Selasa, 26 Mei 2015

Asal-Usul

"While staring at the moon and the sun, just trying to remember where we came from" (Phillip Phillips)

Kalau bertemu orang baru, pertanyaan basa-basi kedua setelah menanyakan nama adalah pertanyaan: “Aslinya mana?”. Pertanyaan itu seakan menjelaskan bahwa kita ini pasti lahir dengan membawa identitas kesukuan. Padahal kan tidak semua orang Indonesia lahir dengan suku bangsa yang jelas. Belum lagi setelah menjawab pertanyaan "aslinya mana?" kita dipaksa mendengar komentar yang berkaitan dengan stereotip atau logat daerah.

“Aslinya dari mana?” 
“Jawa” 
“Ooh wong jowo” dengan logat jawa yang di medok-medokin 

“Aslinya mana?” 
“Tegal” 
“Ooh.. kepriben kabarek” Dengan aksen ngapak 

“Aslinya dari mana?” 
“kalimantan” 
“….” 
“Kok diem?” 
“Tapi situ engga makan orang kan?” 
"...."

Hingga kinipun, aku tak kunjung mengerti maksud dan tujuan dari pertanyaan itu apa. Atau mungkin akunya saja yang masih kesulitan memahami arti dari pertanyaan "Aslinya mana?"
Lagipula apa yang membuat kita bisa mengatakan bahwa kita ini orang dari X, atau asalnya dari Y? Apakah sebatas lahir di sana sudah cukup? Atau kita harus beranak pinak dulu disana? Atau bagaimana sih? 
Saat aku kecil, Ibu selalu berpesan “Re, kalau ditanya sama orang, Re orang mana, jawabnya orang Sunda ya. Inget-inget”. Hingga kini, perkataan ibu seperti menjadi doktrin. Kemanapun dan dimanapun aku ditanya tentang asal-usulku, maka aku akan lantang menjawab “Saya dari Sunda” dan jawaban itu akan dibalas dengan “Sundanya mana?” “Sukabumi!”.

Aku sendiri tak pernah bertanya “Eh, kamu orang mana?” kepada siapapun yang aku temui. Aku punya dua alasan untuk ini. Pertama, aku tak mau membuat orang itu harus berfikir tentang asal-usulnya. Kedua, karena jujur, aku tak suka ditanya begitu. 
Sadarkah mereka, bahwa beberapa orang mencoba untuk mengubur dalam-dalam akar tempat ia tumbuh. Mereka ingin dikenal di tempat mereka saat ini, bukan masa lalu. Untuk itu, pertanyaan “Asli nya dari mana” bagi sebagian orang adalah pertanyaan setan yang akan memaksanya mengingat dari mana asalnya. 

Ditambah bagiku, pertanyaan asal-usul ini sangat sulit dijawab karena aku hanya bayi yang numpang lahir disana. Pun ayahku tidak berasal dari sana. Lalu aku tidak tumbuh besar disana. Aku juga tidak mewarisi streotipe orang Sunda yang konon katanya putih dan matre itu. Jadi Sundaku itu sebatas menghormati pesan dari Ibu saja. Abal-abal. KW!

Walau begitu, tetap saja aku menghormati akar tempatku tumbuh.
Untuk itu aku pulang.
Pulang kampung bagiku adalah pulang ke Sukabumi dan mengunjungi Nini dan Abah yang kini semakin renta. 
Kota kecil bernama Sukabumi ini sepertinya mengalami stagnasi yang cukup konsisten. Seberapa lamanyapun aku absen mengunjungi kota ini, aku pasti akan tetap hafal jalannya. Mall atau tempat hang out anak muda juga tak banyak yang dibangun. Sukabumi ya begitu saja dari tahun ke tahun, kecuali masalah kenaikan jumlah pemotornya. 
Setiap kemari, aku hanya punya satu agenda wajib yang monoton, yaitu makan!
Aku tidak akan rela untuk absen untuk makan bubur ayam Bunut, kroket, cingcau hijau, bakso depan SMA 3, dan tentunya masakan nini. Oh satu lagi, aku akan mengikuti kebiasan Nini untuk melintas di depan rumah sakit bersalin bahagia dan mendengarnya berkata “Ini nih… rumah sakit, tempat kamu lahir".  Tak peduli berapa seringnya kami lewat, kalimat itu seperi mandatori, pasti akan terucap.
Sudahlah aku datang ke daerah asal, Nini menegaskan bangunan tempat aku lahir pula. Komplit. Ini memang perjalanan rekap sejarah.

Awalnya Nini dan Abah memiliki rumah seluas 3 hektar. Lengkap dengan kebun, lapangan mini, hingga tambak ikan. Komplit. Namun karena hal-hal yang aku tidak mengerti dan tak mau mengerti, rumah itu dijual. Kini Nini dan Abah tinggal di rumah yang lebih kecil di daerah dekat gunung Salak.Tapi mau dimanapun Abah dan Nini tinggal, aku selalu bahagia mengunjungi mereka. Walaupun, aku akan sulit mengelak dari beberapa pertanyaan klasik.

“Gimana atuh kerjaan? Lancar?” 
“Alhamdulilah Ni… Ini lagi sibuk muter-muter aja, buat ngerjain proyek” 
“Syukur atuh. Didoain ku nenek, sing damang nyak. Sholat teu boleh khilaf…” 
“Muhun…” 
“Ari Re udah punya jodoh belom?”

 Tuh kan?!

“Jangan lama-lama atuh, sebelum meninggal Nini mau dateng ya ke nikahan cucu tercinta” 
“Doain aja Ni…” 
“Insha Allah. Abis ini kemana lagi?” 
“Mau ke Maluku… doain sehat ya Ni…” 
“Didoain ku nenek, damang selalu Re…” 

Nini adalah orang ketiga yang paling paham tentang aku. Jika bukan karena permintaannya, aku pasti akan selalu lupa untuk pulang ke Sukabumi. Walau singkat, tapi aku bisa kembali bersilaturahmi dengan tante, aki, dan nini yang ternyata seperti mengisi baterai hati.  

Beginilah sensasi pulang ke tempat yang selalu ditanyakan orang "Aslinya mana?" ini. 
Seakan memberi pesan bahwa akar tempat kita tumbuh adalah tempat pulang kita yang sesungguhnya. 
Karena disitulah awal mula kita sebagai manusia. Tak peduli seberapa kuatnya kita melupakan, akar tetap saja akar!




#31harimenulis
#4-31

1 komentar

haryfadly mengatakan...

Tapi eh iyasih. Aku udah mengalami masa dimana males banget pulang ke rumah. Kayaknya naik motor 4 jam aja rasanya capek, padahal pantai yang sekali jalan 2 jam balik lagi 2 jam ayoh ayoh aja.
Sampai suatu hari pulang, terus tiba-tiba rasanya bahagia. Aneh

© RIWAYAT
Maira Gall