Kamis, 22 April 2010

media equation theory

MEMBEDAH TEORI PERSAMAAN MEDIA

Saat melihat episode Indonesian Idol ketika salah satu kontestannya menyanyikan sebuah lagu dengan gaya yang lucu hingga terkesan aneh maka kita akan membesarkan volume, mendekat pada layar televisi dan tertawa terpingkal-pingkal melihat ulah kontestan itu. Begitu pula saat kita melihat tayangan kriminal tentang kasus mutilasi, kita bisa mengerutkan dahi dan merasa ngeri melihat tayangan itu. Atau realita ketika kita begitu betahnya berada di depan layar komputer hanya untuk ‘memporakporandakan’ situs jejaring sosial. Tanpa sadar kita menjadikan media sebagai seorang manusia yang bisa diajak berbicara. Tanpa sadar akhirnya media bisa memberi dan menerima respon seperti layaknya manusia. Seperti itulah contoh dari Media Equation Theory atau teori persamaan media.
Teori persamaan media tergolong teori komunikasi yang baru. Dikeluarkan pada tahun 1996 oleh Byron Reeves dan Clifford Nass (professor jurusan komunikasi Universitas Standford Amerika).Teori ini diperkenalkan pertama kali dalam jurnal yang berjudul, The Media Equation: How People Treat Computers, Television and New Media Like Real People and place. Teori komunikasi yang menarik karena membahas bagaimana interaksi antara media dan manusia yang seolah-olah terjadi secara face to face dan menimbulkan sebuah proses komunikasi.
Komunikasi merupakan dimensi koseptualisasi, dimana komunikasi bisa sebagai proses, transaksional, serta praktik simbolik yang akan kita lihat implimentasinya dalam teori ini karena dalam teori ini media dapat menjadi komunikan sekaligus menjadi komunikator, begitu juga sebaliknya.
Saat Luna Maya menulis dalam akun Twitternya mengenai sikap wartawan infotaiment yang membuatnya kecewa maka sebenarnya Luna Maya sedang menganggap Twitter sebagai teman untuk bercerita.
 
Luna telah menganggap internet sebagai manusia. Saat mengetik, mungkin ia menekan keyboard dengan emosi dan berharap setelah menulis status itu perasaanya menjadi lebih baik padaha twitter tidak lebih dari sekedar situ jejaring sosial atau media virtual. Saat itu Luna maya menjadi seorang komunikator, Twitter sebagai komunikan dan status sebagai sebuah pesan. Sedangkan wartawan yang membaca status twitter Luna Maya akan menganggap media internet sebagai komunikator dan dirinya sebagai seorang komunikan dan terjadilah transaksi komunikasi. Wartawan yang membaca status Luna Maya kemudian menganggap twitter sebagai reprsentasi dari Luna Maya. Jadi ketika status itu terbaca, yang kemudian terjadi adalah mendekatkan kepala pada komputer sebagai reaksi terkejut membaca. Luna mengirim pesan, wartawan menerima pesan dan itu dijembatani oleh akun twitter maka terjadilah komunikasi sebagai transaksional. 
Kemudian wartawan akan menggelengkan kepala sebagai tanda tersinggung dengan status Luna Maya dan memandangi layar komputer seolah-olah Luna Maya yang berbicara langsung pada wartawan itu. Padahal itu hanya status dan itu hanya komputer yang tersambung internet. Disinilah Teori persamaan media mengungkapkan komunikasi sebagai praktik simbolik. Status Luna yang berisi “ pekerjaan infotaiment lebih hina dari pelacur” itu hanya sebuah simbol. Yang akhirnya menjadi masalah adalah karena kalimat yang menjadi simbol itu tersebar di internet yang dapat diakses semua orang. Dari hanya sebuah status sebuah twitter dapat membuat media menja manusia yang menghebohkan.
Komunikasi sebagai sebuah proses. Dalam teori persamaan media ini,komunikasi tetap sebuah proses, diamana tidak ada awal dan tidak ada akhir yan jelas dalam posesnya. Saat ini kita bahkan lebih dekat dengan media komunikasi seperti film, TV, radio, koran, internet sebagai teman. Komunikasi antara media dan manusia akan terus menjadi proses. Sadar atau tidak kita akan terkejut melihat status facebook sahabat kita menjadi in relationship padahal sebagai sahabat kita tidak merasa diberitahu dan menuding-nuding layar komputer sebagai bentuk komuniksi non verbal. Atau saat kita menangis melihat adegan mengharukan dalam film romantis. Media yang sudah banyak ragamnya ini akan semakin dekat dengan kita. Hingga dapat diambil kesimpulan jika media sama dengan real life.

Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall