"Ask in order to understand and do not ask in order to find fault"
Tuan dan Puan, saya ingin menulis sesuatu yang panjang kali ini. Agar membacanya tidak bosan, maka saya sarankan Tuan dan Puan untuk duduk dengan posisi paling nyaman sambil menyantap kudapan.
Begini, beberapa bulan terakhir ini saya sering sekali, entah sengaja atau tidak, membaca, mendengar, atau bahkan berbicara dengan mereka yang memutuskan untuk menjadi seorang Ateis atau Agnostik. Bahkan, jika saya sulit tidur, dan tidak ada bacaan yang bagus untuk dibaca, saya kerap membaca wawancara atau bahkan blog-blog yang ditulis oleh mereka yang Ateis atau (dan) Agnostik.
Dari situlah, saya melihat sebuah
pola.
Sulit menulis tulisan ini tanpa perasaan bahwa saya pasti akan dipandang sebelah mata. Bagaimana tidak, saya ini adalah manusia tipikal dengan semua indikator untuk menjadi seseorang yang beragama. Saya Lahir di Indonesia, besar di Jawa, perempuan, dan semua keluarga saya murni Islam tanpa terkecuali.
Boom!
Besar pikir saya, Tuan dan Puan akan tersenyum penuh makna pada saya. Mungkin Tuan dan Puan akan berpikir, bahwa akan sulit bagi saya untuk mempunyai pandangan berbeda tentang hal-hal seperti: LGBT, konsep surga dan neraka, terorisme, persamaan hak perempuan, hukum rajam, atau konsep menikah beda agama. Karena di Islam, semua itu rasa-rasanya tidak diberi ruang diskusi yang penuh.
Mungkin juga, Tuan dan Puan yang saat ini Ateis atau Agnostik, akan dengan sederhana mengatakan bahwa kita berada di dua jalur yang berbeda. Tidak salah kok, tidak juga saya ingin membenarkan. Pilihan kita berbeda, tapi kita masih bisa hidup di bumi yang sama, bukan demikian? :)
Namun, ingin rasanya saya memberitahukan kepada Tuan dan Puan tentang
pola yang saya maksudkan di awal.
Koreksi jika saya salah, atau Tuan dan Puan tidak sependapat dengan saya. Apa yang saya dapatkan dari mayoritas bacaan seperti blog, artikel atau jurnal penelitian, hingga obrolan dengan mereka yang Ateis atau Agnostik adalah: mereka mempertanyakan konsep Tuhan dan Agama, karena kedua hal itu, kerap membuat hidup manusia tidak jelas juntrungannya.
Motivasinya cukup beragam, hanya saja pertanyaan-pertanyaannya cenderung seragam.
Kenapa Tuhan punya agama? Tidakkah Tuhan terlalu besar untuk masuk pada satu konsep agama? Jika Tuhan menciptakan cinta, mengapa LGBT dilarang? Kenapa masih banyak orang menderita? Kenapa agama menyuruh begini dan begitu, padahal realitanya begini dan begitu? Kenapa surga dan neraka begitu hitam dan putih padahal manusia tidak hitam dan putih? Dia kan Tuhan, kenapa Tuhan harus disembah? Saat semua bisa dijawab dengan ilmu pengetahuan, maka kenapa kita harus percaya hal-hal spiritual? Kemana Tuhan saat banyak pembunuhan? Kenapa orang yang beragama lebih arogan? Dan pertanyaan yang
paling terkenal,
kenapa harus membenarkan yang satu dan menyalahkan yang lain?
Sebegitu banyaknya pertanyaan, hingga akhirnya banyak yang beranggapan begini
: “Tuhan ada atau tidak ya sudahlah. Pun ada, harusnya Dialah yang bertanggungjawab”
Jadi, daripada menjadi lebih kontradiktif, maka Tuan dan Puan putuskan untuk menjadi manusia dengan akal pikiran dan hati,
titik. Perkara Tuhan betulan ada atau tidak, surga dan neraka, dan dogma agama ini dan itu, bukan hal yang harus diambil pusing. Selama Tuan dan Puan tidak melakukan hal-hal keji yang bisa merugikan orang lain, kerap tolong menolong dan melakukan hal-hal yang baik, lantas apa yang harus dipermasalahkan? Urusankan masing-masing, bukan begitu?
Jangan salah sangka dulu wahai Tuan dan Puan yang baik, saya disini tidak untuk mendebat, membenarkan pendapat, atau bahkan mengatakan Tuan dan Puan itu salah kaprah. Tidak sama sekali. Jika Tuan dan Puan punya pendapat, sayapun demikian.
Ijinkan saya bercerita tentang saya.
Saat kecil, saya punya keyakinan yang teramat besar bahwa di angkasa sana, ada 5 bilik untuk 5 Tuhan. Jadi akan ada 5 surga dan neraka untuk 5 agama di Indonesia. Untuk itulah saya setuju tanpa bisa dibantah bahwa semua agama benar adanya. Saya sempat penasaran kenapa saya harus dilahirkan di bilik Islam yang harus bangun jam 5 pagi buat sholat? Saya mau pilih Hindu saja saat itu, karena kebetulan, teman saya seorang hindu dan saya selalu suka saat dia berkata
“om swastiastu…’. Saya juga suka wangi dupa saat berkunjung ke rumahnya. Belum lagi, jadi Hindu itu enak, karena engga harus mengaji tiap sore, menghafal surat, dan PUASA, tapi tetap bisa masuk surga!
Engga adil.
Tapi bagi seorang anak SD, pikiran itu sekelabat lalu saja. Karena jika saya tidak mengaji dan hafal surat pendek, akan ada hukuman menanti saya. Walau menggerutu, tetap saya jalani tanpa paham apa maksudnya.
Saat SMP, saya selalu suka melihat perayaan natal. Saya bahkan berharap kalau saya mau makan, saya bisa berdoa seperti sebagaimana seorang nasrani berdoa. Dan saya penasaran sekali dengan gereja. Apalagi terlihat dari luar, arsiteknya sangat
heritage. Terlebih, saat peralihan masa SD ke SMP, saya mengalami goncangan hidup paling dahsyat yang membuat saya marah pada Tuhan nyaris 1 tahun lebih. Saya merasa Tuhan itu
bohong saat Dia bilang akan mengabulkan semua doa-doa hambaNya. Nyatanya tidak sama sekali. Tapi, entah karena rutinitas atau apa, saya tidak pernah meninggalkan sholat. Kalau saya marah, saya sering sekali melihat ke atas langit dan berkata dengan sengit,
‘Ya Allah, jadi Tuhan kok jahat banget sih?’.
Hingga saya SMA dan kuliah. Saat kuliah, saya bahkan memutuskan untuk tidak menggunakan hijab. Agama bagi saya menjadi sebuah pilihan yang harus dihormati. Dan saya masih dalam pemahaman bahwa semua agama itu benar adanya, dan orang bebas merepresentasikan definisi Tuhannya masing-masing. Tidak ada yang salah, dan tidak ada yang harus diperdebatkan. Bahkan, saya pernah memenangkan salah satu kompetisi iklan tentang
‘Pro LGBT campaign’. Saya merasa menjadi orang Islam paling toleran yang pernah ada. Sedikit tentang LGBT, bagaimana mungkin saya bisa membenci LGBT saat sahabat saya mengaku bahwa dia gay dan meminta saya menerimanya apa adanya? Maka saya kunci pemikiran-pemikiran itu, dan hidup seperti biasa.
Hingga hidup membawa saya, lagi-lagi ke satu titik terbawah. Kurang lebih 5 atau 6 tahun yang lalu.
Disitulah saya mulai mengkaji pikiran tentang 5 bilik di angkasa untuk 5 Tuhan beserta surga dan nerakanya. Disitulah saya mulai mencari tahu, apa itu Tuhan dan siapa Dia? Kenapa Dia engga pernah berhenti menyiksa saya? Dan pertanyaan saya paling besar: kenapa Dia menciptakan agama yang bikin saya
kesusahan menjalaninya? Bagaimana bisa Tuhan bisa memuaskan semua manusia yang jumlahnya milyaran?
Maka pencaharianpun dimulai. Bertanyalah saya kepada si ini dan si itu, membaca ini dan itu.
Sayapun mulai berjalan dari satu ketidaktahuan menuju ketidaktahuan lainnya. Kebingungan satu menuju kebingungan yang lebih besar lainnya. Lalu kemudian dari satu jawaban ke jawaban lainnya.
Jangan Tuan dan Puan pikir pemahaman dan jawaban yang saya maksud adalah sesatu yang gaib ya. Seperti misal ada malaikat menampakan diri di depan saya, serambi berkata
‘Jangan sedih…’.
Karena yang saya maksudkan jawaban adalah, sesuatu yang secara logis bisa saya terima dengan akal pikiran. Itu butuh waktu yang lamaaaaaaaaa, tidak sehari jadi, dan masih terjadi bahkan hingga detik ini.
Hingga beberapa tahun lalu, pertanyaan saya mencapai
puncaknya. Saya mulai penasaran tentang kematian. Inilah huru hara itu. Inilah rupanya yang membuat seorang yang percaya Tuhan berani bersikap di luar nalar, sedang mereka yang tidak percaya akan sangat santai melihat hidup. Inilah titik balik saya untuk akhirnya semakin giat mencari tahu.
Dalam pikiran saya, hal yang paling pasti adalah
kematian. Sialnya, tidak ada yang bisa bangkit dari kematian dan menceritakan pada saya apa yang akan terjadi disana. Apakah kita benar-benat mati? Pindah tempat? Atau seperti apa?
Dari situlah saya mulai serius mengkaji. Tak lagi saya pedulikan kenapa agama melarang ini dan itu atau mewajbkan ini dan itu. Saya menjadi sangat egois dengan mencari tahu tentang apa yang terjadi saat seseorang mati. Itu saja.
Sama seperti Tuan dan Puan yang
juga tidak suka didogmatisasi atau ditakut-takuti, sayapun demikian. Untuk itu, saya mencari tahu perspektif dari semua kepercayaan tentang kematian. Semua Tuan dan Puan,
semua! Dan pencarian itulah yang membawa saya di hari ini.
Bagi saya, inilah konsep yang masuk akal atas penjelasan kematian seseorang, bahwa sebuah jiwa akan kembali pada penciptanya dan kelak akan bertanggung-jawab. Inilah jawaban dari celetukan
‘Saya dan Tuhan, adalah urusan saya dan Tuhan kalau memang Dia ada’. Karena memang demikian adanya.
Selanjutnya, pertanyaannya lebih sederhana,
“Jadi Tuhan, Kamu itu apa, siapa, dan maunya apa?”
Maka saya kembali mencari jawabannya. Bukan dengan semedi, tapi dengan membaca sebanyak mungkin bacaan, membandingkan pendapat, mendengar, dan menghadiri kajian. Betapa saya terkejut saat jawaban-jawabanya ternyata sangat rasional. Surga dan neraka misalnya, tidak seperti yang saya bayangkan, tidak seperti yang orang-orang katakan. Lebih jauhnya, Tuhan tidak seperti yang saya bayangkan. Semuanya masuk akal, tidak berbelit-belit, dan mudah dipahami!
BOOM! Namun dasar manusia, saya masih berat untuk menerima jawaban-jawaban itu walau rasional. Malah ada beberapa yang masih sering saya pertanyakan. Tapi lagi-lagi, selama saya mencari, jawaban itu ternyata bisa didapatkan.
Tuan dan Puan yang baik, ada satu buku yang membuka pikiran saya tentang konsep ketuhanan. Walau saya membaca Paulo Coelho dan beberapa artikel tentang konsep Tuhan dan alam semesta, tapi tulisan-tulisan itu malah membuat saya semakin banyak bertanya. Dan semakin dicari tahu, semakin tidak ada jawabannya. Atau saya yang memang logikanya terlalu tumpul untuk paham.
Judul buku itu adalah
Al-Hikam karya Ibnu Atha’illah. Agar lengkap dan tidak timpang, saya putuskan untuk membaca sejarah secara umum tentang peradaban manusia.
Awalnya saya pikir pengetahuan tentang Tuhan dan Agama adalah sesuatu yang akan mengantarkan saya pada jawaban
‘Jangan banyak tanya. Imani saja!’. Makanya saya agak malas belajar soal itu. Karena bagi saya, buat apa belajar sesuatu yang hanya boleh dirasakan tapi tidak bisa dikritisasi. Kan manusia punya akal, boleh dong kita minta sebuah argumen logis.
Tapi rupanya, setelah sedikit demi sedikit dipelajari, saya dikejutkan oleh fakta semua pertanyaan selalu punya jawaban, dan semua penjelasannya ternyata bisa diterima oleh akal sehat. Keyakinan sayapun
perlahan lahir dari pengetahuan yang bisa ditangkap akal, dan perlahan hati saya menjadi lebih tenang.
Beberapa orang berkata saya mendapat
hidayah.
Awalnya saya kira hidayah adalah sejenis kegaiban atau cahaya, yang membuat siapapun saat terbangun di pagi hari, merasakan ada hal-hal yang berbeda dalam dirinya. Saya sih
engga pernah merasa begitu, karenanya saya bilang pada teman saya,
‘Ah masa sih?’
Rupa-rupanya,
hidayah itu berupa kumpulan hari saat hati saya terasa sesak tiap bangun tidur, rasa ingin mati saja, merutuk semua orang, mempertanyakan dimana Tuhan, depresi berkepanjangan, mencoba ini dan itu agar tenang, hingga rasa tidak ikhlas yang membuat hati menjadi gundah. Kumpulan hari itulah yang menyeret saya untuk mencari tau jawabannya. Mungkin iya, itu bisa dikatakan hidayah, atau apapun istilahnya.
Namun saya lebih suka mengatakan, bahwa akhirnya
perjalanan saya mengantarkan saya pada sebuah awal yang terang. Sebuah awal yang saya yakini dengan logis tentang kenapa saya ada di titik ini. Sebuah awal dari perjalanan panjang ke depan yang sangat misterius. Jika saya menengok ke belakang, saya merasa inilah konspirasi semesta yang tertulis di banyak artikel itu.
Butuh lebih dari belasan tahun untuk menyadarinya, namun inilah saya hari ini: seorang
Islam yang
masih belajar.
Namun demikian wahai Tuan dan Puan, perjalanan setiap orang berbeda-beda untuk menjawab pertanyaan ini. Seperti yang sangat sering saya baca dari blog-blog atau artikel seorang Ateis atau Agnostik atau bahkan flisuf, bahwa
manusia akan selalu ada di fase-fase kehidupannya. Tentang itu, barang tentu saya setuju.
Saya tentu tidak tahu Tuan dan Puan sedang ada di fase mana.
Saya hanya bisa memberi
secuil saran, bahwa jawabannya ada di luar sana jikalau mau dicari. Tuan dan Puan kan punya akal pikiran, jadi jika ada
pertanyaan, mengapa
tidak ditanyakan? Jika Tuan dan Puan mencari tahu dengan hati yang terbuka dan pikiran yang mau menerima jawaban, nanti Tuan dan Puan akan paham.
Bacalah semua referensi dan buku-buku sejarah, berbincanglah dengan sebanyak mungkin orang, dan ambil waktu untuk merenung. Atau Tuan dan Puan bisa mulai dari pertanyaan yang
paling ingin Tuan dan Puan
dapatkan jawabannya.
Memang agak sedikit
menyita waktu, tenaga, dan emosi. Tapi sedikit pengorbanan mungkin akan sepadan dengan apa yang akan Tuan dan Puan dapat. Apapun jawaban yang Tuan dan Puan dapat nantinya, pastilah sesuatu yang sudah lama dicari-cari.
