bersyukur kisah antara
aku dan dia pernah ada.