Setiap manusia, pasti memiliki setidaknya
satu luka terbesar yang tersebunyi jauh di hatinya yang paling dalam. Tidak
peduli seberapa lama waktu berjalan, tetap tidak akan menjadi penawar. Luka itu
akan ada di sana, entah sebagai pajangan, atau bom waktu.
Bicara tentang luka, hanya ada dua katagori
manusia. Pertama pemaaf dan kedua pendendam.
Pembedanya sederhana, cukup
perhatikan cara mereka mengingat sebab musabab dari luka itu sendiri. Bagi
mereka yang mengingatnya sebagai ketidakadilan, dan menilainya sebagai sesuatu
yang pantas dan tidak pantas, maka katagorikan mereka pendendam. Namun yang
mampu mengingat sebagai anugerah, sebagai sesuatu yang harus terjadi, katagorikan
mereka sebagai pemaaf.
Konon, manusia yang bijak adalah manusia yang
tau bagaimana caranya berdamai dengan masa lalu. Termasuk berdamai dengan semua
luka-luka yang pernah ada. Kalau begitu, apakah Indonesia termasuk Negara yang
bijak? Sudahkah kita berdamai dengan semua luka dan masa lalu? Atau alih-alih
berdamai, apakah justru kita masih gagu tentang masa lalu kita sendiri?
Aku tidak tahu mana yang lebih menyeramkan
bagi sejarah Indonesia, apakah tahun 1965 atau tahun 1998? Tapi yang aku tau,
keduanya jelas seperti luka yang tidak akan pernah sembuh. Alih-alih sembuh,
justru melahirkan rahasia-rahasia gelap hingga detik ini.
Jawaban-jawaban penting sepertinya raib
dibawa mereka hingga mati. Yang akibatnya, kita-kita ini hanya bisa bertanya-tanya
juga sampai mati. Pertanyaan macam: siapa yang mengeluarkan super semar?; Siapa
yang bertanggung jawab atas kerusuhan 1998?; Siapa biang keladi peristiwa PKI?;
pada akhirnya hanya Tuhan yang kuasa menjawab.
Kembali pada katagorisasi manusia yang
terluka, aku ingin memberikan label pemaaf (alih-alih menyebutnya naif) pada
semua penduduk Maluku Utara.
***
Tahun 1999 adalah tahun yang penting bagi
Maluku Utara. Walau sudah hampir 16 tahun berlalu, tapi luka itu masih ada di
sana. Tidah lagi sebagai nanah, tapi sudah mengering dan menjadi koreng. Di
tahun itulah awal mula konflik berdarah yang konon katanya akibat perbedaan
agama. Coba cari saja di google, tentang sebab-musabab konflik yang terjadi di
tahun itu. Hampir semua headline surat kabar menyebutkan peristiwa itu adalah
konflik agama, antara laskar merah dan laskar putih, antara Kristen dan Islam.
Dipikir-pikir cerdas juga ya dalang dari konflik
ini.
Oh iya, aku lupa menceritakan tentang
betapa uniknya Maluku Utara ini. Jika di Jawa, kita sudah terbiasa hidup secara
heterogen dalam satu desa, maka jangan bayangkan itu terjadi di Maluku Utara. Mereka
hidup terpisah antara Islam dan Kristen. Tidak ada batasan yang jelas memang
antara satu desa dengan desa lainnya, namun yang jelasnya, Islam dan Kristen
tidak hidup bersama di satu desa yang sama. Walaupun demikian, masih ada
beberapa desa dengan penduduk Islam dan Kristen yang bercampur, namun itu hanya
satu atau dua desa saja. Sisanya, mereka hidup terpisah, dan belum ada
tanda-tanda untuk hidup bersama.
Kondisi ini di mayoritas wilayah rural di
Maluku Utara, bagiku, justru disitulah letak bahayanya.
Masih ada lagi keunikannya. Walau mereka
hidup terpisah secara agama, tapi mereka berasal dari satu nenek moyang yang
sama. Bagi mereka, sudah sangat wajar memiliki kakak dan adik yang berbeda
agama. Agama bagi mereka adalah pembagian yang harus dibagi rata antara Kristen
dan Islam. Jika ada dua saudara dalam satu kepala keluarga, maka yang satu akan
memeluk agama Islam dan tingga di desa beragama Islam, dan yang satu akan
beragama Kristen dan tinggal di desa yang beragama Kristen.
Inilah adat mereka, sesuatu yang harusnya
dihormati (atau setidaknya didiamkan saja), bukan dijadikan strategi.
Aku percaya, bahwa hanya orang-orang dengan
hati miskin yang mampu menjadikan agama sebagai tersangka. Karena bagaimana
mungkin agama bisa menjadi biang keladi? Agama itu pada dasarnya atribut, sama
seperti adat, tradisi, atau kepercayaan. Jadi bagaimana bisa atribut yang
notabene pasif menjadi sumber keonaran? Dimana logikanya?
Tapi di satu sisi, aku salut pada mereka
yang mampu memainkan suasana di tahun itu. Ini semakin menguatkan asumsiku
bahwa hanya mereka yang memiliki kecerdasan tinggi, yang mampu menjadi diktator
kelas kakap. Betapa pintarnya mereka memainkan suasana saat itu. Saat mereka
paham bahwa tak ada lagi kekuasaan, maka jalan satu-satunya adakah membuat
kerusuhan. Standing ovation!
Medan perang yang digunakanpun sangat
tepat. Maluku Utara dengan kultur agama yang kuat namun terpisah-pisah. Bravo
brother, bravo!
Sudah bisa ditebak bagaimana akhir dari
cerita ini. Para dalang bersembunyi manis sambil sesekali membisikan nada-nada
provokatif berbau SARA. Sesuai ekspektasi, BLAM! Konflik terjadi. Darah
berjatuhan, senjata diangkat, tak ada lagi istilah keluarga, yang ada hanyalah
Islam pembunuh Kristen, dan Kristen pembunuh Islam. Hanya itu yang terjadi selama kurang lebih 3
tahun hingga rekonsiliasi terjadi.
Siapa yang tidak terluka saat agamanya di
cela? Semua pasti akan bangkit atas nama Tuhan untuk membela. Bukankah ini
skenario yang hebat? Para dalang menyentuh ranah paling pribadi dari setiap
manusia, yaitu agama. Merenggut hak beragama dan membuat seolah-seolah
merekalah yang bermasalah. Membungkam media dan mengatakan bahwa agamalah akar
masalahhnya. Padahal sebelum para dalang kehilangan jabatan, mereka sudah hidup
bersama, berdampingan tanpa pernah satupun ada konflik agama. Konflik yang
memang sengaja dibuat, bukan? Hanya demi kredibiltas.
Good job!
Luka itu masih disana. Diam dan mengering,
alih-alih menyebutnya terlupakan. Beberapa enggan membicarakannya, beberapa
berusaha menutupi realitanya, beberapa bercerita dengan air mata. Namun mereka
tabah, dan memilih jalan sebagai manusia pemaaf.
Jika mereka memilih memaafkan, aku memilih
untuk tetap mengingat runtutan kejadian ini, sebagai sesuatu yang belum
selesai.Bagaimana aku bisa menganggap selesai, saat nyawa yang merenggang sebenyak itu, bebas melenggang tanpa proses peradilan?Dan masih pula ada yang percaya bahwa itu konflik agama?
Aku memang katagori pendedam dalam urusan luka.
Exactly! |
16 tahun setelah kejadian itu, Maluku Utara
masih sama indahnya, walau disipisi luka.Tapi perjalanan di bumi Pattimura belum berakhir...
#31harimenulis
#7-31
Tidak ada komentar
Posting Komentar