Satu
Aku hanya tak habis pikir pada pertengkaran ini. Satu, apa
yang coba kamu utarakan ini sangat tidak masuk akal. Dua, ini bukan waktu yang
tepat untuk kita bertengkar. Tak bisakah kamu mencari waktu yang ideal untuk
kita bertengkar? Ataukan kamu merasa hari ini hari yang tepat? Hey, Ini hari
dimana satu mimpi besarku telah tercapai. Dan kamu menodainya dengan mengajakku
bertengkar.
Tapi ya begitulah kamu.. keras kepalas, idealis, random!
“Mungkin kamu bisa bebas untuk menggapai semua mimpi-mimpimu tanpa aku”
Kamu menyeret mimpi-mimpiku sebagai tersangka dalam
pertengkaran pertama kita. Dimana rasionalnya kamu mempermasalahkan itu?
Setelah sebelumnya kita berjalan beriringan dengan malah memimpikan banyak
mimpi untuk dapat kita gabungkan. Tapi ini, justru saat aku menggandengmu dalam
satu mimpiku yang sudah terlaksana, kamu malah gamang..
Dasar kamu.
Dua
Entah aku yang seharusnya berbangga hati karena bisa
memenangkan hatimu atau kamu yang seharusnya berbangga karena telah menyeruduk
puluhan hati lain dan menjadi raja di hatiku. Atau justru kita yang sama-sama
beruntung karena telah bertemu?
Ah.. aku tak pernah repot memikirkan ini. Biarkan saja orang
lain yang repot menebak siapa yang beruntung mendapatkan siapa. Bagiku yang
terpenting saat ini adalah, aku siap membagi semua semestaku bersamamu.
Mereka bilang kita dua orang yang berbeda dunia. Memang iya
kan? justru bagus ketika dua dunia yang sempurna berbeda, menyatu. Itu artinya
kita bisa membuat satu dunia yang besar, dengan kamu dan aku sebagai raja dan
ratunya. Menyenangkan bukan?
Kamu dengan panggung, aku dengan leptop
Kamu dengan santai, aku dengan terburu
Kamu dengan penggemar, aku dengan klien
Kamu dengan lokalitas, aku dengan modernitas
Lebih banyak yang membedakan ketimbang yang mempersatukan. Tapi
lihatlah kita, selalu ada canda di setiap sisi bedanya hidup hidup kita kan?
Ketika jam 1 dini hari aku baru pulang karena harus mengirim
deadline kerjaan, kamu baru pulang karena menghibur ratusan orang dalam
pertunjukan musik. Lalu kita bertemu untuk makan soto sampah dan menertawakan
kejadian menyebalkan hari ini.
Ketika aku harus membicarakan mengenai bagaimana liciknya industri
komersil ini, kamu akan banyak berbicara tentang industri lokalitas. Dan ini
akan berujung pada khayalan aneh kita berdua.
Begitu seterusnya. Dan aku tak ingin berhenti.
Jadikan ini selamanya…
Tiga
Pada sebuah cangkir
kopi ini kita akan menyerah..
“kamu bertemu aku, di usiamu yang telah dua puluh sekian. Puluhan
tahun, sebelum kita saling mengenal, kamu telah bermimpi. Kamu telah menjadi
manusia yang aku lihat hari ini”
Kamu diam
“pun aku, kamu mengenalku saat puluhan tahun aku terbentuk. Bahkan jauh
sebelum aku mengenalmu, mimpi-mimpuku sudah terbentuk”
Kamu masih diam
“Jadi apa yang salah sekarang? Kenapa aku harus mengejar mimpi-mimpiku
sendiri?”
Kamu tetap saja diam
“padahal, dalam mimpiku, aku mau kamu berlari bersama untuk semua
mimpiku. Itu juga bagian dari mimpiku, jadi apa yang salah?”
Pada sore dengan segelas kopi didepan kita, kamu diam dengan
pandangan menerawang. Di sebuah coffe
shop, dengan alunan music jazz yang tak begitu aku pahami. Aku ikut hanyut
dalam diammu.
5 menit..
10 menit..
Dan tawaku berderai
Disusul tawamu.
Cangkir kopi ini menjadi saksi pada ketakukan terdalam dari
hati seorang manusia. Alunan music jazz ini menjadi pengiring yang tepat pada
ketidakmampuan seseorang untuk menyatakan.
Pada secangkir kopi ini kita akan menyerah.
“aku, hanya takut kehilangan
kamu, cantik”
Itu tidak akan.
Itu tidak akan pernah terjadi.
Nanti kita akan diskusikan ini dengan waktu.
#16
#31harimenulis
#bagian2
Tidak ada komentar
Posting Komentar