Jumat, 31 Mei 2013

Pada secangkir kopi, kita menyerah


Satu

Aku hanya tak habis pikir pada pertengkaran ini. Satu, apa yang coba kamu utarakan ini sangat tidak masuk akal. Dua, ini bukan waktu yang tepat untuk kita bertengkar. Tak bisakah kamu mencari waktu yang ideal untuk kita bertengkar? Ataukan kamu merasa hari ini hari yang tepat? Hey, Ini hari dimana satu mimpi besarku telah tercapai. Dan kamu menodainya dengan mengajakku bertengkar. 

Tapi ya begitulah kamu.. keras kepalas, idealis, random!

“Mungkin kamu bisa bebas untuk menggapai semua mimpi-mimpimu tanpa aku”

Kamu menyeret mimpi-mimpiku sebagai tersangka dalam pertengkaran pertama kita. Dimana rasionalnya kamu mempermasalahkan itu? Setelah sebelumnya kita berjalan beriringan dengan malah memimpikan banyak mimpi untuk dapat kita gabungkan. Tapi ini, justru saat aku menggandengmu dalam satu mimpiku yang sudah terlaksana, kamu malah gamang..
Dasar kamu.

Dua

Entah aku yang seharusnya berbangga hati karena bisa memenangkan hatimu atau kamu yang seharusnya berbangga karena telah menyeruduk puluhan hati lain dan menjadi raja di hatiku. Atau justru kita yang sama-sama beruntung karena telah bertemu?

Ah.. aku tak pernah repot memikirkan ini. Biarkan saja orang lain yang repot menebak siapa yang beruntung mendapatkan siapa. Bagiku yang terpenting saat ini adalah, aku siap membagi semua semestaku bersamamu.
Mereka bilang kita dua orang yang berbeda dunia. Memang iya kan? justru bagus ketika dua dunia yang sempurna berbeda, menyatu. Itu artinya kita bisa membuat satu dunia yang besar, dengan kamu dan aku sebagai raja dan ratunya. Menyenangkan bukan?

Kamu dengan panggung, aku dengan leptop
Kamu dengan santai, aku dengan terburu
Kamu dengan penggemar, aku dengan klien
Kamu dengan lokalitas, aku dengan modernitas

Lebih banyak yang membedakan ketimbang yang mempersatukan. Tapi lihatlah kita, selalu ada canda di setiap sisi bedanya hidup hidup kita kan? 

Ketika jam 1 dini hari aku baru pulang karena harus mengirim deadline kerjaan, kamu baru pulang karena menghibur ratusan orang dalam pertunjukan musik. Lalu kita bertemu untuk makan soto sampah dan menertawakan kejadian menyebalkan hari ini.

Ketika aku harus membicarakan mengenai bagaimana liciknya industri komersil ini, kamu akan banyak berbicara tentang industri lokalitas. Dan ini akan berujung pada khayalan aneh kita berdua.

Begitu seterusnya. Dan aku tak ingin berhenti.

Jadikan ini selamanya…

Tiga

 Pada sebuah cangkir kopi ini kita akan menyerah..

“kamu bertemu aku, di usiamu yang telah dua puluh sekian. Puluhan tahun, sebelum kita saling mengenal, kamu telah bermimpi. Kamu telah menjadi manusia yang aku lihat hari ini”

Kamu diam

“pun aku, kamu mengenalku saat puluhan tahun aku terbentuk. Bahkan jauh sebelum aku mengenalmu, mimpi-mimpuku sudah terbentuk”

Kamu masih diam

“Jadi apa yang salah sekarang? Kenapa aku harus mengejar mimpi-mimpiku sendiri?”

Kamu tetap saja diam

“padahal, dalam mimpiku, aku mau kamu berlari bersama untuk semua mimpiku. Itu juga bagian dari mimpiku, jadi apa yang salah?”

Pada sore dengan segelas kopi didepan kita, kamu diam dengan pandangan menerawang. Di sebuah coffe shop, dengan alunan music jazz yang tak begitu aku pahami. Aku ikut hanyut dalam diammu. 

5 menit..

10 menit..

Dan tawaku berderai
Disusul tawamu.

Cangkir kopi ini menjadi saksi pada ketakukan terdalam dari hati seorang manusia. Alunan music jazz ini menjadi pengiring yang tepat pada ketidakmampuan seseorang untuk menyatakan.
Pada secangkir kopi ini kita akan menyerah.

“aku, hanya takut kehilangan kamu, cantik”


Itu tidak akan.
Itu tidak akan pernah terjadi.
Nanti kita akan diskusikan ini dengan waktu.

#16
#31harimenulis
#bagian2


Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall