Di titik terendahnya, tak banyak yang bisa dilakukan oleh
manusia. Ia hanya mampu berpasrah, dan yaaa… membutuhkan setidaknya sedikit pelukan
penenang sebagai pertanda bahwa ia masih bisa bertahan, walau sedikit.
Sungguh tak banyak pilihan yang bisa dilakukan manusia pada titik
terendahnya. Selain berharap agar ada tangan manusia lain yang bisa senantiasa
menggenggam hangat dan kuping untuk mendengar. Karna saat itu manusia hanya
butuh ditemani.
Di titik terendahnya sebagai manusia. Emosi justru tak lagi
meledak. Paling hanya meletup. Sisanya manusia kadang tau tahu harus apa,
bagaimana?
Di titik terendahnya, manusia membutuhkan ruang untuk
sekedar bersandar, bercerita, dan berbagi.
Dengan kata yang tidak harus dipahami oleh banyak orang,
dengan ekspresi yang tidak harus dipakai banyak orang, dengan emosi yang tak
perlu ditolerir banyak orang.
Tapi sayangnya. Fasilitas itu susah sekali didapat.
Untuk itu, menulislah! Berceritalah. Keluarkan dengan kata
yang tidak harus dipahami oleh banyak orang, dengan ekspresi yang tidak harus
dipakai banyak orang, dengan emosi yang tak perlu ditolerir banyak orang.
Setidaknya itu bagi saya.
Blog ini, bukan blog rekomendasi karna saya tidak sering
posting. Dan saya bukan blogger. Jadi, saya lebih suka menjadikan blog ini
sebagai extasi.
Tak terhitung berapa banyaknya blog ini berperan seperti extasi
dalam hidup saya. Lebih baik menyebutnya ekstasi daripada harus menyebutnya
tong sampah. Ya siapa pula yang mau menjadikan blognya sebagai tempat membuang
sampah? Yang asumsinya, orang pasti akan jijik untuk mengambil apapun itu jika
sudah tercemplung ke tempat sampah?
Jadi alih-alih menjadikan blog ini sebagai tempat sampah
yang bau dan bisa menampung apapun (bahkan kini tempat sampah di rumah saya
saja sudah terpisah jadi sampah organic dan anorganik) maka saya lebih
berbahagia menjadikan blog ini sebagai exstasi.
Tak terhitung berapa jumlahnya blog ini menangkap semua
ekspresi dan juga emosi. Karna semua tulisan di blog ini ada karena penulisnya sedang
ada di titik emosi tertentu.
Saat gundah, saat marah, saat gamang, saat merasa kuat, saat
bahagia, apapun. Blog ini selalu bisa menjadi obat yang tepat. Terlebih ketika
sedang bermasalah dengan hati. Ketukan huruf demi huruf yang terangkai menjadi
satu postingan adalah luapan emosi yang tepat dan saat tombol post ditekan,
bagi saya, sepersekian beban menjadi hilang.
Satu lagi, murah pula.
Ya begitulah,
Karena menulis adalah terapi bagi mereka yang sedang
bermasalah dengan hati.
NB : Tulisan perdana ini adalah untuk merayakan kembali
hadirnya bang wiro, yang tahun lalu sukses membuat saya sadar bahwa menulis adalah terapi. Mari menulis. Mari berekspresi.
#1
#31harimenulis
# Part2
3 komentar
Sebenernya bukan kali pertama aku mendengar "menulis adalah sebuah terapi", tapi aku tak pernah melakukannya karena sebelumnya aku belum pernah berada pada "titik terendahnya sebagai seorang manusia". Menulis tidak menjanjikan kita untuk bertatap dengan solusi. Tetapi hanya meneduhkan emosi. Kita sendirilah yang menentukan bagaimana akhir,
follow blogku juga dong
rizalhadian.wordpress.com
thanks
Saya terkesan dengan kejujuran dan pendapat Anda tentang "menulis itu terapi.." saya sependapat juga..menulis adalah sarana yang sangat terjangkau dan efektif untuk seseorang yang mengalami titik terendah dalam kehidupannya...
Boni
penulispiritual.blogspot.com
IYa. Memang demikian tentang menulis. Kadang kata bisa jadi pelampiasan yang baik :)
Posting Komentar