Sebagai orang Indonesia dan
beragama Islam, aku selalu mengingat dan melihat bulan Ramadhan dengan semarak.
Mungkin karena di sini, Ramadhan dirayakan secara terang-terangan lengkap
dengan semua ritual dan tradisinya. Mari kita sebutkan beberapanya seperti, ramainya
jalanan menjelang berbuka puasa dengan aneka takjil yang enak-enak dan dijual
murah, masjid-masjid yang ramai dengan beragam macam kegiatannya, berbagai
macam lingkar pertemanan akan sibuk mengajak berbuka puasa bersama walaupun
sering kali wacana, menu makan sahur yang semakin akhir semakin ala kadarnya, hingga
ritual mudik dan maaf-maafan di penghujungnya.
Aku percaya bahwa setiap orang
memiliki kenangan yang berbeda-beda dengan Bulan Ramadhan. Mungkin ada yang
mengingat Ramadhan sebagai bulan yang sulit mencari makan siang, bulan yang lemas
dan tidak begitu produktif, bulan harga sembako akan naik, bulan dicairkannya
Tunjangan Hari Raya, atau bulan di mana iklan-iklan sirup marjan banyak
ditayangkan.
Begitu juga aku. Kenangan Ramadhan
selalu hadir dalam ingatan yang berbeda-beda dari tahun ke tahun.
Waktu aku masih kecil, aku ingat
kenangan saat berlari kecil dari masjid selepas sholat tarawih menuju rumah kontrakan
untuk makan es mony. Aku juga ingat ketika SD dan aku harus mencari tandatangan
penceramah sholat tarawih untuk diisikan di buku kegiatan Ramadhan. Rasanya
malas sekali harus menyelinap di belakang mimbar dan berdesakan dengan anak
lainnya untuk meminta tanda tangannya.
Beranjak remaja, aku ingat bulan
Ramadhan yang harus dilalui dengan mengerjakan Ujian Tengah Semester SMA dan
betapa aku harus berjuang untuk bisa bangun pagi setelah tidur habis sahur.
Agak menyiksa sebenarnya. Kenangan Ramadhan saat remaja juga dihiasi dengan
ucapan-ucapan “Sudah sahur belum?” atau “Selamat berbuka ya” dari cowo-cowo
gebetan. Bahkan telepon genggam saat itu tidak pernah sepi dari
gombalan-gombalan cowo-cowo untuk mengajak buka puasa bersama.
Saat masa kuliah, bulan Ramadhan
selalu saja disibukan dengan menghadiri undangan berbuka puasa di luar, jarang
sekali berbuka di rumah bersama keluarga. Apalagi saat masih harus kerja paruh
waktu, aku bahkan lebih sering berbuka puasa di gerai toko tempat saya bekerja
daripada di rumah. Oh tapi itu pengalaman yang seru sekali. Rasanya menyenangkan
bisa menutup toko 15 menit lalu kita semua berkumpul dan memakan makanan bukaan
bersama-sama. Dan tentu saja Ramadhan tidak bisa dipisahkan dari kenangan saat siaran
sahur dan buka puasa di radio. Siaran sahur yang dimulai dari jam 2 pagi membuatku
harus berangkat dari rumah jam 1.45 pagi, menggunakan motor sambil menahan
kantuk. Lalu saat siaran, jika sudah jam 3.30 pagi, di tengah-tengah lagu, aku
akan keluar studio dan naik motor untuk membeli nasi gudeg yang dijual di Jalan
Demangan sebagai menu sahur kesukaanku. Ketika sudah closing siaran di jam 5 pagi, tim siaran sahur akan berebut tempat di
sofa dan baru akan bangun jam 7 atau bahkan jam 8 pagi.
Sejak aku kecil hingga usiaku
menginjak 20 tahun awal, kenangan Ramadhan lebih kepada kegiatan yang aku
lakukan, rutinitas yang harus sesuaikan, dan ritual berbeda yang aku kerjakan.
Saat itu, aku sebenarnya tidak benar-benar melihat Ramadhan sebagaimana
esensinya. Tentang mengapa seorang muslim harus berpuasa, memperbanyak membaca
Al-Quran, dan sebagainya. Aku tidak begitu ngeh soal itu. Baru dimulai pada
tahun 2015 lah akhirnya Ramadhan membawa ingatan dan makna yang berbeda di
hidupku. Ramadhan tidak lagi melulu soal rutinitas dan ritual, Ramadhan juga
soal mengingat kembali makna diri.
Tahun 2015 adalah tahun pertamaku
beritikaf di 10 hari terakhir. Itikaf adalah kegiatan berdiam diri di mesjid
dan memperbanyak melakukan ibadah. Ya semacam kontemplasi diri dengan ilahi.
