Selasa, 02 Februari 2016

Sepele


Apakah selamanya kita tidak akan pernah bisa melewati patah hati? Apakah kita memang tidak akan pernah aman dari sengatan sedihnya? Apakah patah hati adalah sebuah keniscyaan?

Jika iya, sedih sekali jadi seorang manusia yang harus merasakan patah hati yang bertele-tele itu. Belum lagi sebelum itu, harus merasakan jatuh cinta yang tak kalah peliknya.
Duh… hidup macam apa yang setelah berbahagia lantas harus bermuram durja?

Suatu hari, bertemulah saya dengan seorang teman yang hendak melaksanakan pernikahan. Dia yang seumuran dengan saya sepertinya tidak bisa untuk menahan diri untuk bertanya “Jadi kamu kapan?” kepada saya. Jadi ketika pertanyaan itu terlontar, saya agak kesal.

Eh tapi jangan salah, sebenernya saya ini ingin loh, menjadi orang yang bisa menjawab pertanyaan tentang waktu dengan mantap. Tidak harus tentang topik menikah deh, tentang apa saja boleh. Saya ingin jika saya ditanya pertanyaan ‘kapan’, saya bisa langsung menjawab tanpa keraguan. Seperti kalau ada yang bertanya “Ini jam berapa ya?” dan saya bisa langsung jawab “Jam 2 kurang 5 menit”. Tapi sayangnya waktu dan kesempatan adalah dua hal berbeda. Menanyai jam berapa adalah bentuk ketidaktahuan (atau kesok-eska-esde-an), tetapi bertanya kapan adalah bentuk penasaran. Jika bisa, saya pun ingin bisa menjawab ketika ada yang mungkin iseng bertanya, “Kamu kapan mati?”  dengan jawaban “Ini sebentar lagi dalam 5… 4… 3… 2…1…”.

Oh kembali lagi ke pernikahan. Alih-alih saya jawab, saya balik bertanya kapannya menjadi “kapan kamu yakin kalau dia itu jodohmu?”.
Dan dia diam agak lama. Saya langsung ngeri kalau pertanyaan saya membuat dia membatalkan pernikahannya. Tapi lebih repot kalau dia menikah tapi ternyata tidak yakin. Jadi saya kembali bertanya “Jangan-jangan belum yakin ya?”.
Dan dia mencubit saya sambil menjawab “Aku yakin sama dia itu pas dia melakukan hal yang sepele. Dia ga pernah sekalipun nolak ketika aku minta dia anter jemput aku”. Saya tersenyum, “Kayak gojek gitu ya?”.
Dia mencubit lagi, kali ini lebih kears dan mantap, sambil berkata, “Aku ga pernah minta anter jemput cowo lain selain dia. Dia yang aku harapkan buat ngejemput aku. Dijemput tuh nyenengin tau! Disitu aku yakin, aku bisa hidup sama dia”. Saya manggut-manggut.  “Yaudaaah, kalau kalian besok miskin, suruh dia jadi tukang gojek aja”. Dan teman saya marah. Marah dengan balasan yang tidak terduga, “Itu dia masalahnya, aku ga akan ngijinin dia buat jemput wanita lain selain aku, ibunya, atau keluarganya yang lain tanpa ada aku”.
Oh oke... aneh tapi menarik.

Percakapan itu menggiring saya pada satu pertanyaan, kapan kita merasa yakin terhadap sesuatu? Yakin bahwa ini adalah patah hati dan mari kita pasang lagu-lagu C minor. Atau ini adalah bahagia jadi mari kita joget sambil kayang.
Atau keyakinan adalah sebuah jawaban dari kapan? Ah bisa jadi seperti itu.

Dan menariknya, ternyata keyakinan itu, bisa dengan mudah didapat dari hal-hal yang sangat sepele, begitu juga dengan ketidakyakinan. Semua selalu bermula dari hal-hal yang sepele. Seperti jatuh cinta.

Lalu begitulah misterinya. Kapan yang selalu jadi misteri itu, seringkali sudah terjawab tanpa kita bisa menjawab kapan waktunya,
Lalu kapan saya akan yakin bahwa diantara kita terbentang sebuah rintangan yang luar biasa kokoh. Atau kapan saya bisa diyakinkan kalau tak akan ada yang bisa dilakukan, kecuali, ya kalau kamu amnesia.


Hingga kapan hingga tak ada lagi patah hati?
Dan berani untuk,
memulai kembali?



Argh!

Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall