Selasa, 02 Februari 2016

Jejak

“I look at everything I was,  
And everything I ever loved, 
And I can see how much I've grown”
 (This Time)  

Sudah bulan februari saja, tidak terasa. Rasanya baru kemarin orang-orang heboh untuk membicarakan fatwa valentine itu haram atau tidak untuk diucapkan, eh sekarang sudah sampai lagi kita di bulan perdebatan valentine yang boleh atau tidak diarayakan atau diucapkan ini.

Tapi terlepas dari apakah valentine itu boleh atau tidak, tapi saya pribadi sepertinya membutuhkan asupan coklat yang banyak. Bayangkan saja, saya memulai bulan februari yang katanya penuh cinta ini, dengan sebotol kiranti lengkap dengan adegan berguling-guling di kamar seorang diri. Keram perut itu menyiksa, bung!   

Tapi saya sungguh bersyukur dengan adanya keram perut di awal bulan ini. Gegaranya saya jadi hanya tinggal di rumah, dan kembali menulis! Hore!

Di sela-sela pergulatan dengan keram perut, saya kembali membuka-buka folder foto sambil mendengarkan beberapa lagu di laptop. Bagi saya, membuka folder foto lama dan melihat kembali beberapa pose yang kadang kampungan, kadang kece itu, adalah satu hal yang menyenangkan. Rasanya seperti dipaksa melihat betapa menakjubkannya hidup saya ini.

Saat melihat beberapa foto, saya seperti diingatkan tentang banyak hal yang sudah terjadi. Hanya dari foto, tetiba saya sudah berpetualang jauh ke masa lalu.

Tidak ada dampak yang nyata sih memang, tapi dengan melihat kembali masa lalu, walau itu hanya dengan scrolling ke kanan dan kiri, ternyata mampu membuat saya ingat banyak hal. Salah satunya adalah mengingatkan saya tentang banyaknya hal yang sudah saya lupakan.
Ah tapi kan kita ini, memang gudangnya lupa.
Ya kan?
Lupa tentang betapa jauhnya kita sudah berjalan, lupa betapa hebatnya kita sudah banyak melewati keadaan sulit, dan lupa betapa tangguhnya kita ketika harus dipaksa berdiri oleh kenyataan.

Dan sesederhana melihat foto lama, sanggup membuat kita jadi ingat hal-hal itu lagi.
Saya tersenyum sendiri, saat melihat beberapa foto yang sejarahnya sebenarnya kelam.
Saya juga tersenyum, nyaris menangis, saat kembali melihat foto dengan senyum bahagia saya dan teman-teman yang entah dimana mereka sekarang.

Perasaan ini seperti halnya ketika saya sedang beres-beres kamar. Dimana kadang saya kembali menemukan surat cinta, pernak-pernik pemberian orang, hingga tiket-tiket atau prikitilan yang tidak pernah saya buang. Walaupun dipaksa bagaimanapun saya tidak akan membuang barang-barang kecil yang bagi mama adalah sampah itu.
Alasannya ya seperti hari ini: sebagai pengingat, bahwa saya sudah berada di masa ini, dan tidak lagi di masa lalu. Dan betapa penjagaanNya tidak pernah putus walau sedetik untuk saya hingga hari ini.
Walaupun semuanya terasa  kabur dan abu-abu, tapi semua benda dan foto itu, hadir seperti meteran yang mengukur sejauh apa saya sudah melangkah, sedewasa apa saya, dan seikhlas apa saya hari ini.

Sungguh membahagiakan.

Untuk alasan yang entah apa, tapi sungguh membahagiakan saat saya mengijinkan diri sendri untuk melihat lagi masa lalu. Berenang-renang disana sebelum kembali berjalan maju. Seperti sebuah colokan energi.

Seperti kembali diingatkan alasan apa yang membuat saya bahagia di masa lalu. Apa yang membuat saya sedih di masa lalu.  Mengingat kembali, apa yang terjadi dan apa yang saya lakukan saat itu.

Karena saya membutuhkannya sekarang.

Saya butuh untuk tahu, apa yang akhirnya bisa mengantarkan saya di masa lalu kepada saya di hari ini.
Agar kelak, saat saya di masa depan bertanya hal yang sama, saya di hari ini bisa memberikan jawabannya.



Ahh…

***

Ya Rabb, terimakasih untuk semua kisah. 

Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall