Sebelah mataku, yang mampu melihat, bercak adalah sebuah warna-warna
mempesona…
Tapi sebelah mataku yang lain menyadari, gelap adalah teman setia dari
waktu-waktu yang hilang.
(Efek Rumah Kaca – sebelah mata)
Langit tidak pernah
sekelam itu. Itulah kali pertama dan terakhir aku melihat langit sekelam itu.
Kami masuk ke rumah masing-masing dengan membawa serta ketakukan. Aku masih
ingat dengan jelas saat-saat itu. Itu bulan Puasa, bulan Ramadhan, sudah
sepatutnya kami berkonsentrasi untuk beribadah pada Allah. Itu bulan suci. Itu
bulan suci, aku ingat betul itu adalah bulan suci, di tahun 1999.
Kami diusik. Kedamaian
kami terusik.
“Keluar… semua yang
Islam keluar!”
Pintu rumahku digedor.
“Semua muslim,
sekarang juga pergi ke Gereja. Sekarang!” Begitu kata mereka.
Aku tidak pasrah.
Kutanyai dulu mengapa kami harus pergi ke Gereja? Katanya, mereka akan menjaga
kami. Memastikan kami tetap aman dari Pasukan Merah.
Oh Allah, ada apa ini?
Mengapa ini terjadi? Kami bersaudara ya Allah. Tolonglah kami. Itu doaku. Itu
adalah doaku yang tidak terjawab.
“Ayo cepaaat! Semua
muslim ke gerejaaaaaa!”
Semua
berbondong-bondong ke Gereja. Semuanya.
Rasanya aku tidak
ingin pergi, hatiku merasa bahwa ini adalah hal yang janggal. Mengapa kami
harus pergi dan bersembunyi di Gereja, sementara kami punya Masjid?
Andai bisa aku mengulang
waktu, aku akan memilih membawa seluruh keluargaku pergi ke hutan dan kabur.
“Semua muslim, cepaaat
ke gerejaaaa!”
Kami tergesa-gesa
meninggalkan rumah menuju gereja. Aku, suamiku, anak remajaku, dan anak
bungsuku. Kami lari kesana. Dan sesampainya di sana, benar adanya, hanya ada
muslim di gereja itu.
“Kalian disini saja
ya. Kami akan pastikan kalian aman” begitu kata tetanggaku yang bukan muslim,
dan kemudian meninggalkan kami di gereja.
Dari dalam gereja,
kami hanya mampu berdoa, serambi mendengar bom dan tembakan terjadi di luar. Berdetum-detum
hebat tiada henti. Aku memeluk anakku kuat-kuat. Ya Allah lindungi kami.
Lindungilah semua muslim disini.
Waktu terasa sangat
mencekam dan lama….
Sangat lama…
Hingga kemudian, kami
tak lagi mendegar tembakan dan bom.
Dan disaat itulah
kejanggalan itu terjadi.
Kami terkunci!
Kami terkunci di dalam
gereja!
Kami meronta-ronta,
berteriak-teriak, tapi tak ada satupun yang mendengar. Kemana mereka, kemana?
Para lelaki mencoba
untuk keluar melalui jendea, beberapa dari kami membantu mendobrak pintu
keluar.
Tapi terlambat! Semua
terlambat!
Mereka lebih siap.
Kami ditipu. Kami ditipu.
Aku kehilangan semuanya
malam itu. Semuanya, kecuali satu hal: Kenangan saat anaku terjatuh dari atap
gereja dan dipotong-potong, dan saat suamiku dibunuh.
Hanya itu yang
tersisa. Hanya itu.
Itu yang menemani
hingga aku renta kini.
#31harimenulis
#6-31
Tidak ada komentar
Posting Komentar