Rabu, 23 Maret 2016

Percakapan keempat: Menebak Masa Senja

Andaikan kau datang kembali, jawaban apa yang ku beri? Adakah jalan yang kau temui, untuk kita kembali lagi...?  

“Kalau kamu udah tua, kamu pasti jadi kayak gitu tuh...” Katanya tanpa memandangku.
“Gitu gimana?”  
“Ya gitu, kalau ada mic nganggur, pasti kamu ambil trus jadi volunteer dan nyanyi lagu-lagu melow... Ya kayak bapak-bapak itu....”  

Kami sedang memesan Chinese food di sebuah food court pinggir jalan malam tadi. Dan memang saat kami menunggu satu porsi cap jay dan satu porsi kwetiau goreng selesai dibuat, kami mendengar alunan lagu-lagu lama yang dinyanyikan oleh para pengunjung yang bersedia. Lagu Ruth Sahanaya itu dinyanyikan dengan baik oleh si pengunjung. Bukan suara yang merdu memang, tapi tidak bisa dikatagorikan sebagai suara yang sumbang juga. Cukup baguslah, apalagi ketika menyanyikan nada-nada tinggi, tidak mengecewakan sama sekali.

Tidak jauh dari panggung kecil jadi-jadian yang disediakan di sana, ada sebuah keluarga yang juga sedang menunggu makan malamnya jadi. Dan kemudian si bapak, tanpa komando berdiri dan mengambil peran untuk menyanyikan lagu selanjutnya. Sementara si istri hanya sibuk bercengkrama dengan keluarga yang lain sambil sesekali melihat telepon genggamnya.

“Kita kalau udah tua kayak apa ya?” Dia kembali bertanya
“Ya bisa jadi kayak apa yang kamu bilang itu, aku bakal sering nyanyi-nyanyi, dan kamu akan lebih sering marah-marah” Dia lalu merespon dengan sebuah cubitan di punggung tanganku.
“Kok kamu nyanyi-nyanyi, aku yang marah-marah sih?” katanya sambil mendelik.
“Ya udah, menurut kamu, kalau kita tua kita akan gimana?” Dan aku akan siap mendengar jawaban filosofisnya kembali berkumandang tentang konsep masa tua di pikirannya.

“Hmm... Kalau kita udah tua, kita jalan-jalan aja berdua. Naik gunung, turun gunung, nyempung ke laut, trus pelukan di tenda” Katanya bersemangat
“Itu kita umur berapa ya?”
“Hmmmm 50?” 
“Aku engga kuat naik gunungnya. Kamu aja, aku tunggu di bawah” 
“Ih... Kuat kok kuat. Kan kamu udah kakek-kekek. Nanti pasti banyak yang bantuin” 
“Kamu mau kita jalan-jalan aja pas udah tua?” 
“Daripada kita di rumah, nungguin cucu pulang? Mending kita jalan-jalan aja kan?” 
“Aku mau jadi penyanyi aja gimana?" Kataku menawarkan
"Boleh aja. Aku penari latar ya?"

Membicarakan masa tua bersamanya adalah salah satu kegemaranku. Sambil memadang matanya yang penuh dengan angan dan cita-cita itu, seakan aku ingin melompati masa-masa ini dan langsung menuju ke masa itu.

“Kita bisa engga ya sampai tua nanti tetep begini?”  tanpa melihatku, dia kembali bertanya. Sebuah pertanyaan yang ia ajukan untuk dirinya sendiri. Dia mungkin tidak pernah sadar, bahwa saat menanyakan hal-hal seperti itu, ia sungguh terlihat rapuh.

Bersinarlah bulan purnama, seindah serta tulus cintanya... Bersinarlah terus sampai nanti. Lagu ini kuakhiri...  


Di sambut sorai sanak keluarga yang mendengarkan si bapak bernyanyi, aku memandangnya penuh takzim.

“Apa sih liat-liat?” Katanya malu.
“Kalau kamu udah tua, kamu pasti cantik banget”
“Dan kamu pasti renta banget!” Katanya dengan pipi bersemu merah muda.


_______



Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall