Minggu, 21 Juni 2015

Menjadi Seragam



“Tak semua orang bisa punya kesempatan yang sama. Andaikan engkau dapat membuka mata”
(Ran dan Tulus – Kita Bisa)

Hampir setahun belakangan ini saya disibukan dengan pikiran tentang “umum” dan “tidak umum”. Tentang yang biasa dilakukan orang dan tidak biasa dilakukan orang. Tentang mainstream dan anti mainstream. Saya banyak merenung tentang kenyataan bahwa jalan hidup saya ternyata tidak seperti jalan hidup mayoritas orang. Dan akhirnya membuat saya bertanya-tanya, apa nanti kata orang? Apa yang harus saya jelaskan pada mereka? 
Akibatnya saya jadi banyak berkubang dengan kebingungan bahwa seharusnya saya menjadi bagian dari masyarakat pada umumnya.

Apakah menjadi berbeda itu salah?

Sejak ada di bangku sekolah, menjadi berbeda itu hanya ada dua pilihannya. Nerd atau trendsetter. Tapi alih-alih menjadi trendsetter, orang-orang yang ‘kuat mental’ untuk menjadi berbeda, lebih memilih untuk dikatakan nerd. Selebihnya, (dan saya yakin termasuk golongan ini) memilih untuk menjadi kekinian seperti anak-anak gaul yang ada di sekolah. Saya jadi ingat, saat SMA, betapa bencinya saya dengan gaya bahasa SMS yang “gaul” itu. You know, yang nulis aku aja jadi aqu atau Q. Ugh! Saya kesel banget sebenernya. Tapi saat itu saya berfikir, kalau saya engga nulis SMS dengan bahasa begitu, saya tidak termasuk dalam dunia remaja kekinian, dan itu artinya saya nerd. Untuk status sosial yang lebih baik, maka ikut-ikutan lah saya menulis SMS dengan gaya begitu. Walau aslinya saya merasa jijik dengan gaya SMS begitu.
Di bangku sekolah menjadi berbeda itu tidak mudah ternyata. Mungkin itulah awal mula, bahwa ternyata saya ini, sangat sangat sangat terbiasa dengan menjadi seragam. Saya takut malah menjadi berbeda.

Makanya, dari dulu saya selalu merasa bahwa saya ini mainstream. Terbukti dari tidak ada hal yang berbeda dari apa yang saya lakukan. Saya tidak berpenampilan nyentrik atau bergaya yang aneh-aneh. Saya bukan vegetarian, saya suka makan mie, saya juga lebih memilih menggunakan sepeda motor ketimbang sepeda. Dan saya juga suka musik-musik top 40. Tuh kan, tidak ada hal-hal yang saya lakukan, yang mengindikasikan kalau saya ini seorang yang anti mainstream

Hingga sebuah percakapan terjadi.

Teman baik saya menyentil dengan berkata, “Banyak orang, yang anti mainstream-nya tuh cuma luarnya aja. Tapi dalemnya mah sama… pikirannya mainstream. Kalau kamu itu luarnya mainstream, pake baju aneh aja engag pede, cuma kalau dibedah, kamu tuh anti mainstream!”.
Tentu saja saya GEER setengah mati dibilang begitu. Sambil tersipu saya jawab “Ah masa sih?” Lalu teman menimpali dengan, “Tapi masalahnya kamu sendiri yang pengen jadi mainstream.. semua orang pengen jadi anti mainstream Peh, kamu udah anti mainstream, tapi pengennya mainstream. Tuh kan, kamu emang anti mainstream”

Ah apa iya? Apakah saya terobesi menjadi seragam, di saat saya justru sudah memiliki jalan yang berbeda?

Percakapan dengan teman saya itu akhirnya memberikan saya tamparan, bahwa ternyata tidak semua orang diberikan kepercayaan diri dan kekuatan untuk mensyukuri apa yang ada. Dan yang paling menyedihkan, ternyata tidak semua orang sanggup menjadi berbeda.
Sebelum percakapan itu terjadi, saya adalah contoh orang itu. Saya yang tidak pede, saya yang merasa harus sama, dan saya yang kurang bersyukur. 
Tapi kini saya sudah lebih siap menerima kenyataan bahwa saya ini anti mainstream dalam tataran yang lebih spesifik. Bukan soal fashion atau referensi musik musik tapi tentang pandangan dan pilihan-pilihan hidup.

Pada akhirnya saya harus belajar bahwa tidak semua orang harus tau dan paham mengenai alasan-alasan pemilihan hal-hal di hidup saya ini. Toh saya juga tidak punya tanggung jawab apapun kepada mereka. Dan yang kedua, saya harus belajar lebih keras lagi untuk bisa menerima garis hidup yang berbeda dari orang lain.
Semua orang harus berani untuk menjadi berbeda. Jangan takut jadi anti mainstream! Karena menjadi berbeda itu sah-sah saja.




Mari bersyukur, mari merayakan hidup.

Cheers,
A
#31harimenulis
#Penutup
#Bonus

Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall