Jumat, 29 Januari 2010

framing! itu kekuatannya..


Kekuatan gambar dalam media jurnalistik sangat besar. Foto atau gambar yang tercetak dalam media massa disadari atau tidak mempunyai makna yang terekam dalam frame gambar itu. Kita sebut sajalah foto jurnalistik.

Jika kita membeli koran, selain ingin membaca berita utama (headline) kita akan tertarik melirik koran itu karena foto yang tercetak dihalamn depan. Foto yang termuat itu bukan sekedar pelengkap berita tapi sebagai representasi dari peristiwa yang diberitakan dalam koran itu. Foto dalam dunia jurnalistik harus menjdai foto yang bercerita. *ini yang akan saya bahas!*



baca koran dot Com

Saya permudah bahasanya..

Di era yang semua nya serba cepat, semua ya serba online, mendapatkan berita menjadi hal yang mudah. Orang tidak perlu lagi menunggu koran esok hari terbit hanya untuk mengetahui apa yang terjadi pada sore hari. Tahu kenapa? Karena detik (dot) com sudah rilis dan banyak dikases, begitu juga dengan situs berita lainnya. Internet merupakan saluran yang efektif dan efisien untuk mengetahui semua hal yang up date. Belum lagi tayangan TV berita seperti “sekilas info” atau headline news yang menjadi favorit kalau-kalau ada berita baru. Ditambah lagi radio seperti BBC atau 68 H yang bisa didengar. Lah kalo sudah se ektrem ini pergerakan informasi ke masyarakat, apa media bernama koran masih menarik?

Jawabannya? Masih! (buktinya kalo Sholat idul fitri, koran-koran masih banyak kan? Juga profesi wartawan masih eksis kan) tapi sehubung dengan modernnnya zaman koran hanya di gunakan sebagai wahana bagi mereka yang ingin mengetahui lebih detail mengenai suatu berita atau mendapatkan apa yang tidak didaptkan dari media online atau media broadcasting itu. Diluar negri malah, orang baca koran hanya di perjalanan menuju tempat aktifitas. Setelah itu mereka bekerja. Yaa.. sedikit berbeda dengan Indonesia yang d i kantor malah membaca koran...


Lah terus dimana foto jurnalistiknya?

Foto jurnalistik kini lebih berbicara daripada berita yang di tulis dalam koran. Contohnya gini. Saat gusdur meninggal, kita semua sudah atau beritanya di TV, Internet (saya tahu lewat status orang di FB coba..), dan radio. Koran? Baru bsok pagi kan? Kita semua sudah tahu berita ringkasnya dari media-media itu. Tapi saat kita lihat koran esok paginya dengan headline news dan foto suasana berduka di rumah gusdur kita seakan-akan melihat kejadian sebenarnya saat gusdur wafat hanya dari foto itu. Pengembilan angel dari foto itu membuat emosi kita tergugah bahkan foto itu lebih “bergaung” daripada berita di TV atau malah berita yang dutis di koran.. itu yang saya maksud foto jurnalistik, foto yang bercerita!



Hanya satu frame!

Foto jurnalistik juga bukan sekedar foto yang dipas-pasin sama beritanya(saya belum melakukan penelitian si, tapi kayknya banyak koran yang melakukan seperti itu deh... sekedar jepret) tapi harus punya cerita. Jadi apa yang ingin disampaikan ke pembaca. Emosi apa yang ingin dibangun. Nah ini dia, kita bicara emosi dan betapa pentingnya foto yang bercerita itu.

Misalnya (yang lagi hot-hotnya) berita tentang antasari. SEMUA TV bisa mengshoot SEMUA adegan saat Antasari sidang hingga ia bertemu anaknya. Tapi untuk foto? Dia hanya terbatas pada satu jepretan, terbatas pada satu frame. Hanya 1 foto kan yang bakal di cetak.. nah itu yang akan digunakan untuk membangun emosi orang. Contohnya, pas Anatasi di foto di angel yang miring saat dia peluakn sama anaknya. Melihat foto itu, orang sebenci apapun sama antasari bakal mikir kalo gimana-gimanapun anatasari itu seorang ayah. Dia punya keluarga dan bgaimana anaknya kecewa dengan ayahnya. (ya bukan berarti juag, ngeliat itu trus anatasari dibebasin...) dan itu TIDAK tertangakap atau minimal itu tidak membangun emosi orang sebagaimana orang melihat foto di koran.

Foto jurnalistik itu juga digunakan untuk membentuk opini orang (ingat bahwa semua media mempunyai kecenderungan untuk membentuk opini ealaupun caranya implisit). Contohnya waktu tahun 1998 deh.. saat orde baru mau lengser, nah mahasiswa banyak demo kan. Tpi kompas pernah memajang foto tentang mahasiswi yang menyerahkan bunga sama polisi yang lagi baris (lengkap dengan tamengnya). Kompas (mungkin) ingin membentuk opini masayarakat yang seperti ini : “ sudahlah.. ayo kita damai...” itulah sekali lagi foto yang bercerita..



Saya sarankan untuk...

Jadi.. jangan main-main dengan cita-citamu sebagai seoarng fotografer, jangan merekam peristiwa dibalik lensamu yang :

1. TIDAK BERCERITA... ini hanya membuat koran makin gag laku...

2. Membentuk opini masyarakat yang makin buruk. Pas BONEK lagi tawur, yang difoto irang yang lagi berdarah... (menurut saya, mahasiswi semester 2 itu foto buruuuukkkk...!!!!!!! gag ada angel lain apa yang bisa disampein... paraaaah..... jadi fotografer kok nanggung) soalnya opini masyarakat jadi main buruk kan tentang sepakbola Indonesia (lupa apa klo kita itu di Indondesia yang mayoritas masyarakatnya menelan bulat berita..? hah!)

3. Hanya jadi pelengkap berita.

Saya belum tentu bisa si ambil angel yang baik dan menjadikan foto saya bercerita.. tapi setidaknya saya tahu DO AND DON’T nya..

=D

Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall