Apa bisa kamu mendengar kata, saat hanya ada suara terik pekak?
Apa bisa kamu paham apa itu jujur, saat kebenaran tercampur?
Apa bisa kamu bersyukur, kala nafsumu keruh?
Apa bisa kamu merasa cukup, saat nafsumu mengatup-atup?
Apa bisa kamu menikmati dunia dalam fana?
Dalam bising,
Kamu bisa dengar apa?
Dalam ramai,
Kamu bisa liat apa?
Aku akan menarikmu pada diam. Hingga tak ada yang perlu kamu lakukan selain menikmati denyut nadimu dan aku.
Hingga tak perlu lagi kamu harus repot-repot mendengar kicau manusia serakah di luar sana.
Aku akan menarikmu pada hening. Hingga tak ada yang bisa kamu lakukan selain bermain gitar lagu romantis agar suasana semakin hangat.
Aku akan menarikmu pada tenang. Hingga kita bisa mengintip dunia itu sambil menyeduh cinta.
Di luar terlalu mencekam.
Mereka saling terkam.
Udara di luar penuh dengan ilusi.
Nanti mereka bisa membuat kita lupa diri.
Suaranya juga terlalu bising.
Nanti kita bisa pusing.
Jangan hidup disana.
Jangan bergumul terlalu lama disana.
Tak usah berlari tanpa arah disana.
Tak perlu ikut palsu disana.
Jalan kemari.
Diam saja disini.
Tinggalah disini.
Bersamaku, kita mendiami diam.
Minggu, 22 Desember 2013
Ibu Heriyanti Suzzana
Yang selalu ribet nyuruh saya pulang dibawah jam 10 malem.
Yang selalu ribut nyuruh saya bersihin kamar.
Yang selalu ribet nyuruh saya pake pelembab.
Yang selalu cerewet nyuruh saya tutup pintu dapur sebelum pergi.
Yang kadang saya ga ngerti marahnya hari ini buat apa.
Yang kadang saya ga paham hari ini stressnya karena apa lagi.
Yang ribet nyariin saya kalau saya ga dirumah tapi kalau dirumah sering banget berantem
Yang paling seneng waktu saya pake jilbab
Yang paling mendukung apapun yang saya lakukan
Yang mau menjual semua jiwanya buat saya
Yang nungguin dirumah sakit waktu saya opname
Yang bersedia bangun ditengah malam dan berdoa buat saya.
Yang betah nasehatin saya berjam-jam walau saya udah sering denger nasihatnya
Dan sekarang,
Yang paling ribet nyuruh saya perbaiki diri supaya cepet menikah.
Banyak salah alif ma. Maaf ya :(
Yang selalu ribut nyuruh saya bersihin kamar.
Yang selalu ribet nyuruh saya pake pelembab.
Yang selalu cerewet nyuruh saya tutup pintu dapur sebelum pergi.
Yang kadang saya ga ngerti marahnya hari ini buat apa.
Yang kadang saya ga paham hari ini stressnya karena apa lagi.
Yang ribet nyariin saya kalau saya ga dirumah tapi kalau dirumah sering banget berantem
Yang paling seneng waktu saya pake jilbab
Yang paling mendukung apapun yang saya lakukan
Yang mau menjual semua jiwanya buat saya
Yang nungguin dirumah sakit waktu saya opname
Yang bersedia bangun ditengah malam dan berdoa buat saya.
Yang betah nasehatin saya berjam-jam walau saya udah sering denger nasihatnya
Dan sekarang,
Yang paling ribet nyuruh saya perbaiki diri supaya cepet menikah.
Banyak salah alif ma. Maaf ya :(
Maha pembolak-balik hati
Kondisi seperti ini hanya seperti pengulangan saja. Aku fasih rasanya.
Dia pergi begitu saja.
Aku bisa apa?
Kamu pikir, aku penyihir yang bisa membelokan hatimu agar tetap bertahan disini?
Kuasa hatimu itu bukan kamu yang tangani.
Semua murni kuasa Ilahi.
Jadi kalau kamu merasa aku kurang berusaha, coba pikir lagi.
Kamu pikir, kamu seorang pesulap yang bisa mengatur hatimu sesuka diri?
Pergerakan hatimu itu sudah dimiliki, oleh maha penguasa hati.
Jadi kalau kamu merasa ini adalah proses yang harus dijalani,
lantas, kenapa kamu harus pergi?
Jika memang dirancang bertemu,
hatimu itu akan menuju.
Jika memang dirancang bersama denganku,
hatimu itu akan menunggu.
Jadi berhenti memandang seolah-olah aku yang tidak berusaha disini.
Aku mengusahakan hatimu itu pada doa yang aku terbangkan ke langit malam ini.
Jika saat turun ternyata hatimu tak lagi sama, aku anggap itu jawaban terbaik untuk dijalani.
Aku bisa apa?
Sok tahu tentang mana yang baik tentang hati?
Mana bisa aku begitu, sedang Maha pembolak-balik hati mengamati pergerakan hati kita dengan sangat teliti.
Kamis, 12 Desember 2013
Kowe kudu semangat!
"Kadang terasa sulit untuk mensyukuri apa yang ada. Atau hanya kita saja yang tak puas dengan apa yang ada" Kita bisa
Sebenarnya saya ingin menyelesaikan tulisan saya yang berjudul ransel sore ini, tapi entah kenapa saya merasa harus mengeluarkan semua uneg-ueng saya lewat sebuah tulisan. Ya, tulisan kali ini akan menjadi satu tulisan sampah karena isinya adalah tentang semua hal yang sedang saya rasakan.
Saya pernah membaca sebuah tweet dari @fala_adinda yang berbunyi kira-kira begini 'udah dinikmati aja, setiap fase dalam hidup itu ada kesulitannya' waktu itu kalau tidak salah, fala ngetwit saat posisinya sedang jadi penganten baru. Saya yakin saat itu Fala pasti sedang merasa gamang, karena pernikahan yang baru dijalaninya. Mungkin loh ya. Ya... walau saya tidak mengenal si fala itu, tapi entah kenapa saya meyakini itu.
Karena seperti Falla, saya pun sedang merasakan kegamangan itu. Bedanya jika falla bicara dengan konteks pernikahan, kalau saya tentang pekerjaan.
Dan twit fala itu membuat saya lega. Ya.. saya harus menikmati fase ini.
HAH!
Tahukah kamu berapa banyak pekerjaan di luar sana? BANYAK!
Tapi mencari pekerjaan sama seperti mencari calon suami. Walau banyak lelaki di luar sana, bukan berarti saya harus menikahi seorang lelaki mesum-tukang nasi goreng hanya supaya punya ingin punya status 'istri' kan? Ya sama juga dengan pekerjaan.
Percayalah, saya sudah mulai bekerja bahkan sejak semester 1 di kuliah. Saya sudah pernah berada di beberapa perusahaan lokal hingga yang agak nasional. Itulah kenapa saya tau bagaimana krusialnya berada di pekerjaan yang salah. Beradadi pekerjaan yang salah berarti juga kita akan hidup karena gaji yang menunggu di akhir bulan. Tidak ada passionnya dan yang ada hanya mengeluh dan mengeluh.
Habis lulus dan kerja. Siapapun akan mengalami fase saya ini : galau dengan urusan 'hidup selanjutnya mau kemana'.
Bayangkan, saya belum punya pacar. Jadi otomatis saya belum bisa punya ancang-ancang menikah dalam waktu dekat.
Pun pekerjaan yang saya idam-idamkan tak juga ada.
Stress? iya.
Resah? iya.
Bingung? iya.
Apalagi jika harus melihat teman-teman saya. Ada beberapa yang sudah kerja, beberapa juga ada sih yang sama bingungnya.
Apalagi banyak sekali yang berkata begini "ah, kamu mah pasti gampang lah cari kerja. Kan kamu udah bla.. bla bla..." Atau "Buat orang kayak kamu mah, pasti ntar dicari sama perusahaan..". Ya... saya amini sajalah kalau orang-orang sudah berkata begitu.
Tapi sore ini, setelah tak sengaja kepo sana sini di twitter, saya lantas berfikir.
Apalah untungnya memburu rizky Allah yang bernama pekerjaan ini dengan tergesa-gesa hingga harus stress atau gamang?
Toh, saya masih berada di Unisi, sebuah tempat kerja paling menyenangkan di dunia dengan gaji yang lebih dari cukup. Kelak ketika saya akan meninggalkan unisi untuk 'benar-benar' bekerja pasti akan menjadi hal yang sangat menyedihkan. Ya bayangkan saja, saya di radio 6 tahun lebih dan setahun ini saya terlibat secara managerial. Siaran sudah seperti darah yang mengalir di tubuh saya. Kenapa saya tidak menikamtinya sambil beriktiar? Ya kan?
Alih-alih saya mengiyakan pekerjaan yang salah hanya supaya saya dapat pekerjaan yang beralaskan gengsi, sabar sebentar untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai passion juga tidak rugi kok.
Itulah saya dalam melihat pekerjaan. Terserah bila mau mengatakan saya idealis. Bagi saya hidup tanpa idealisme yang terus dipegang hanya seperti ikan mati yang mengikuti arus. Bagi saya pekerjaan bukan hanya tentang gaji (kalau kerjaan hanya tentang gaji, saya jadi pelacur juga selesai, itu kan juga pekerjaan), melainkan tentang bagaimana saya belajar dan berkembang. Apalagi saya berencana mengambil S2 di luar dalam waktu 2 tahun ini. Jadi bagi saya lulusnya saya dari S1 adalah untuk mencari tempat belajar baru yang kebetulan dibayar, lantas belajar lagi di level S2, lantas mengabdi. Belajar dan berbagi sampai mati adalah hal yang selalu ingin saya jalani.
Dalam tahap ini, saat malam sebelum saya tidur, saya menatap langit-langit kamar dan kadang menangis. Bertanya dalam hati "Ya Allah.. jadi bagaimana ini?" Saya bingung sendiri dengan bagaimana saya harus menapaki masa depan. Tapi kok saya bisa sampai lupa ya, Allah itu kan maha besar dan tidak akan pernah salah dalam menetapkan masa depan untuk setiap hambanya.
Jadi alih-alih saya membandingkan diri dengan orang lain yang ini dan itu, lebih baik saya menyusukuri saja apa yang ada saat ini. Toh saya juga tidak diam saja meminta, saya juga berusaha, saya juga menyiapkan rencana, Allah tahu itu. Jadi jika sampai hari ini semua masih terasa abu-abu, mungkin Allah sedang mempersiapkan yang terbaik.
Ah, saya jadi ingat ucapan seorang teman yang cukup menyebalkan. Walau malas mengakui tapi ucapannya benar. Dia berkata bahwa di usia 20an seperti ini, terlalu rugi untuk melakukan sesuatu yang membosankan. Walaupun bukan berarti juga saya jadi acuh dengan hidup saya, tapi menikamti fase mencari "tempat belajar baru" ini juga tak ada salahnya.
Karena rejeki tidak akan pernah tertukar, jadi mari banyak-banyak bersabar.
Ayo Ipeh, kamu bisa!
:)
Senin, 02 Desember 2013
Judi
Di sebuah meja judi,
Orang-orang berdatangan tanpa pilihan.
Meja judi sudah berbaik hati menyediakannya.
Bersendu untuk kalah
Pesta pora untuk menang.
Lelaki itu,
mempertaruhkan harga dirinya.
seluruhnya.
Wanita setengah baya itu.
mempertaruhkan keperawanannya,
seutuhnya
Perempuan muda itu,
mempertaruhkan masa depannya,
separuhnya
Lelaki berjenggot itu,
mempetaruhkan hidupnya,
selamanya.
Perempuan berkerudung merah itu,
mempertaruhkan kebahagiaannya,
hingga habis.
Kemudian,
Dia tertawa,
Dia menjerit,
Dia menangis,
Dia mengiba,
Dia terpuruk,
Dia terjengkang,
Dia tertohok
Sebagian pulang,
Sebagian bertahan.
Tapi mereka akan kembali lagi,
pada sebuah meja judi.
Mungkin dengan menaikan taruhannya.
Atau malah menurunkan resikonya.
Memperbaiki strateginya.
Atau mencoba cara curang lainnya.
Walau mereka tau, meja judi tak berpihak.
Meja judi tak akan bisa ditebak!
Pada meja judi ini, pun aku larung semua hidupku.
Utuh!
Buat apa takut!
Hidup ini juga hanya sebuah pertaruhan besar.
Orang-orang berdatangan tanpa pilihan.
Meja judi sudah berbaik hati menyediakannya.
Bersendu untuk kalah
Pesta pora untuk menang.
Lelaki itu,
mempertaruhkan harga dirinya.
seluruhnya.
Wanita setengah baya itu.
mempertaruhkan keperawanannya,
seutuhnya
Perempuan muda itu,
mempertaruhkan masa depannya,
separuhnya
Lelaki berjenggot itu,
mempetaruhkan hidupnya,
selamanya.
Perempuan berkerudung merah itu,
mempertaruhkan kebahagiaannya,
hingga habis.
Kemudian,
Dia tertawa,
Dia menjerit,
Dia menangis,
Dia mengiba,
Dia terpuruk,
Dia terjengkang,
Dia tertohok
Sebagian pulang,
Sebagian bertahan.
Tapi mereka akan kembali lagi,
pada sebuah meja judi.
Mungkin dengan menaikan taruhannya.
Atau malah menurunkan resikonya.
Memperbaiki strateginya.
Atau mencoba cara curang lainnya.
Walau mereka tau, meja judi tak berpihak.
Meja judi tak akan bisa ditebak!
Pada meja judi ini, pun aku larung semua hidupku.
Utuh!
Buat apa takut!
Hidup ini juga hanya sebuah pertaruhan besar.
"NAIKAN TARUHANNYA!!"
Jumat, 29 November 2013
Bawa Kembali
"Dan lalu, air mata tak mungkin lagi bicara tentang rasa. Bawa aku pulang, sekarang, bersamamu.." Float
Walau menjadi rutinitas tapi pemandangan ini mengharukan.
Melihat bagaimana mereka berbondong-bondong memikul semua keluh, berlari-lari kecil, dan bersiap melemparnya pada ranjang hangat.
Melihat betapa mereka tergopoh-gopoh membawa senyum, membungkusnya dengan erat agar tetap menawan saat dijadikan buah tangan.
Melihat bagaimana mereka terhuyun-huyun berjalan dengan tangis yang ditahan, menahan hingga tiba pada pelukan yang tepat.
Dan lihatlah betapa getirnya mereka membawa rindu, mengayun-ayunkannya pada sebuah tas plastik, bersenandung kecil dan tak sabar untuk segera meletakannya pada sebuah hati.
Lihatlah mereka yang telah kembali dari perjalanan menuju pulang pada sebuah tujuan. Mereka bak prajurit perang yang perjuangannya bukan untuk sebuah kemenangan, melainkan untuk sebuah pelukan yang akan menyambut pada setiap kepulangan.
Mereka bertahan.
Karena pada sebuah pulang,
Mereka bertahan.
Karena pada sebuah pulang,
selalu ada tunggu yang menunggu.
Maka rindumu, keluhmu, senyummu, semua akan tiba tepat waktu.
Mereka pulang.
Dengan sedikit berdesakan.
Aku memandang.
Dengan banyak kehawatiran.
Selasa, 26 November 2013
Ijin
"Apakah kita akan bahagia?"
"Apakah kamu menginjinkan aku?"
"Iya"
"Kalau begitu kita akan bahagia"
"kalau ternyata tidak?"
"Apakah kamu mengijinkan aku?"
"Iya"
"Maka percaya saja"
"Iya"
Kalau sudah kamu, maka aku tidak membawa lagi hati. Kutinggal dipojokan saja, biarkan dia menonton.
Tak ada gunanya.
Denganmu hanya ada logika.
Cantik sekali kamu membedah logika.
Hingga pertanyaannya bukan lagi 'apakah kamu mencintaiku'. Denganmu pertanyaanya menjadi 'Jadi bagaimana cinta ini?'
Praktis dan logis.
Berhentikan ini jika telah kelewat batas. Jangan sampai aku terlanjur lepas.
Jumat, 22 November 2013
Congraduation
"Ntar aja lulusnya, kalo udah tau lulus mau jadi apa"
"ah.. bullshit!"
Karena memang bullshit.
Mana ada pattern begitu, mana ada kita harus berlama-lama kuliah dan menunggu sampai kita akan jadi apa.
Hah!
Bagi saya, semua itu ada waktunya. Lulus kuliah salah satunya. Tidak bisa kita berfikiran bahwa kita berlama-lama saja di bangku kuliah untuk menyiapkan diri mengahdapi dunia luar. Justru, ketika kamu masih gamang dengan apa yang terjadi di masa setelah kamu lulus, maka cepatlah lulus. Cepatlah menyusun strategi, bukannya berlama-lama diam dan menunggu. Semua ada deadlinenya!
Ada lagi pendapat, kalau tidak salah Anis Baswedan yang mengatakan 'IPK hanya mengantarkan pada tahap wawancara'. Bisa jadi iya, bisa jadi engga. Pendapat ini jangan serta merta jadi pembelaan bagi mereka yang IPK nya kurang lantas berbangga. Kalau IPK bisa tinggi (syukur-syukur cumlaude) kenapa engga? Kalau IPK tinggi dan skill juga bagus, kenapa harus memilih salah satunya?
Bagi saya itu hanya pembelaan orang yang tidak berjuang sepenuh hati di bangku kuliah.
IPK tinggi dan skill itu bisa didapat. Kuncinya cuma satu kok. MAU! Semua hal itu bisa, perkaranya cuma mau usaha apa engga.
Kok tulisan ini malah terkesan jadi tulisan penyemangat untuk para fresh graduate ya? Biarlah ya.. biar ada yang satu dua tulisan yang berbobot di blog ini.
Selama saya skripsi, saya banyak dibantu oleh Allah SWT. TanpaNya, entah jadi apa saya dan skripsi saya.
Tapi sekali lagi, ternyata kalimat 'dimana ada kemauan, disitu ada jalan' sekali lagi benar-benar nyata.
Dimulai dari saya harus resign dari srengenge, ayah meninggal, dan prikitil-prikitil lainnya, ternyata bisa membuat saya tetao bisa berwisuda di bulan November.
LEGA rasanya!
Habis ini mau kemana?
Pertanyaan paling sering muncul saat ini.
Saya ga tau harus menjawab apa.
Tapi jujur, saya merasa miris dengan fresh graduate saat ini?
Entah apa yang salah dengan pendidikan Indonesia sehingga membuat lulusannya berfikir untuk bermain aman.
HEY! Sadarkah kalian (saya juga sih) bahwa Indonesia menunggu? Indonesia menunggu lulusannya melakukan sesuatu.
Coba sekarang saya tanya, ada berapa banyak orang hebat di Indonesia? Jangan-jangan 10 tahu dari sekarang, tidak ada lagi orang hebat yang berkompeten di bidang tertentu di Indonesia. Alasannya karena mereka memilih untuk bermain aman dengan bekerja di bidang yang akan memberikan uang yang jelas.
Mereka berfikir itu realistis.
Bagi saya itu ironis.
Jika semua lulusan berfikir begitu, habis sudah Indonesia. Habis bis bis!
Ah kok saya jadi melenceng begini ya.
Sebagai salah satu lulusan dari UGM, jalan saya masih panjang, berkelok, dan terjal. Saya tau ini tidak mudah untuk mewujudkan mimpi saya suatu hari yaitu menjadi seorang meteri (sst... jangan ketawa, amini saja).
Tapi saya akan berjuang, untuk melakukan semaksimal yang bisa saya perjuangkan untuk Indonesia.
Cepatlah lulus.
Justru kamu harus lulus dengan cepat, karena Indonesia menunggu!
Happy Graduation all :)
Senin, 18 November 2013
Tahanan
"So promise me only one thing, would you?
Just don't ever make me promises.. " incubus
Just don't ever make me promises.. " incubus
Karena seingatku, kamu rewel sekali membuatku berjanji. Dan ketika aku berjanji, senyatanya aku malah membuat kita menjadi sedemikian jauh...
Iya. Salahmu!
***
Hingga waktu yang tersisa, kita terkepung saja oleh kenangan.
Pernah kamu begitu menahan keinginan untuk menyambangi kita? Mungkin malu-malu iya.
Mengintip sedikit dan lantas berfikir: 'jika melangkah masuk, apakah aku bisa keluar?'
Ah.. rutinitas.
Bagiku kamu seharusnya menjadi tawanan. Tidak seharusnya kamu berkeliaran begini. Bebas lalu lalang dan berjalan-jalan.
Kamu seharusnya menjadi narapidana. Berada di penjara dan tidak bebas lepas begini.
Kamu tidak seharusnya berada di pikiran bebas.
Datangilah dukun, maka secara ramalan kamu pasti akan cocok di penjara.
Untuk orang yang pernah memaksaku berjanji, sepertimu. Alam ini jelas tidak cocok untukmu...
Ah... kamu lagi.
Dan aku, egois lagi.
Mengapa bisa kamu berada di alam bebas?
Merepotkan saja!
Kamu membuat semua egoku mencuat keluar tanpa menghiraukan sopan santun.
Kamu membuatku megap-megap seperti tak bernafas.
Nanti kamu bisa membuatku berjanji lagi, dan aku akan melanggar lagi.
Sungguh, kamu tak seharusnya berada di alam bebas.
Drama ini kembali berserak saat kamu kini bebas.
Aku takut jika kamu bebas begini, dan aku dengan mudah terperosok.
Jika terperosok maka kamu akan membuatku kembali berjanji.
Jika aku berjanji maka aku akan membuat kita sedemikian jauh lagi.
Dan iya, itu akan jadi salahmu lagi!
Ah... menakutkan!
***
Bisakah kamu kembali menjadi tahanan?
Dan membuatku aman?
Bisakah kita tidak terjebak dengan ketakutan?
Takut kehilangan padahal kita tahu bahwa kehilangan itu telah melingkari kita sejak lama.
Bisakah kamu berjanji untuk tidak akan membuatku berjanji?
Ah... lalu.
Semoga kamu cepat tertangkap!
Jumat, 01 November 2013
Cukup
Seorang lelaki yang kutemui bukanlah elang yang dengan perkasa terbang membelah cakrawala dan bebas mengepakan sayap membentuk siluet.
Seorang lelaki yang kutemui bukanlah seorang hujan yang dingin dan tanpa prediksi.
Seorang lelaki yang kutemui tidak pula matahari yang perkasa berdiri angkuh.
Seorang lelaki yang kutemui bukan karang yang tegak dan acuh tak peduli seberapa sering ombak menghantam.
Lelaki ini bukan lelaki yang mampu melakukan segalanya, tapi menemuinya membuatku ikhlas. Sungguh kupasrahkan waktu serta kusajikan semua rongga yang aku punya untuknya.
Di satu rongga waktu,
Aku menemui seorang lelaki dan telah kembali dalam kelananya.
Telah berputar-putar dan memasukan banyak sekali makna kedalam kerongkongannya yang haus itu.
Ia telah mengitari bahaya dan selamat dari amukan nestapa.
Badannya telah terkoyak namun matanya tidak koyah.
Kulitnya tidak terawat dengan baik namun senyumnya membuatku mabuk
Cengkramannya kuat, mungkin karena ia telah bertarung pada setiap sisi gelap dunia.
Dia telah menyisir pilu dan kini ia bertemu denganku.
Di satu warna hidup,
Aku berapapasan dengan seorang lelaki yang sanggup mengajarkanku apa itu cukup.
Kelak, dia akan mampu menjelma menjadi apapun, elang, karang, matahari, hujan, dan angin. Tanpa perlu menjadi salah satunya. Baginya, cukup tak berarti melahap semua sekaligus atau memiliki dengan sporadis.
Cukup lelaki seperti itu yang akan aku temui.
Menicumku dengan semua sabar yang ia simpan.
Melihatku dengan semua syukur yang ia rasa.
Mengajaku berlama-lama melamunkan cinta.
Mendebatku dengan semua bijak yang ia tabung
Menemukan lelaki ini, membuatku cukup.
Mendebatku dengan semua bijak yang ia tabung
Menemukan lelaki ini, membuatku cukup.
Karena dia lelaki yang tahu caranya melumatkan arti kata cukup pada setiap inci nafasku.
Mengajariku dengan sungguh,
dan mengantarkanku kepada cukup.
Mengajariku dengan sungguh,
dan mengantarkanku kepada cukup.
Maka cukup itu saja lelakiku.
Yang mencukupkanku pada cukup.
Pantai
Banyak yang mengadukan nasibnya
pada pantai. Berteriak kencang pada ombak layaknya bercerita pada sebuah teman
dekat. Mengelus dan menuliskan harap pada pasir pantai layaknya menulis pada
buku harian.
Pada sebuah pantai, manusia
menitipkan hatinya yang tengah berderai.
Berharap pada ombak yang
bergulung-gulung agar memberi jawaban.
Berharap pada pasir agar diberi
ketenangan.
Berharap pada karang agar diberi
kekuatan.
Berharap pada angin yang
berhembus agar mampu melepaskan.
Berharap pada matahari yang terbit
dan tenggelam untuk menyampaikan kerinduan.
Manusia menyimpan harap, agar
pantai dapat melarung kisah,
Sebagian berharap kisah itu
hilang terbawa ombak menuju lautan.
Sebagian berharap ombak menjadi
kurir pengantar,
dan membawa kisah itu kembali ke
pasar pantai.
Senin, 14 Oktober 2013
Kadang memang begitu,
Menjadi aman selalu dijadikan jawaban.
Takut melihat peluang karena pasti akan banyak kerikil menghadang.
Menatap takut-takut pada batasan,
enggan untuk menapak terjang.
Hingga akhirnya hanya bisa mengikuti,
dan selamanya menjadi penonton sejati.
Padahal, jika jeli..
menjadi berbeda sesekali tak akan menjadi rugi.
Justru malah membuat diri semakin terlatih.
Hingga nanti,
seluruh dunia akan mengakui,
bahwa kaulah sang ahli.
Selagi muda, selagi bisa,
Jadilah berbeda!
For more curiousity, visit my art portfolio on www.menjualdiri.tumblr.com
Thanks :)
Happy kepo!
Jadi bagaimana?
Lantas bagaimana lagi harus menjalani hidup setelah dipukul bertubi-tubi oleh realita?
Lantas formula seperti apa lagi yang harus digunakan agar paham bahwa cahaya sedang menunggu di ujung jalan sana?
Lantas apa lagi yang bisa diselamatkan saat kemudian yang berguguran bukan lagi ego tapi mimpi?
Lantas ketika satu per satu yang senjata mulai rontok, bagaimana caranya untuk berperang?
Lantas jika semua menjadi begitu berhamburan di tanah, bagaimana memungutinya sekali lagi?
Dan ketika berantakan menjadi semakin menjadi dan lantas bagaimana membenahi?
Lantas bagaimana ini?
Bagaimana ini?
Semuanya seperti berputar-putar tanpa akhir.
Bagaimana ini?
Semuanya mulai bertanya tanpa henti.
Bagaimana ini?
Semuanya tampak tak mengerti.
Bagaimana ini?
Semuanya ingin hasil yang pasti.
Saat rasanya hanya ada kabur, sepertinya hanya ingin menarik selimut dalam-dalam dan lantas tenggelam saja didalamnya.
Saat rasanya bingung sudah mencapai puncaknya, rasanya hanya ingin menyalakan air hangat, membuat gelembung dan berdiam diri semalaman.
Saat rasanya gamang menjadi tuan rumah, rasanya ingin sekali duduk di pinggir pantai dan membiarkan diri dilarung.
Jadi harus bagaimana ini?
Bagaimana selanjutnya.
Seperti apa lagi?
Bagaimana lagi?
Dimana kompas harus dibeli?
Lantas formula seperti apa lagi yang harus digunakan agar paham bahwa cahaya sedang menunggu di ujung jalan sana?
Lantas apa lagi yang bisa diselamatkan saat kemudian yang berguguran bukan lagi ego tapi mimpi?
Lantas ketika satu per satu yang senjata mulai rontok, bagaimana caranya untuk berperang?
Lantas jika semua menjadi begitu berhamburan di tanah, bagaimana memungutinya sekali lagi?
Dan ketika berantakan menjadi semakin menjadi dan lantas bagaimana membenahi?
Lantas bagaimana ini?
Bagaimana ini?
Semuanya seperti berputar-putar tanpa akhir.
Bagaimana ini?
Semuanya mulai bertanya tanpa henti.
Bagaimana ini?
Semuanya tampak tak mengerti.
Bagaimana ini?
Semuanya ingin hasil yang pasti.
Saat rasanya hanya ada kabur, sepertinya hanya ingin menarik selimut dalam-dalam dan lantas tenggelam saja didalamnya.
Saat rasanya bingung sudah mencapai puncaknya, rasanya hanya ingin menyalakan air hangat, membuat gelembung dan berdiam diri semalaman.
Saat rasanya gamang menjadi tuan rumah, rasanya ingin sekali duduk di pinggir pantai dan membiarkan diri dilarung.
Jadi harus bagaimana ini?
Bagaimana selanjutnya.
Seperti apa lagi?
Bagaimana lagi?
Dimana kompas harus dibeli?
Jumat, 11 Oktober 2013
Menua
Bagaimana kalau saat tua menghadang, kita menghilang saja?
Kita bersembunyi pada kabut, menghirup dalam-dalam sejuk, dan mendengkur pada lereng gunung.
Kita akan biarkan dingin tetap syahdu agar peluk terasa semakin perlu. Biar saja begitu hingga hati berkabung.
Lalu kita akan menatap pucuk daun yang basah karena embun, lalu segelas teh akan tiba saat matahari muncul dengan anggun. Menemanimu dan aku yang sibuk duduk melamun.
Kita biarkan saja masa muda tertinggal jauh pada deru kota dan bersiap berjalan pada waktu. Sehingga nanti, saat waktu semakin menarik semua indah rupamu dan rupaku, diam-diam semakin mendekati detakmu dan detakku, kita hanya tinggal merayakan.
Bahkan ketika waktu akhinya benar-benar tiba, maka kita akan saling mengantar.
Bagaimana kalau kita bungkus setiap malam untuk sibuk menghitung semua cintamu, sesuatu yang jarang kita lakukan dulu. Lantas kita akan menertawai nyali ciut mudamu itu. Boleh juga dengan mengingat betapa konyolnya aku saat tersedu. Dan kemudian tertidur dengan rasa haru.
Jadi,
Bagaimana?
Siapakah kita menua bersama?
Kita bersembunyi pada kabut, menghirup dalam-dalam sejuk, dan mendengkur pada lereng gunung.
Kita akan biarkan dingin tetap syahdu agar peluk terasa semakin perlu. Biar saja begitu hingga hati berkabung.
Lalu kita akan menatap pucuk daun yang basah karena embun, lalu segelas teh akan tiba saat matahari muncul dengan anggun. Menemanimu dan aku yang sibuk duduk melamun.
Kita biarkan saja masa muda tertinggal jauh pada deru kota dan bersiap berjalan pada waktu. Sehingga nanti, saat waktu semakin menarik semua indah rupamu dan rupaku, diam-diam semakin mendekati detakmu dan detakku, kita hanya tinggal merayakan.
Bahkan ketika waktu akhinya benar-benar tiba, maka kita akan saling mengantar.
Bagaimana kalau kita bungkus setiap malam untuk sibuk menghitung semua cintamu, sesuatu yang jarang kita lakukan dulu. Lantas kita akan menertawai nyali ciut mudamu itu. Boleh juga dengan mengingat betapa konyolnya aku saat tersedu. Dan kemudian tertidur dengan rasa haru.
Jadi,
Bagaimana?
Siapakah kita menua bersama?
Rabu, 04 September 2013
BISU!
"silence is a loudest cry"
Pipiku panas, air mata menamparku dengan begitu keras.
Aku punya ribuan kata nestapa yang ingin aku keluarkan.
Tapi hingga kondisi berubah segenting inipun, kamu masih
sibuk bertanya.
Lucunya kamu ini. Kamu pikir semua hal ingin kamu ketahui
haruslah dengan perantara kata?
Lantas bagaimana kamu mencoba menjelaskan cara semesta
memainkan hujan?
Bagaimana kamu mencoba memahami cara semesta mengeluarkan
larva?
Apakah selama ini kamu hanya memahami pertanda dengan kata?
Tidakkah kamu pahami kata bisa saja berupa angin yang
berbisik, hujan yang berderu, bahkan sinar yang silau. Kata bisa berupa
lembutnya aku tersenyum. Kata bisa berupa pilunya aku menangis.
Pernahkah?
Lantas setelah kamu tak lagi mendapatkan kata, kamupun
pergi. Kamu pergi dengan tetap berfikir bahwa seluruh tanya hanyalah mampu
dijawab dengan kata.
Kamu betul-betul lucu…
Pahamilah..
Ada sesuatu yang seharusnya kamu pahami tidak lewat kata.
Sesuatu dibalik senyumku, sesuatu dibalik tangisku, Pernah kamu
sadar itu adalah kata yang tidak mampu aku keluarkan?
Aku tidak semampu seperti apa yang dibenakmu. Aku tidak
mampu untuk berkata betapa aku ingin kamu ada disini, disampingku.
Sebegitu tidak mampunyakah kamu merangkai semua peristiwa
untuk mendapatkan jawaban?
Apakah kamu tidak pernah sadar bahwa paksaanmu padaku
tentang kata begitu menyakitkan?
Untukmu, yang mengaggungkan kata.
Berbaliklah dan hadapi aku.
Janganlah bertanya, aku tak punya daya untuk menjawab.
Andai kamu bisa intip sedikit sudut mataku,
Andai kamu bisa bersabar untuk mengorekku lebih dalam,
Andai kamu bisa membaca pertanda,
Andai kamu bisa merangkai semua gerak,
Andai kamu mau membacaku secara tidak biasa,
Mungkin kamu akan ada disini, seperti apa yang aku ingini.
Andai kamu paham.. bahwa aku tak pernah punya kata, untuk semua
hal yang aku alami. Aku hanya mampu menyampaikan lewat udara. Bagiku, itu
perantara paling mujarab untuk menyampaikan kata. Karena hanya udara yang mampu
menyampaikan kata dalam bentuk doa.
Untukmu, yang selalu memahami kata sebagai sebuah pertanda.
Pahamilah..
Bahwa ada sesuatu, yang seharusnya kamu pahami tapi tidak
lewat kata.
Tidak lewat kata.
Rabu, 31 Juli 2013
Saking
Saking takutnya aku pada rasa rindu, kini aku erat-erat mendekap semua hal yang berpotensi membuat aku rindu di kemudian hari.
Saking takutnya aku pada rasa kehilangan, kini aku diam lekat-lekat pada apa yang aku miliki dan enggan bergerak meninggalkannya barang sebentar.
Saking takutnya aku pada tangisan untuk mengulang, kini aku menatap masa depan dengan sembunyi-sembunyi, takut tak bisa kembali pada masa lalu.
Tapi. Mau sampai kapan?
Kini,
Pada semua hal yang berpotensi membuat aku rindu, aku hanya bisa pasrah.
Pada semua kehilangan yang akan hadapi, aku hanya mampu melepas.
Pada semua tangis yang mungkin akan berderai karena ingin mengulang masa lalu, aku hanya mampu bersiap.
Saking takutnya aku untuk merindu, kini aku berhenti untuk membayangkan semua hal yang akan terjadi dimasa depan.
Saking takutnya aku pada rasa kehilangan, kini aku berhenti untuk merasa memiliki.
Saking takutnya aku pada tangisan pilu dan rasa ingin kembali, kini aku berniat untuk menyiapkan masa depan.
Ah...
Manakah yang paling memilukan?
Perpisahan dengan kamu tau kapan batas waktunya atau perpisahan tanpa kamu tau kapan akan terjadi.
Mana yang lebih menyedihkan?
Perpisahan dengan persiapan atau perpisahan tanpa persiapan?
Saking...
Saking takutnya aku pada rasa kehilangan, kini aku diam lekat-lekat pada apa yang aku miliki dan enggan bergerak meninggalkannya barang sebentar.
Saking takutnya aku pada tangisan untuk mengulang, kini aku menatap masa depan dengan sembunyi-sembunyi, takut tak bisa kembali pada masa lalu.
Tapi. Mau sampai kapan?
Kini,
Pada semua hal yang berpotensi membuat aku rindu, aku hanya bisa pasrah.
Pada semua kehilangan yang akan hadapi, aku hanya mampu melepas.
Pada semua tangis yang mungkin akan berderai karena ingin mengulang masa lalu, aku hanya mampu bersiap.
Saking takutnya aku untuk merindu, kini aku berhenti untuk membayangkan semua hal yang akan terjadi dimasa depan.
Saking takutnya aku pada rasa kehilangan, kini aku berhenti untuk merasa memiliki.
Saking takutnya aku pada tangisan pilu dan rasa ingin kembali, kini aku berniat untuk menyiapkan masa depan.
Ah...
Manakah yang paling memilukan?
Perpisahan dengan kamu tau kapan batas waktunya atau perpisahan tanpa kamu tau kapan akan terjadi.
Mana yang lebih menyedihkan?
Perpisahan dengan persiapan atau perpisahan tanpa persiapan?
Saking...
Jumat, 14 Juni 2013
Perjalanan
"One's Destination is never a place, but a new way of seeing things" Henry Miller
Menyambung tulisan saya sebelumnya tentang perjalanan,
saya ingin menutup 31 hari menulis dengan refleksi tentang perjalanan hidup.
Karena jujur saja, dalam perjalanan hidup saya kini, saya sedang berada di fase
unstabil. Tapi saya tidak berusaha untuk memburu-buru fase ini ataupun bertahan
selama mungkin. Saya hanya ingin saya lebih bijak dengan adanya fase ini
sebagai bekal fase selanjutnya.
Sebuah perjalanan kadang membingungkan untuk ditebak
kapan harus berhentinya dan kapan harus memulainya. Waktu kerap membingungkan
untuk sebuah hati dan raga manusia yang akan memulai sebuah perjalanan. Dalam
perjalanan, saya kerap bertanya 'kapan' pada sang Khalik. Berharap Tuhan
semudah itu untuk saya hubungi sehingga saya bisa mendapat jawaban atas 'kapan'
yang menjadi pertanyaan. Tapi ternyata waktu adalah misteri yang Tuhan beri
dalam sebuah perjalanan. Sehingga yang paling mungkin saya lakukan adalah tetap
melakukan perjalanan tanpa pusing-pusing menunggu waktu yang tepat. Selama saya tau apa
konsekuensinya, maka perjalanan ini akan saya lakukan. Berhenti di satu tujuan
dan bersiap ke tujuan lainnya. Sesekali berputar balik dalam perjalanan, atau
terus melangkah, biarkan saja saya dewasa dengan perjalanan ini.
Mungkin akhirnya itu pula yang membuat waktu menjadi
rahasia yang cukup penting bagi perjalanan seorang manusia dalam panggung
kehidupan ini. Karena siap atau tidak, petualangan demi petualan harus tetap kita lalui. Waktu ternyata tidak sesabar itu menunggu, tidak seperti matahari
yang sabar menunggu untuk terbenam dan terbit keesokan harinya. Waktu berjalan,
tanpa menunggu persetujuan kita. Waktu hanya menyisakan pilihan dan hanya akan
ada dua yang harus kita pilih yakni take it or leave it. Simple.
Jadi sebelum waktu menggilas saya secara
habis-habisan, saya akan memulai untuk melangkah dalam perjalanan dengan satu
hal : berani mengambil keputusan.
Semoga kita tetap tangguh dalam perjalanan kita.
Tetaplah berjalan, tetaplah melakukan perjalanan!
****
Daaaan... Pada akhirnya 31 hari menulis ini telah saya
selesaikan. Sebuah perjalanan menulis yang cukup membuat hati kebat-kebit dan
memutar otak setiap harinya untuk berfikir apa yang akan saya tulis
Baiklah, sampai bertemu di 31 hari menulis tahun depan, dalam
perjalanan hidup saya yang lebih menantang lagi. Yeaaaay!
NB : terimakasih pada setiap pasang mata yang
diam-diam membaca. Semoga tulisan saya bisa mewarnai dalam setiap perjalanan
kalian.
mulai dari kembali pulang *kode |
#31
#END
#31harimenulis
#bagian2
Kereta Api
"Do not wait: the time will never be 'just right'" (napoleon hill)
Salah satu tempat yang paling ingin aku kunjungi
bersamamu adalah stasiun. Duduk berdua dalam ruang tunggu dan tertawa-tawa
melihat orang terburu waktu. Ya, cukup kamu dan aku. Melihat orang-orang hilir
mudik di sekitar kita sambil sibuk membicarakan semua hal. Ohya, kita bisa beli arum
manis yang bisa kita comot berdua. Pasti menyenangkan!
Kita cukup duduk berdua saja di tengah ruang tunggu
dengan kereta api yang akan datang dan pergi sesuai jadwal. Dengan kaki
berselonjor, di waktu senja hingga malam tiba. Kamu cukup kenakan kaos dan aku
akan kenakan terusan bunga kesukaanku.
Tapi sungguh, aku ingin duduk berdua denganmu di
stasiun kota ini. Melihat seorang wanita yang sibuk menggendong tas
bacpackernya atau sekedar melihat rombongan anak SMA yang akan melakukan
perjalan keluar kota. Sambil mengamati mereka, sudah kubilang, kitapun akan
membicarakan apapun yang menurut kita menarik.
Karena tahukah kamu, kereta api dan stasiun bagiku
adalah lambang perjalanan yang nantinya akan kita lewati bersama. Dan aku ingin
mengajakmu merasakan maknanya.
Lihatlah kereta api dan jadwal yang tertera di stasiun
ini, kadang tak sesuai bukan? Jadwal menunjukan kereta akan datang jam berapa
namun kenyatannya kadang tak sesuai. Begitu pula hidup bukan? Kadang apa yang
kita harapkan akan datang pada waktunya, namun kadang kita harus menunggu
sejenak datangnya. Ya, aku ingin berbicara tentang sabar.
Lihatlah pada antrian orang-orang ini di loket. Lihat
betapa inginnya mereka mendapatkan tiket untuk bisa sampai ditujuan. Ada yang
akhirnya mendapatkannya namun tak banyak yang akhirnya tak mendapatkan tiket.
Lihat ekspresi orang-orang itu, ada yang memutuskan untuk membeli tiket yang
mahal asalkan tetap bisa berangkat namun ada pula yang harus rela untuk
kehabisan tiket. Begitupun kita menjalani hidup bukan? kita harus berjuang
mendapatkan apa yang kita mau. Tapi bersiaplah untuk kecewa, karena kadang kita
tidak mendapatkan apa yang kita inginkan. Dan ya, aku sedang berbicara tentang
perjuangan.
Di stasiun nanti, saat kita duduk, kita akan
banyak sekali plang tujuan dengan orang-orang yang sibuk mencocokan tiket
dengan plang tujuan. Karena begitulah hakikatnya. Stasiun akan mengantarkan
orang-orang pada tujuan mereka. Pada pulangnya atau pada perginya. Tempat duduk
kita ini hanya sebagai tempat singgah untuk tempat pergi atau tempat pulang
bagi mereka. Begitulah selalu hidup ini sayangku, akan selalu ada tempat pulang
dan pergi. Tanpa itu kita akan duduk termenung di tempat tunggu. Aku ingin kamu
tau tentang sebuah perjalanan yang secara konstan akan terjadi. Disini aku
mengajakmu untuk konsisten dengan menetapkan pulang dan pergimu.
Kita mungkin akan terbahak melihak beberapa orang
ketinggalan kereta. Tapi dari situ, kita akan tau bahwa waktu akan bergerak
konstan tanpa peduli kita akan tertinggal atau kecewa. Maka tak ada yang bisa
kita lakukan selain bijaksana dalam melalui waktu.
Ah aku lupa memberitahu alasan mengapa kita harus
duduk di tempat tunggu. Duduk disini akan mengajarkan kita tentang
sesuatu yang menjadi teman hidup, dan itu adalah menunggu. Untuk itu, pastikan
kamu tidak menyalahi waktu yang nanti akan membuatmu menunggu.
Dan dari semuanya, di stasiun kita akan melihat
bagaimana semua perjalanan ini akan terbungkus baik jikalau kita ikhlas
melaluinya. Ikhlas untuk berdesak-desakan mengantri tiket, menunggu, dan
akhirnya tiba di tujuan.
Hidup hanya seperti lalu lalang stasiun. Pastikan kamu
telah membeli tiket untuk tujuan hidupmu kelak. Tapi jauh sebelum itu, kamu
harus tau kemana kamu akan menuju dengan keretamu. Pastikan kamu menunggu di
tempat yang tepat, agar kamu tidak salah. Pastikan kamu mengatur waktumu agar
tidak tertinggal. Dan serambi menunggu, kita bisa duduk beromansa berdua hingga
matahari terbit dan tenggelam tanpa kita sadari. Hingga akhirnya, kereta itupun
datang. Entah terlambat, entah tepat waktu. Ya, aku ingin kamu terbiasa dengan
menunggu tanpa tergesa. Proses itu bagaimanapun juga harus kita lalui dalam
hidup bukan?
Ah sudahlah..
Kapan waktumu? Mari kita duduk berdua, hanya berdua di
sebuah stasiun sambil melihat kereta api. Sambil merenungi bahwa hidup ini
adalah sebuah perjalanan yang kadang kita harus terburu-buru untuk melaluinya,
kadang harus membuat kita bersabar menunggu, dan sesekali kadang dalam
perjalanananya, kita akan berjalan santai.
#31
#31harimenulis
#bagian2
Langganan:
Postingan (Atom)