Senin, 07 Maret 2016

Rutinitas

"Sungguh semangatku jatuh dan jatuh kepadamu"
(Nyali Terakhir)


Aku ingat rutinitas yang cukup kerap berulang dalam beberapa bulan yang lalu. Saat malam benar-benar sempurna menghitam, mata sudah siap terpejam, guling sudah berada di pelukanku, dan lampu kamarku sudah padam, maka aku akan menutup hari dengan mendengar suaramu.   

Aku akan berada dalam posisi paling nyaman untuk tidur saat aku mendengar kamu memulai dengan,

“Halo...”

Lalu aku ingat, selebihnya, detik-detik akan berubah menjadi menit yang tanpa sadar akan menjelma menjadi jam, dengan obrolan yang berjalan kesana dan kesini tanpa bisa kita kejar. 

Sesekali kamu atau aku hanya akan berkata,
 “Hmm..”,

“Iya...”,

“Oh...” 

karena tak ada lagi kata yang sesungguhnya ingin aku atau kamu sampaikan. 
Namun tidak ada yang benar-benar sanggup menuntup malam itu dengan berkata,

“Udah ya....”

Kalau sudah begitu, maka jalan tengahnya adalah membiarkan salah satu diantara kita tertidur duluan tanpa meninggalkan lainnya. 

Atau diam.    

Kita sering membiarkan menit demi menit mengawasi kita berdiam. Kamu dan aku dengan pikirannya masing-masing. Seakan tak ada yang ingin kita lakukan selain diam. Seperti saling memandang tanpa harus merasa malu. Seperti saling bahagia tanpa perlu ketahuan. Diam bagi kita mungkin seperti suara yang paling harus terdengar tiap malam. Dan diam bagiku adalah nyanyian nina bobo. Jujur dan tenang.     

Lalu kemudian kamu akan tertawa. Jika malam semakin larut dan aku mendengar kamu tertawa di sebelah sana, aku sungguh tersenyum senang disini. Rasanya, tidak ada yang ingin aku lakukan malam itu selain memintamu melakukan hal yang sama berulang-ulang kali. Aku mau kamu tertawa dengan tawamu yang selalu membuat aku jatuh.   

Tidak usah dibahas apa yang kita bicarakan. Karena bukan kata-katanya yang akhirnya menjadi penting. Tapi kamu disana, dan aku disini, dengan satu malam yang sama adalah hal paling sederhana yang ingin aku miliki selamanya.   

Begitulah malam-malam itu menjadi rutinitas...   

Dan kini, aku ketakutan menghadapi malam.   

Bagaimana lagi caranya agar malam ini aku selamat dari hati yang akan sangat berisik meminta agar aku kembali mendengar diam. 
Aku sampai lelah meyakinkan mereka bahwa aku harus lekas tidur tanpa perlu rutinatas apapun lagi. Tapi mereka tak mau paham. Dan aku tak tau bagaimana membuat mereka paham bahwa tak akan ada lagi diam. Tak akan ada lagi alunan diam aku dan kamu.    

Dan kini setiap malam, aku harus bersabar dengan rengekan hati yang meminta untuk membuat malam ini berhias dengan diam.   

Dan begitulah.   
Begitulah...

Inilah kini nina bobo itu: suara hati yang sakau.


Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall