"Kamu tau kenapa senja itu hanya sebentar? karena untuk yang berharga, kita harus berusaha mengejarnya. Paham?"
Matahari sudah akan berkemas dan benda malam mungkin tengah
bersiap. Diantara seluruh waktu yang ada, senja adalah favoritku. Tak ada
terik, tak juga gelap, malah terkesan indah karena senja memberikan semburat
warna jingga yang menyenangkan untuk dilihat.
Senja selalu enak dipandang, gradasi warna yang diciptakan oleh senja itu jenius. Belum lagi ketika matahari turun, seakan langit tengah mengadakan parade lukisan yang gratis dinikmati. Pernah ada yang bertanya mengapa senja tidak diperpanjang saja, tapi bagiku dengan singkatnya waktu senja inilah yang membuat senja semakin dinanti.
Senja juga menimbulkan efek perasaan nyaman tak terkatakan. Rasanya dapat melihat senja itu adalah bonus dari Tuhan. Terlebih saat hari itu matahari bekerja dengan terlalu bersemangat atau hujan mengguyur tanpa ampun. Karena tak peduli panas atau hujan, sensasi senja selalu tak terduga. Senja selalu cantik dimataku.
Karena saat senja, awan bergumul dan memberikan lukisan langit yang
cantik. Ditambah juga dengan angin yang bertiup. Angin senja itu selalu membuat
rambutku tertiup, dan aku selalu suka saat rambutku tertiup dan menghasilkan
efek berantakan.
Saat senja kamu datang.
Ini entah untuk berapa kali, kita akan berbicara. Tentang apa
yang hati kita risaukan.
Aku menggunakan terusan berwarna merah dengan rambut tergerai
sempurna, sepatu flat dengan tas selempang bercorak bunga. Aku berkata dalam
hati dan meyakininya bahwa aku siap dengan percakapan ini.
“ini waktu yang mepet.
Bentar lagi magrib, sekalian malem aja kenapa sih? Kebiasaan!”
Katamu tanpa basa-basi dan duduk disebelahku. Kamu dengan
wajah tenang, menggunakan flannel kotak-kotak dengan daleman kaos berwarna
hitam, jins belel, tas ransel, sepatu convers, lengkap dengan parfume yang
sedikit pasaran. Aku jatuh cinta padamu, aku tak berbohong untukyang satu ini.
Kamu langsung duduk disebelahku, menatap, dan dan merapikan
rambutku yang sepertinya sempurna acak-acakan.
Aku memeluk lenganmu, tenang namun erat. Rambutku berantakan
tertiup angin senja, namun semua terasa hangat ketika kepalaku menyentuh
pundakmu. Aku tak tahu apakah kamu tahu bahwa pundakmu dan senja adalah dua hal
yang bagiku bagai surga dunia? Tidak ada yang lebih nyaman bagiku selain
pundakmu yang kunikmati sendiri dengan senja yang memeluk kita. Ah, senjaku
sempurna!
Saat senja dan kamu datang.
Biasanya, aku tak mengharapkan apa-apa dari kedatanganmu.
Biasanya… tapi tidak kali ini. Jika harus menodai senja yang selalu aku
agungkan, aku siap.
“kamu bisa apa, kalau ini pelukan terakhirku?”
Tanyaku tanpa menatap matamu. Aku hanya takut jika hatiku
semakin rontok dan niatku kandas.
“aku bosan! Kali ini apa lagi yang kamu takutkan?” katamu dengan nada yang datar.
“aku kan cuma tanya..”
“kenapa kamu harus berandai sih? Kita sama-sama tahu bahwa
kita akan semakin menghitung mundur pada kenyataan dimana kamu ga bisa lagi
memelukku”
“kalau itu hari ini?”
Dia melepaskan lembut pelukanku, langsung menghadapku dan
siap memberikan pelukan, tapi urung.
“kamu menyerah?”
“Lantas, beritahu aku, kita berjuang untuk apa?”
Akupun bosan, sama seperti bosanmu. Aku jengah, sama seperti
jengahmu. Aku merasa kebas, sama seperti kebasmu. Tapi jika kamu yang enggan melepas, maka biarkan aku dan senja ini yang melepas.
Melepas kita...
Aku berdiri, dengan senja yang menonton, angin yang tampak
salah tingkah harus meniupkan udara. Air mataku menetes seiring dengan matahari yang
mulai meninggalkan waktu kerjanya. Ya Tuhan, aku tidak tahu ini betul atau salah, yang aku tahu, aku lelah...
Kita sama-sama tahu, bahwa hari ini akan tiba.
Kita sama-sama tahu, bahwa kita hanya memperpanjang waktu.
Kita sama-sama tahu.
Bahwa senja ini bukan untuk kita lalui bersama.
Kamu seharusnya sadar pada besarnya kepura-puraan yang kita hadapi sekian lama ini. Kamu seharusnya tahu pada bagaimana aku mencoba bertahan dengan kita dan kamu yang selalu acuh.
Kamu seharusnya sadar betapa luasnya hatiku yang selalu mencoba mengabaikan denial diantara kita
Kamu seharusnya tahu...
Betapa harus aku mengabaikan perasaan bahwa aku menikmati senja ini dengan bersembunyi.
Aku bersembunyi dari kenyataan.
Tapi kamu tidak pernah sadar...
Saat senja dan kamu datang.
Saat itulah aku merasa bahwa seluruh semangatku berguguran terbawa angin. Aku mencintaimu, dan itu ternyata tidak cukup.
Itu waktu yang selalu aku rindukan. Denganmu, tawa ini akan
terasa lebih semerbak. Denganmu, tangisku terasa hangat.
Kamu, pundakmu, dan
senja adalah bukti bahwa cinta itu bisa tumbuh pada ruang ketidakmungkinan yang
paling tidak mungkin.
Itu senja terakhir yang aku bagi denganmu.
Senja kali ini aku berdiri,
dengan terusan panjang berwarna biru, jaket berwarna senada. Aku mengkuncir rambutku rapi, tak ingin angin membuatnya berantakan.
Kali ini aku menikmati senja dengan kenangan senja bertahun silam. Saat aku masih dengan egosi menikmati pundakmu.
NB : Pada semua kenangan yang menggangggu. Untuk semua orang menganggapnya begitu.
#7
#31harimenulis
#bagian2
Tidak ada komentar
Posting Komentar