Tidak perlu kita debat kusir hanya untuk mencari tahu mana yang salah dan mana yang benar, apakah Tuhan ada atau tidak, mengapa agama ini begini sedangkan agama itu begitu. Tuan dan Puanlah yang harus
mencari tahu, saya hanya menyampaikan apa yang saya ketahui dan alami.
Janganlah Tuan dan Puan menerima sesuatu mentah-mentah. Saya pastikan, otak dan nalar yang kita miliki, cukup bisa dipakai untuk membedakan mana dogma yang tidak masuk akal dan mana yang bukan, serta saya percaya hati Tuan dan Puan bisa tahu jawabannya.
Saya hanya khawatir satu hal saja: Tuan dan Puan kehabisan waktu dan menyesal.
Itu saja. Untuk itulah saya bersedia menulis panjang dan lebar tentang sesuatu, yang saya selalu saya hindari untuk ditulis dalam blog ini.
Tuan dan Puan yang baik, bacalah sejenak kisah ini:
Di sebuah sore yang syahdu, seorang lelaki nan baik hatinya datang pada seorang wanita yang dicintainya. Dengan membawa bunga, serta cincin, lelaki itu berkata,
“Aku mencintaimu, maukah kau menikah denganku?”
Si wanita menjawab,
“Apa buktinya kalau kamu mencintai saya?” Lelaki itu menyodorkan cincin yang disimpannya di kantung sambil berkata,
“Sebagai bukti kalau aku mencintaimu, aku akan menikahimu”
Wanita itu acuh sambil berkata,
“Cih! Menikah! Kalau cuma ngajak nikah, semua orang juga bisa. Tapi apa buktinya kalau kamu cinta sama saya?”
Lelaki itu terdiam, dan berkata,
“Aku akan membelikanmu rumah, mobil, dan membiayai hidupmu dan keluargamu. Itu buktinya”
Wanita itu terdiam sejenak, lalu berkata
“Kalau hanya membelikan mobil, rumah, dan membiayai hidupku, semua lelaki juga bisa!”
Lelaki itu, saking cintanya pada wanitanya, dengan sabar bertanya
“Lalu, bukti apa yang kamu inginkan?"
Wanita itu terdiam. Setelah agak lama dia berkata,
“Ya… engga tau. Tapi apa buktinya kalau kamu cinta sama saya?”
Lelaki itu kembali menjawab,
“Kan tadi aku sudah bilang, aku akan menikahimu, tidak akan selingkuh, membelikanmu mobil, rumah, dan membiayai hidupmu dan keluargamu”
Wanita itu gusar,
“Hal-hal itu bukan bukti kalau kamu mencintaiku!”
Lelaki itu menjawab,
“Aku sudah bertanya, bukti apa yang membuatmu bisa yakin? kamu tak tahu. Aku buktikan semua kesungguhanku, kamu katakan, itu bukan bukti. Lalu mau sampai kapan kamu tidak percaya kalau aku mencintaimu?”
Wanita itu menjawab,
“Ah.. mungkin kalau kamu membuktikan kalau kamu sanggup membangunkanku satu rumah di Bulan!”
Lelaki itu tersenyum, “
Jika itu yang kamu maksudkan bukti, maka selamanya kamu tidak akan pernah percaya kalau aku mencintaimu”
Mungkinkah Tuan dan Puan bukannya tidak percaya dengan Tuhan dan Agama, melainkan Tuan dan Puan menolak untuk percaya? Ahh…. Tentang inipun, hanya Tuan dan Puan yang tahu jawabnya, saya hanya berasumsi saja, maaf agak lancang.
Begitulah pendapat saya. Sudah berapa banyak kudapan yang Tuan dan Puan santap hingga selesai membaca?
Akhir kata, saya ucapkan: Selamat mencari tahu (
hanya jika dirasa itu perlu)!