Senin, 14 Januari 2013

Tamu

Entah bagaimana caranya mengabaikan tamu itu.
Segala cara, coba aku lakukan.
Membaca? Ribuan kata sudah aku lahap dari puluhan buku, namun tetap saja nihil.
Mendengar musik? Abaikan! sudah ribuan lirik dari berbagai nada aku yang aku benamkan di telinga ini, tapi hasilnya tetap saja sia-sia.
Menyibukan diri? Ribuan detik aku berikan pada ratusan obrolan dengan orang yang berbeda, namun tetap saja tidak mumpuni.

tamu itu menyita pikiran!

Sejenak aku berfikir, tamu ini brengsek juga ya. Karenanya hari ku yang tadinya berjalan dengan warna merah menyala berubah menjadi biru sendu.

Hanya karena ada tamu itu,
aku menghabiskan waktu berhari-hari untuk memilih jenis gelas apa yang akan tuangkan minum saat tamu itu datang.
Aku rela mencicipi ribuan jenis kudapan, hingga perutku buncit, hanya agar aku mendatkan kudapan yang layak untuk aku suguhkan.
Aku rela membayar mahal tukang ledeng, agar ketika hujan tamu itu tidak kehujanan karena bocor.
Aku rela untuk membeli baju termahal yang pernah ada agar aku layak menyambutnya.
Aku rela. Bodohnya, aku tak tahu persis, kenapa aku rela.
Padahal dia sekedar tamu!

Tamu itu, sontak membuat ketidak wajaran hormonku bekerja.
Jantungku? adakah yang mau menerima jantung dengan degup paling kencang di dunia ini?
Pikiranku? soak sudah karena memikirkan hal yang sama untuk waktu yang lama.
Hatiku? Diantara semuanya, hatiku yang paling takut. Dia punya prasangka bahwa tamu ini berpotensi menjadi pencuri

Untuk itulah, aku menjaga betul semua barang di rumahku.
Menaruh semua perhiasan dan kristal dalam lemari besi dan aku kunci rapat-rapat
Semua alat elektronik, aku masukan pada kamar.
Antisipasi ini aku lakukan, kalau-kalau hatiku benar, bahwa tamu ini bisa menjadi pencuri.

Semua persiapan telah matang aku lakukan.
Memang, susah betul mengabaikan tamu ini.
Hingga esok dia datangpun, tidurku tak nyenyak sama sekali.
Jika sudah begini, aku akan duduk merenung di serambi rumahku yang telah aku sapu bersih untuk menyambutnya.
Aku duduk sambil tertunduk hingga menangis.
Disinilah aku biasa berbisik pada Tuhan. Ketidakmampuanku ini selalu mengantarkan pada komunikasi dan pinta padaNya.
Ucapanku pada Tuhan cukup sederhana

"Tuhan....
Pikiranku telah lalai, dia lancang memikirkan tamu itu tanpa mampu aku abaikan,
Untuk itu Tuhan, lindungi hatiku, dari tamu itu.
Jangan biarkan tercuri.
Jangan!"

Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall