Rabu, 03 Juni 2015

Skenario!



Setiap manusia, pasti memiliki setidaknya satu luka terbesar yang tersebunyi jauh di hatinya yang paling dalam. Tidak peduli seberapa lama waktu berjalan, tetap tidak akan menjadi penawar. Luka itu akan ada di sana, entah sebagai pajangan, atau bom waktu.

Bicara tentang luka, hanya ada dua katagori manusia. Pertama pemaaf dan kedua pendendam. 
Pembedanya sederhana, cukup perhatikan cara mereka mengingat sebab musabab dari luka itu sendiri. Bagi mereka yang mengingatnya sebagai ketidakadilan, dan menilainya sebagai sesuatu yang pantas dan tidak pantas, maka katagorikan mereka pendendam. Namun yang mampu mengingat sebagai anugerah, sebagai sesuatu yang harus terjadi, katagorikan mereka sebagai pemaaf. 

Konon, manusia yang bijak adalah manusia yang tau bagaimana caranya berdamai dengan masa lalu. Termasuk berdamai dengan semua luka-luka yang pernah ada. Kalau begitu, apakah Indonesia termasuk Negara yang bijak? Sudahkah kita berdamai dengan semua luka dan masa lalu? Atau alih-alih berdamai, apakah justru kita masih gagu tentang masa lalu kita sendiri?

Aku tidak tahu mana yang lebih menyeramkan bagi sejarah Indonesia, apakah tahun 1965 atau tahun 1998? Tapi yang aku tau, keduanya jelas seperti luka yang tidak akan pernah sembuh. Alih-alih sembuh, justru melahirkan rahasia-rahasia gelap hingga detik ini. 

Jawaban-jawaban penting sepertinya raib dibawa mereka hingga mati. Yang akibatnya, kita-kita ini hanya bisa bertanya-tanya juga sampai mati. Pertanyaan macam: siapa yang mengeluarkan super semar?; Siapa yang bertanggung jawab atas kerusuhan 1998?; Siapa biang keladi peristiwa PKI?; pada akhirnya hanya Tuhan yang kuasa menjawab.

Kembali pada katagorisasi manusia yang terluka, aku ingin memberikan label pemaaf (alih-alih menyebutnya naif) pada semua penduduk Maluku Utara. 

***

Tahun 1999 adalah tahun yang penting bagi Maluku Utara. Walau sudah hampir 16 tahun berlalu, tapi luka itu masih ada di sana. Tidah lagi sebagai nanah, tapi sudah mengering dan menjadi koreng. Di tahun itulah awal mula konflik berdarah yang konon katanya akibat perbedaan agama. Coba cari saja di google, tentang sebab-musabab konflik yang terjadi di tahun itu. Hampir semua headline surat kabar menyebutkan peristiwa itu adalah konflik agama, antara laskar merah dan laskar putih, antara Kristen dan Islam. 

Dipikir-pikir cerdas juga ya dalang dari konflik ini.

Oh iya, aku lupa menceritakan tentang betapa uniknya Maluku Utara ini. Jika di Jawa, kita sudah terbiasa hidup secara heterogen dalam satu desa, maka jangan bayangkan itu terjadi di Maluku Utara. Mereka hidup terpisah antara Islam dan Kristen. Tidak ada batasan yang jelas memang antara satu desa dengan desa lainnya, namun yang jelasnya, Islam dan Kristen tidak hidup bersama di satu desa yang sama. Walaupun demikian, masih ada beberapa desa dengan penduduk Islam dan Kristen yang bercampur, namun itu hanya satu atau dua desa saja. Sisanya, mereka hidup terpisah, dan belum ada tanda-tanda untuk hidup bersama. 

Kondisi ini di mayoritas wilayah rural di Maluku Utara, bagiku, justru disitulah letak bahayanya.

Masih ada lagi keunikannya. Walau mereka hidup terpisah secara agama, tapi mereka berasal dari satu nenek moyang yang sama. Bagi mereka, sudah sangat wajar memiliki kakak dan adik yang berbeda agama. Agama bagi mereka adalah pembagian yang harus dibagi rata antara Kristen dan Islam. Jika ada dua saudara dalam satu kepala keluarga, maka yang satu akan memeluk agama Islam dan tingga di desa beragama Islam, dan yang satu akan beragama Kristen dan tinggal di desa yang beragama Kristen.
Inilah adat mereka, sesuatu yang harusnya dihormati (atau setidaknya didiamkan saja), bukan dijadikan strategi.

Aku percaya, bahwa hanya orang-orang dengan hati miskin yang mampu menjadikan agama sebagai tersangka. Karena bagaimana mungkin agama bisa menjadi biang keladi? Agama itu pada dasarnya atribut, sama seperti adat, tradisi, atau kepercayaan. Jadi bagaimana bisa atribut yang notabene pasif menjadi sumber keonaran? Dimana logikanya?

Tapi di satu sisi, aku salut pada mereka yang mampu memainkan suasana di tahun itu. Ini semakin menguatkan asumsiku bahwa hanya mereka yang memiliki kecerdasan tinggi, yang mampu menjadi diktator kelas kakap. Betapa pintarnya mereka memainkan suasana saat itu. Saat mereka paham bahwa tak ada lagi kekuasaan, maka jalan satu-satunya adakah membuat kerusuhan. Standing ovation!

Medan perang yang digunakanpun sangat tepat. Maluku Utara dengan kultur agama yang kuat namun terpisah-pisah. Bravo brother, bravo!

Sudah bisa ditebak bagaimana akhir dari cerita ini. Para dalang bersembunyi manis sambil sesekali membisikan nada-nada provokatif berbau SARA. Sesuai ekspektasi, BLAM! Konflik terjadi. Darah berjatuhan, senjata diangkat, tak ada lagi istilah keluarga, yang ada hanyalah Islam pembunuh Kristen, dan Kristen pembunuh Islam.  Hanya itu yang terjadi selama kurang lebih 3 tahun hingga rekonsiliasi terjadi.

Siapa yang tidak terluka saat agamanya di cela? Semua pasti akan bangkit atas nama Tuhan untuk membela. Bukankah ini skenario yang hebat? Para dalang menyentuh ranah paling pribadi dari setiap manusia, yaitu agama. Merenggut hak beragama dan membuat seolah-seolah merekalah yang bermasalah. Membungkam media dan mengatakan bahwa agamalah akar masalahhnya. Padahal sebelum para dalang kehilangan jabatan, mereka sudah hidup bersama, berdampingan tanpa pernah satupun ada konflik agama. Konflik yang memang sengaja dibuat, bukan? Hanya demi kredibiltas.

Good job!

Luka itu masih disana. Diam dan mengering, alih-alih menyebutnya terlupakan. Beberapa enggan membicarakannya, beberapa berusaha menutupi realitanya, beberapa bercerita dengan air mata. Namun mereka tabah, dan memilih jalan sebagai manusia pemaaf.

Jika mereka memilih memaafkan, aku memilih untuk tetap mengingat runtutan kejadian ini, sebagai sesuatu yang belum selesai.Bagaimana aku bisa menganggap selesai, saat nyawa yang merenggang sebenyak itu, bebas melenggang tanpa proses peradilan?Dan masih pula ada yang percaya bahwa itu konflik agama?

Aku memang katagori pendedam dalam urusan luka.


Exactly!


16 tahun setelah kejadian itu, Maluku Utara masih sama indahnya, walau disipisi luka.Tapi perjalanan di bumi Pattimura belum berakhir...


#31harimenulis
#7-31

Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall