Rabu, 15 Mei 2013

Menulis itu terapi



Di titik terendahnya, tak banyak yang bisa dilakukan oleh manusia. Ia hanya mampu berpasrah, dan yaaa… membutuhkan setidaknya sedikit pelukan penenang sebagai pertanda bahwa ia masih bisa bertahan, walau sedikit.

Sungguh tak banyak pilihan yang bisa dilakukan manusia pada titik terendahnya. Selain berharap agar ada tangan manusia lain yang bisa senantiasa menggenggam hangat dan kuping untuk mendengar. Karna saat itu manusia hanya butuh ditemani.

Di titik terendahnya sebagai manusia. Emosi justru tak lagi meledak. Paling hanya meletup. Sisanya manusia kadang tau tahu harus apa, bagaimana? 

Di titik terendahnya, manusia membutuhkan ruang untuk sekedar bersandar, bercerita, dan berbagi.
Dengan kata yang tidak harus dipahami oleh banyak orang, dengan ekspresi yang tidak harus dipakai banyak orang, dengan emosi yang tak perlu ditolerir banyak orang.

Tapi sayangnya. Fasilitas itu susah sekali didapat.

Untuk itu, menulislah! Berceritalah. Keluarkan dengan kata yang tidak harus dipahami oleh banyak orang, dengan ekspresi yang tidak harus dipakai banyak orang, dengan emosi yang tak perlu ditolerir banyak orang.
Setidaknya itu bagi saya.

Blog ini, bukan blog rekomendasi karna saya tidak sering posting. Dan saya bukan blogger. Jadi, saya lebih suka menjadikan blog ini sebagai extasi.

Tak terhitung berapa banyaknya blog ini berperan seperti extasi dalam hidup saya. Lebih baik menyebutnya ekstasi daripada harus menyebutnya tong sampah. Ya siapa pula yang mau menjadikan blognya sebagai tempat membuang sampah? Yang asumsinya, orang pasti akan jijik untuk mengambil apapun itu jika sudah tercemplung ke tempat sampah?

Jadi alih-alih menjadikan blog ini sebagai tempat sampah yang bau dan bisa menampung apapun (bahkan kini tempat sampah di rumah saya saja sudah terpisah jadi sampah organic dan anorganik) maka saya lebih berbahagia menjadikan blog ini sebagai exstasi.

Tak terhitung berapa jumlahnya blog ini menangkap semua ekspresi dan juga emosi. Karna semua tulisan di blog ini ada karena penulisnya sedang ada di titik emosi tertentu.
Saat gundah, saat marah, saat gamang, saat merasa kuat, saat bahagia, apapun. Blog ini selalu bisa menjadi obat yang tepat. Terlebih ketika sedang bermasalah dengan hati. Ketukan huruf demi huruf yang terangkai menjadi satu postingan adalah luapan emosi yang tepat dan saat tombol post ditekan, bagi saya, sepersekian beban menjadi hilang. 
Satu lagi, murah pula.



Ya begitulah,

Karena menulis adalah terapi bagi mereka yang sedang bermasalah dengan hati.

NB : Tulisan perdana ini adalah untuk merayakan kembali hadirnya bang wiro, yang tahun lalu sukses membuat saya sadar bahwa menulis adalah terapi. Mari menulis. Mari berekspresi.

#1
#31harimenulis
# Part2

3 komentar

Anonim mengatakan...

Sebenernya bukan kali pertama aku mendengar "menulis adalah sebuah terapi", tapi aku tak pernah melakukannya karena sebelumnya aku belum pernah berada pada "titik terendahnya sebagai seorang manusia". Menulis tidak menjanjikan kita untuk bertatap dengan solusi. Tetapi hanya meneduhkan emosi. Kita sendirilah yang menentukan bagaimana akhir,

follow blogku juga dong
rizalhadian.wordpress.com
thanks

Boni mengatakan...

Saya terkesan dengan kejujuran dan pendapat Anda tentang "menulis itu terapi.." saya sependapat juga..menulis adalah sarana yang sangat terjangkau dan efektif untuk seseorang yang mengalami titik terendah dalam kehidupannya...

Boni
penulispiritual.blogspot.com

call me ipeh mengatakan...

IYa. Memang demikian tentang menulis. Kadang kata bisa jadi pelampiasan yang baik :)

© RIWAYAT
Maira Gall