Aku selalu mengingat perasaanku di tahun 2015 karena yang aku rasakan adalah perasaan
tenang dan lega karena bisa bersimpuh di hadapan Rabb. Aku ingat saat itu, aku
memohon agar aku tidak dipisahkan dengan keyakinanku untuk apapun harga dan
kondisinya. Ramadhan kala itu berjalan dengan syahdu karena aku lebih sering
berbuka puasa di rumah ketimbang bersama teman dan aku lebih banyak
menghabiskan waktu dengan beribadah. Kali pertama aku memperlakukan Ramadhan dengan
berbeda, dengan lebih serius. Setelah Ramadhan 2015, hidupku kemudian berjalan
sebagaimana doaku. Seakan menjawab keinginanku, setelah itu hidupku berada
dalam masa-masa semi kritis. Aku bertemu lelaki dan dia menguji keimananku
nyaris pada titik nadir. Hingga akhirnya aku menyambut Ramadhan 2016 dengan
satu harapan bahwa aku tetap bisa mempertahankan imanku sekaligus aku bisa
untuk tetap mempertahankan perasaanku. Ramadhan di tahun itu hanya diisi dengan
helaan nafas panjang dan harapan yang selalu aku ulang-ulang. Ibarat kurva,
hidupku menukik pada titik terendah setelah Ramadhan 2016 dan aku saat memasuki
Ramadhan 2017, aku datang dengan luka-luka yang butuh disembuhkan. Tidak ada
yang benar-benar aku inginkan selama Ramadhan 2017 selain minta ditenangkan dan
dilapangkan hatinya. Dan jadilah, aku menggunakan Ramadhan 2017 dengan sangat
maksimal untuk menangis sejadi-jadinya. Aku sangat sedikit bertemu orang lain di
luar keluarga dan hanya sibuk manata hati dan emosi. Tahun 2018, hidupku semakin
membaik dan tahun itu menjadi Ramadhan pertama setelah kepindahanku ke Jakarta.
Aku melihat Ramadhan dengan sangat berbeda di tahun itu karena mempunyai
lingkungan baru, suasana baru dan teman-teman baru. Di Ramadhan tahun 2018, aku
meminta kejelasan dan penyelesaian atas semua pertanyaanku dan perasaan lama
yang berputar di situ-situ saja. Hingga memasuki tahun 2019, sebagaimana memang
tahun itu adalah tahunnya aku berkontemplasi, saat Ramadhan datang, aku meminta
tolong pada Rabb untuk membantuku ikhlas dan berani melepas semua perasaan dan
harapan-harapanku yang sudah terjawab pada akhir tahun lalu.
Dan kini, saat satu Indonesia
sedang dipaksa untuk tetap berada di rumah, aku seperti kembali pada Ramadhan 2015,
di mana untuk pertama kalinya aku memasuki bulan Ramadhan tanpa memiliki
keinginan tertentu seperti yang aku alami 4 tahun berturut-turut sebelumnya. Di
Ramadhan kali ini, yang aku inginkan adalah agar diberikan waktu bermesraan
dengan Rabb selama dan seintens mungkin. Aku berharap agar aku diilhamkan
doa-doa terbaik yang bisa aku sampaikan di malam hari. Ada perasaan yang lebih
syahdu dan personal di tahun ini, terutama saat semua orang juga berada di
rumahnya masing-masing. Ada juga perasaan lega yang aku rasakan karena kini aku
tidak lagi datang dengan topik yang sama seperti 4 Ramadhan sebelumnya. Enteng
sekali aku rasakan di hati dalam menyambut Ramadhan tahun ini.
Seperti itulah aku merayakan Ramadhan.
Kedatangannya selalu mengingatkanku pada perasaan pulang. Walaupun setiap
tahunnya aku selalu merasakan pengalaman yang berbeda, tapi tetap saja, ada
satu perasaan yang sama, yang amat sangat sulit aku ungkapkan, perasaan tenang
dan damai, aku menyebutnya perasaan Ramadhan. Tidak peduli aku berada di mana,
melakukan apa, atau sedang dalam kondisi apa, ketika memasuki Bulan Ramadhan,
aku seperti memasuki rumah yang aman. Rumah yang menbuatku dapat beristirahat
sejenak dan hanya berhubungan denganNya.
Aku selalu merasa aman di Bulan Ramadhan.
Marhaban ya Ramadhan.
Sebuah proses kolaborasi dengan Kamalia Rahman sebagai ilustrator tentang Sesuatu yang Disebut Rumah.