“Nikmatilah saja kegundahan ini, segala denyutnya yang merobek sepi, kelesuan ini jangan lekas pergi, aku menyelami sampai lelah hati…”
(Melankolia – ERK)
Saat make up sudah lengkap terpasang di wajah, baju paling necis sudah terpakai di badan, lengkap dengan high heels dan tas yang serasi, siap untuk pergi menghadiri sebuah pesta. Lalu kemudian, hujan deras tumpah di luar sana. Padahal oh padahal, pesta itu akan dilakukan di sebuah taman yang sudah dirancang agar para tamu bisa bergembira.
Saat VW kombi dibawa jauh-jauh menyusuri jalanan menuju Yogyakarta dari Ibu kota. Diniatkan untuk dapat menampung manusia-manusia yang ingin menghadiri pesta perkawinan seorang teman. Lalu di sebuah pagi, saat acara akan dimulai 4 jam lagi, VW itu mendadak mogok, tidak mau jalan, dan membuat para manusianya kalang kabut, hingga memesan mobil lain untuk membawa mereka ke tempat tujuan.
Saat seorang wanita sudah bangun pagi-pagi buta, memotong bawang putih dan merah, menyiapkan bumbu masak, dan siap untuk memasak makanan yang akan dibawanya pada acara arisan keluarga. Tak lama, masakannya pun siap. Dimasukannyalah makanan itu ke dalam perbekalan yang rapi, lalu si wanita bersiap mandi untuk setelahnya mengunakan baju yang paling trendi. Tersadar, ternyata ia sudah cukup terlambat. Lalu ia pun memasukan barang-barangnya ke dalam mobil dengan tergesa-gesa. Saat berada di jalan, ternyata ia salah membawa tempat makan. Parahnya, ia terjebak dalam kemacetan. Tak bisa berbalik pulang tapi malu untuk datang ke arisan.
Dalam hari ulang tahun seorang gadis berusia 17 tahun, ia sudah berencana akan membuat pesta perayaan yang sangat meriah. Dia sudah menyiapkan lokasi, undangan sudah ia buat, baju yang paling baik sudah ia beli, dan ia siap menggelar hari ulang tahunnya yang ke 17. Namun ternyata di hari yang sama, sebuah konser anak mudapun digelar. Alih-alih ramai, pesta ulang tahunnya dihadiri oleh sedikit orang, itupun hanya sekejap.
Begitulah hal-hal yang tidak bisa dipaksakan.
Seperti halnya para anak kelas 1 yang harus berjalan menuju ruang kelas saat masa-masa SMA. Dimana naasnya, tidak ada jalan menuju ruang kelas selain melewati ruang kelas anak kelas 3 yang sungguh menyebalkan itu. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain menundukkan kepala dan mengucapkan salam setiap kali melewati mereka. Doa agar pihak sekolah membuatkan jalur khusus untuk anak-anak kelas 1 pun rasanya mustahil. Pilihannya adalah antara menunggu sampai anak-anak kelas 3 itu masuk kelas, yang artinya mereka akan terlambat masuk kelas. Atau, berjalan tertunduk dan terima nasib kalau ada yang meneriaki mereka pada saat itu.
Seperti itulah hal-hal terjadi tanpa bisa diubah.
Tidak bisa dipaksakan.
Hari berjalan karena harus berjalan. Kamu di kepalaku masih saja bersemayam. Perasaanku masih saja diam. Rindu masih sering bertandang. Dan aku mulai lelah pada harapan.
Apa yang bisa aku paksakan?
Tentu saja tidak ada.
Tidak ada komentar
Posting Komentar