"If I show it to you now, will it make you run away?
Or will you stay, even if it hurts, even if I try to push you out,
will you return?"
(Dark side)
Beberapa malam yang lalu, saya melihat tayangan Mata Majwa dengan episodenya yang cukup menyenangkan: EKSIL 1965.
Bukan tentang PKI nya dibahas, tapi tentang orang-orang Indonesia di luar negeri yang pada tahun itu sedang belajar di Eropa (khususnya), dan tetiba kehilangan kewarganegaraannya. Alasannya juga bukan karena mereka adalah PKI, tapi karena mereka tidak mendukung pemerintahan orde baru. Bahkan hingga hari ini, masih ada dari mereka yang tidak punya kewarganegaraan, dan sebagian lain memilih untuk menjadi WNA.
Didatangkanlah oleh tim Mata Najwa, para eksil dengan pengalaman mereka. Cerita mereka cukup sama, dimana pada saat itu, mereka dicabut warga negaranya, diblokade untuk tidak bisa pulang ke Indonesia, dan dibiarkan bertahun-tahun untuk tidak bisa saling kontak dengan keluarga mereka di Indonesia.
Salah satu cerita yang bagi saya menggugah, datang dari seorang eksil yang saat kejadian sedang berada di Ceko. Saat ia menolak pemerintahan orde baru, ia langsung dianggap PKI. Akibatnya, istrinya dipaksa harus menikah dengan orang lain, anaknya dipaksa untuk diganti identitasnya, dan ayahnya dipaksa untuk tidak mengakuinya sebagai anak. Saat Najwa Shihab bertanya tentang apa yang bisa Indonesia perbuat untuk menebus itu, kurang lebih komentarnya seperti ini “Saya pikir semuanya bisa diganti. Saat saya datang ke Indonesia, saya bisa sumbangkan ilmu saya. Pembangunan bisa dikebut. Semuanya bisa diganti, tapi bagaimana bisa perasaan itu diganti? Waktu diganti? Semuanya saya maafkan, kecuali yang satu itu”.
Menarik!
Tayangan itu, lebih tepatnya pengakuan eksil itu, membawa saya pada satu perenungan: sebab-musabab.
Ternyata, dalam hidup kita, akan ada satu hal, yang tejadi jauh di masa lalu kita, yang entah bagaimana kejadianya akan selalu timbul sebagai sebuah sebab. Sebagai sebuah akar. Sebagai sebuah titik mula. Tidak peduli dengan seberapa seringnya kita mencoba memaafkan peristiwa itu, atau sekeras apa kita mencoba melupakan. Atau walaupun itu sudah dimaafkan dan dilupakan sekalipun, tapi itu akan tetap ada disana dan hadir sebagai sebuah sebab.
Masalahnya, tidak banyak yang paham bahwa sebab adalah sesuatu yang layak untuk dihormati! Beberapa orang bahkan dengan lancang berkata untuk dimaafkan saja, dan sebagian lain yang agak kurang ajar berpendapat bahwa itu harus segera dilupakan. Katanya adalah, agar kita tidak menjadi seorang yang pendendam.
Seorang teman, pernah bercerita pada saya tentang bagaimana dia mencoba berdamai dengan masa lalunya. Dia berkata bahwa dia bisa memaafkan semuanya tapi tidak untuk satu hal. Satu hal kecil yang baginya bukan masalah memaafkan atau melupakan, tapi lebih kepada ketidak sanggupan dirinya untuk menalar peristiwa itu.
“Sampe hari ini, ga ngerti aku gimana bisa dia kayak gitu”
Tidakah orang-orang itu paham, bahwa ini bukan perkara memaafkan atau melupakan? Karena maaf dan lupa tidak akan pernah merubah sebab musababnya. Tidak lantas bisa merubah akar masalahnya. Ini jelas bukan tentang memaafkan dan melupakan. Ini adalah tentang penerimaan.
Lagipula, bagimana mungkin kita bisa menyalahkan akar saat buahnya sudah siap dipetik?
Disadari atau tidak, bagi setiap orang, sebab itulah yang membentuk dirinya hari ini. Pun saya saat menulis ini, saya tahu betul apa biji sebab yang… yang tidak peduli mau seberapa keras saya melupakan atau memaafkan, tetap akan bergema di hati dan pikiran saya, selamanya. Sama seperti apa yang teman saya bilang “Sampe hari ini, ga ngerti aku gimana bisa dia kayak gitu”.
Tapi yang paling membuat saya tidak habis pikir adalah, orang-orang yang seharusnya paham bahwa itu adalah sebab, tidak menganggapnya demikian. Alih-alih menerima, malah menawarkan opsi lupakan dan maafkan.
Bukankah, memaafkan dan melupakan itu adalah urusan pribadi si sepemilik sebab. Tidak perlu diinternvensi orang lain. Justru yang harusnya dipertanyakan adalah apakah sedemikian sulit untuk menerima sebuah sebab dari masa lalu seseorang?
Apakah sebegitu sulit, menerima seseorang sedemikian telanjang?
Just promise me,
you will stay.
(Kelly Clarkson)
Tidak ada komentar
Posting Komentar