Aku bukan seseorang yang percaya ramalan bintang, namun
aku sering membaca watak orang dari zodiak yang dimiliknya. Jika melihat dari
tanggal lahir Jakarta yang jatuh di tanggal 22 Juni, maka bisa dipastikan bahwa
Jakarta berbintang cancer.
Sungguh celaka jika ibukota Negara memiliki zodiak
cancer. Cancer itu dikenal dengan sifatnya yang seperti roller coaster, tidak tertebak, dan diam-diam menghanyutkan. Oh
satu lagi, penyayang. Dan benar saja, Jakarta memang mewarisi sifat-sifat
cancer. Lihatlah bagaimana tidak tertebaknya Jakarta, dan selalu menghanyutkan
rumah-rumah warganya setiap tahun karena banjir. Walaupun begitu, Jakarta sangat
sayang dengan penduduknya. Terbukti dari walaupun diterpa banyak cobaan dan
derita, mereka enggan (atau tidak punya pilihan) untuk keluar dari Jakarta.
Jakarta sungguh cancer sejati.
Mungkin akan jauh lebih baik kalau Jakarta berzodiak
Leo yang jelas-jelas terkenal dengan ketangguhan hatinya dan sifat kompetitif.
Atau mungkin sagitarius yang impulsif. Lebih baiklah aku pikir, ketimbang
cancer yang sangat sensitif.
Tapi apa daya, pada tanggal 22 Juni 1527 lah, seorang
pemuda dari kerajaan Demak, bernama Fatahillah berhasil menaklukan daerah yang
terkenal dengan sungai ciliwungnya ini. Dengan inisiatif khas anak muda,
dibuatlah sebuah nama bernama Jayakarta yang artinya kemenangan berjaya.
Sekaligus menjadikan tanggal itu sebagai penetapan hari jadi Jakarta.
Satu abad kemudian, kemenangan itu kandas dan berganti
nama menjadi Batavia di tahun 1619 oleh (tentu saja) Belanda, yang artinya
adalah nenek moyang bagi orang Belanda. Dan berganti lagi Jakarta di tahun
1942.
Dan inilah dia Jakarta!
Selamat datang di Ibukota. Tempat yang konon paling
banyak menjual mimpi dan ilusi.
Bagiku semua ibukota di belahan dunia manapun akan
sama situasinya. Hingar bingar, ramai, dan menjadi pusat dari semua pusat.
Menyandang gelar ibukota tentu tak hanya membuat kotanya berbangga hati, tapi
juga bagi mereka yang menjadi penghuni.
Jika ingin mendapatkan advantages untuk memiliki status sosial tinggi, tinggal bicara
dengan menggunakan LOE dan GUE. Dijamin, status sosial bisa naik 2 hingga 3
tingkatan. Walau sebenarnya, aku sendiri juga tidak tau sejarah asal-muasal LOE
dan GUE. Tapi yang pasti, semua orang akan selalu mengasosiasikan Loe dan Gua
sebagai Jakarta. Dan menjadi Jakarta akan selalu dipandang lebih tinggi. See? Tidak sulit menjadi Jakarta.
Tinggal bicara dengan Loe dan Gue. Selesai perkara.
Suatu hari Ibuku pernah bertanya, "kenapa
ya Ree, anak-anak muda lulusan
universitas kenamaan, kalo lulus larinya ke
Jakarta semua?", yang kemudian aku timpali dengan “Kayaknya ga cuma lulusan kenamaan aja deh
Bu. Semua orang, kayaknya kalo lari ke Jakarta”
Sampai
sekarang pun aku belum sepenuhnya mengerti, mengapa diantara 17.504 pulau dan
34 provinsi, Jakarta terlihat paling menarik dan paling menyilaukan mata.
Apakah hanya karena dia Ibukota? Atau kita yang membuatnya tampak bersinar?
Jika memang setiap ibukota itu menyilaukan mata, lalu mengapa ada
seribu satu wajah temaram disana? Mengapa banyak kepalusuan, banyak kemiskinan,
dan kepura-puraan? Sangat sulit menemukan mana wajah asli Jakarta. Semuanya tersembunyi dan terasa berjarak.
Apalagi Jakarta. Tidakah kita merasa bahwa Jakarta terlampau ringkih
untuk ukuran ibukota? Bagaimana bisa setiap tahunnya provinsi seluas 740,3 km²
itu terendam banjir? Ibukota gituloh...
Come on!
Tapi datang ke Jakarta
bukanlah hal yang salah atau berdosa. Jakarta
sangat bisa mewujudkan mimpi-mimpi mereka yang berani, walau di satu sisi
Jakarta juga sangat kejam membunuh mereka yang tidak punya nyali.
Aku tidak antipati dengan Jakarta, toh aku pun satu
dari sekian juta umat manusia yang berdesakan di dalam busway. Hanya dalam beberapa hal, aku merasa tidak mengerti dengan
pikiran orang-orang yang menganggap Jakarta adalah kunci. Hingga
berbondong-bondong datang tanpa rencana dan berbekal nekat. Why?
Jakarta itu hanya
pintu, kitalah kunci itu. Bukan sebaliknya! Jangan
mau menjadi pintu dan dirampok habis oleh Jakarta. Hingga tau-tau tidak ada
yang tersisa dari kita selain hampa. Tidak semua kunci itu cocok dengan semua
pintu.
Lagipula kenapa harus jauh-jauh ke Jakarta, kalau
hanya bermimpi menjadi pesuruh?
Seriously, why?
Oh atau karena di Jakarta ada GI?
***
Di sebuah ruang rapat yang cukup dingin di sebuah
gedung pencakar langit tidak ramah energi di Jakarta.
“Ree, lo dapet
jatah libur seminggu… ”
“Thank you Vir!
Gue mau bekpekeran!”
“Kemana?”
“Sumbawa!”
“Cuma seminggu
tapi ya…”
“Siap boss!”
#31harimenulis
#16-31
#KisahRee
Tidak ada komentar
Posting Komentar