Minggu, 13 Maret 2016

Percakapan Ketiga: Awal Mula

Matanya sayu, rambutnya sebahu, tidak memakai pemulas bibir atau pelentik bulu bulu mata, namun wajahnya tetap saja ayu. Dia tampak misterius pada awalnya. Sungguh sulit mengejar langkah kaki dan pikirannya. Dia seperti punya semestanya sendiri, orbit-orbitnya sendiri, dan tata suryanya sendiri. Dan hanya dia, hanya dia yang akan berputar di dalamnya. Seakan tak ada yang bisa masuk dan diperkenankan menganggu tatanan itu. Tidak juga aku, lelaki yang sungguh tak memiliki apa-apa selain rasa penasaran padanya. Caranya bicara, caranya mengerling, caranya tersenyum, bahkan caranya memegang hidung setiap kali kepedasan adalah bius. Saat itu, tak ada yang paling sering menganggu malam-malamku selain pikiran untuk bergabung dengan semestanya. Kupikir rasa penasaran tak cukup kuat untuk meyakinkannya.  Namun ternyata, yang dia butuhkan memanglah hanya sebuah rasa penasaran. 

“Kamu inget engga gimana susahnya aku ngejar kamu waktu itu?” Aku bertanya.
“Masa sih? Sesusah apa? Emang aku jual mahal?” 
“Engga. Kamu engga jual mahal” 
“Lah, trus?” 
“Tapi kamu tuh kayak punya sekat dan tembok yang engga kasat mata, dan bikin siapapun itu, cuma bisa ada di luarnya…” 
“Oh ya?” Tanyanya. 
"Iyalah... Kamu setiap kali diajakin pergi, kayaknya aja bisa, tapi ujung-ujungnya ga bisa... Aku udah beli 2 tiket nonton konser tuh waktu itu, gara-gara kamu bilang kemungkinan besar kamu ada waktu. Lah tapi apa? Akhirnya ga jadi juga...."
"Iiiih dibahas loh! Itukan...."
"Kamu lagi mens. Jadi ga mood. Iya..."
"Trus, inget ga, waktu aku nawarin kamu buat pulang bareeng, pasti adaaaa aja alasannya..."
"Ya kan karena rumah kamu sama rumah aku engga satu arah. Ya ngrepotin lah..."
"Ngerepotin apa engga, urusan aku kali"
"Ini kita lagi bahas yang dulu-dulu ya?"
"Iyalah.. kan aku tanya, kamu inget engga, gimana susahnya aku buat ngedeketin kamu"
"Trus, gimana ceritanya sih dulu tuh, aku bisa mau?"
"Lah, kamu inget engga gimana?"
"Oh iya, aku inget, tiba-tiba kamu ngajak aku ke pameran toko antik... "
"Itu karena aku tau, kamu belom pernah kesana... "
"Gitu ya?"
"Kalau aku ngajak kamu nonton, kamu seakan bisa nebak apa yang bakal terjadi selanjutnya...Dan buat kamu, apa yang ketebak itu, bikin kamu males. Engga ada tantangannya. Tapi kalau ke pameran toko antik, itu hal yang baru buat kamu.. "
"Waaaaaw... kamu kok bisa sih menganalisis kayak gini?"
"Awalnya sih engga... sekarang aja aku bisa paham"
"Hmmm... aku seribet itu ya? Trus, kenapa menurut kamu kita bisa kayak gini? Sedeket ini?"

“Karena aku minta kamu untuk keluar. Keluar dari tembok kamu... " Aku terdiam. 
"dan kita bisa kayak hari ini, itu karena kamu yang berkeputusan untuk ngajak aku masuk kedalam” 

“Hmmm.. “ Katanya sambil mendekat ke arahku dan menaruh kepalanya dengan aman di dadaku. Sambil sibuk memperbaiki posisinya dia bertanya, “Trus, apa rasanya udah ada di dalam? 

“Hanyut...” 

Kadang aku berpikir bahwa apa yang aku lakukan pada diriku sendiri adalah sebuah ketidakadilan. Perempuan ini memasangku menjadi salah satu orbitnya. Membuatku bergerak mengeliling lingkaran hidupnya. Dialah sentranya, dialah pusat tata suryanya. Dia akan lunglai kalau aku pergi. Tata suryanya akan goyah kalau aku pergi. Aku tau itu.  

Doaku memang terkabul, bahwa aku menjadi bagian dari hidupnya saat ini. Aku diam dalam rotasiku. Terhanyut dalam perputaran tata surya ini. Aku adalah bagian penting dalam sistem ini. Aku juga tau itu. 

Aku pria yang hanyut didalamnya. Semesta dan pelukannya.


____


Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall