Papua juga bernasib sama. Mereka sendiri konon adalah keturunan Afrika yang karena pergerakan lempeng harus menerima suratan takdir untuk berada di Indonesia, dan menjadi minoritas. Kasian sebenarnya. Jika saja aku mampu, rasanya aku ingin mengembalikan mereka kepada leluhurnya. Ah, ternyata kisah putri yang terpisah itu nyata adanya.
Seorang teman sempat bertanya sebelum aku pergi ke sini, "Kenapa sih Papua engga merdeka aja? Kasian tau mereka..".
Aduh! Pertanyaan itu lagi. Itu pertanyaan yang paling sering aku dengar. Bosan juga lama-lama. Heran sebetulnya aku, mengapa kini rasanya semua pihak pasrah melepas Papua? Padahal di tahun 1961, Bapak tampan Sokarno kita tercinta itu, sudah berkoar-koar tentang TRIKORA. Tentang bagaimana mengembalikan Papua Barat. Jangan bilang lupa!
Obrolan tentang Papua akan semakin dramatis saat kita semua ingat bahwa Papua punya ladang emas. Akhirnya menjadi samar apa yang coba kita obrolkan tentang Papua. Sebenarnya, kita ini sedang membela masyarakat Papua atau emasnya?
Pelik!
Berhari-hari di sini, melakukan aktivitas sebagai antropolog, membuatku semakin menyadari betapa pentingnya mendengar.
Apakah selama ini kita pernah benar-benar mendengar Papua?
Aku sendiri melihat Papua seperti anak kecil yang polos dan banyak maunya. Membiarkan mereka merdeka sama seperti menelantarkan balita. Lihatlah mereka, masih asik mengunyah sirih pinang dan memakan Papeda atau ulat sagu. Merasa aman dan nyaman dengan berkebun dan tidur di rumah kayu tanpa listrik. Jika besok kita biarkan mereka merdeka, apakah lantas mereka akan tidur di real estate mentereng? Itukah yang diharapkan orang-orang yang ingin Papua merdeka? Agar tak lama setelah itu mereka menjadi kaya raya? Siapa yang menjual mimpi palsu itu?
Membuat mereka terlepas dari kebiasaan mabuk yang sudah melekat sejak jaman koloial saja sulit, apalagi membuat mereka mandiri sebagai negara.
Semua orang yang pernah mengunjungi Papua pasti setuju bahwa provinsi ini tertinggal. Tapi memburu-buru mereka agar sejajar dengan orang Jawa juga bukan cara yang tepat. Orang Jawa juga pernah mengalami kertertinggalan sebelum akhirnya sejumawa sekarang. Pun Papua yang kini tengah berproses. Coba lihat sekarang, apa jadinya saat mereka diarahkan menjadi modern? Mereka akhirnya timpang.
Ini seperti memaksa meraka masuk kelas akselerasi tanpa mengukur kemampuan mereka sebelumnya.
Aku hanya melihat satu kesalahan di sini, yaitu saat mereka diminta secepat kilat keluar dari kemiskinan dan kesengsaraan. Dengan tergopoh-gopoh dibentuklah lembaga-lembaga percepatan dengan tujuan membuat mereka segara kaya. Padahal mereka sendiri tidak paham apa itu miskin.
Terlepas dari itu, berada di Papua selalu membuat hatiku hangat. Melihat dan mendengar mimpi-mimpi mereka selalu jadi pengalaman yang tidak terlupa. Mimpi adalah barang mahal di sini. Tidak semua orang mampu bermimpi.
Dalam perjalanan pulang, aku kembali mengingat kejadian semalam. Saat aku berbincang dengan seorang pastur dibawah bintang-bintang. Sambil mendengar ombak, dan melihat bulan yang bulat sempurna, kami membicarakan banyak hal.
Itu akan menjadi salah satu malam yang layak dikenang.
Di ujung perjalanan di bumi cendrawasih, aku merasa berhutang pada Papua. Bumi dengan kekayaan yang melimpah-limpah ini pada akhirnya mengajarkanku bagaimana rasanya menjadi minoritas. Menjadi satu-satunya Islam diantara Kristen atau Katolik. Menjadi putih di antara hitam. Menjadi sendiri diantara banyak. Menjadi pendatang diantara yang tetap.
Ternyata begini rasanya menghargai perbedaan.
Sayonara, P!
You'll be in my heart.
Always and always!
http://blog.crabb.com.au/recent-work/burnet-institute-in-papua-new-guinea/ |
***
"Re, pulang atuh ke Sukabumi. Nini kangen..."
#31harimenulis
#3-31
Tidak ada komentar
Posting Komentar