Hidup itu ibarat bermain di lautan. Walau sekilas tampak menakutkan,
tapi laut bisa menjadi sangat menyenangkan bagi mereka yang tau caranya
bersenang-senang. Tapi bagi mereka yang takut basah, laut pasti dipandang
sebagai sebuah kecemasan.
Menjalani hidup itu bagaikan menyelami lautan. Walau kita tahu
permukaan laut begitu indahnya diterpa sinar matahari, namun jika kita
mengintip lebih dalam, niscaya akan banyak keindahan yang ditawarkan.
Menyelami kehidupan ibarat memilih antara snorkeling atau diving. Snorkeling bisa dilakukan siapapun, tapi
kita hanya akan melihat dari permukaan. Sementara diving, hanya bisa dilakukan setelah ada sertifikat khusus, tapi akan
membawa kita menuju air yang lebih tenang dan pemandangan yang lebih menakjubkan.
Hidup memang tentang menyelam. Tentang melihat ke
dasar. Tentang proses menuju ke dalam, bukan sebaliknya.
Tapi sayangnya, kita hidup di jaman yang justru memaksa kita menuju
ke permukaan. Kita hidup di jaman bahwa kita harus menunjukan apapun. Bukankah itu
hakikat media sosial? Menyebarluaskan?
Novel terakhir yang saya baca adalah Aruna dan Lidahnya karya Laksmi
Pamuntjak. Ada satu bagian saat tokoh bernama Nadheza berkata pada Aruna
tentang kegelisahan hatinya.
“Ya lihat aja sekeliling lu, Run. Berapa banyak
program kuliner yang membanjiri televisi dan media cetak saat ini? Berapa
banyak blog amatir yang membicarakan mkanan dan restoran, berapa banyak foto
makanan yang dipasang di facebook dan instagram sebagai bukti bahwa
pemakanannya punya kehidupan yang menarik?”
Kegelisahan Nadheza dalam novel itu sungguh beralasan. Di novel itu,
diceritakan bahwa Nadheza adalah kritikus makanan yang kini harus bersaing
dengan anak ABG yang bisa mengkomentari makanan seenaknya. Ya, kita memang
sedang hidup di era yang menganggap sampah arti esensi dan proses.
Lalu kemudian, saya menemukan sebuah postingan menarik di twitter
yang menjelaskan tentang profesionalitas. Dan tetiba saya mendapat jawaban dari
kesemerawutan pikiran saya.
Sesaat setelah membaca postingan itu, saya jadi bertanya pada diri
saya sendiri, apakah selama ini saya sudah
melakukan hal yang hebat, hingga bisa mengatakan saya ini ahli? Rasanya belum..
Bersaamaan dengan postingan itu, saya melihat sebuah e-flyer
tentang sebuah acara yang berjudul 'Bagaimana Menulis Blog yang Menarik'.
Pikir saya waktu itu, saya ingin mencoba mampir ke acaranya. Untuk itu saya melakukan
sedikit riset tentang si pemateri. Saya blog
walking ke blog miliki si pemateri. Hingga saya sudah membaca tulisan-tulisanya
yang lama, saya masih belum menemukan bacaan yang menarik. Apa yang ia tulis
sangat biasa, dan tidak dengan diksi yang menarik. Akhirnya, saya pun urung
berangkat.
Dua penemuan itu mengantarkan saya pada satu kesimpulan: beberapa orang memang lebih suka
membesar-besarkan hal biasa, dan sebaliknya beberapa orang mencoba biasa
terhadap hal-hal yang besar.
Saya kadang suka bertanya pada diri saya sendiri, apakah saya harus
meng-apdet kehidupan saya? Apakah
orang-orang harus tau apa kesibukan saya? Apakah jika saya berhenti mainan
path, eksistensi saya di dunia ini menjadi terancam, atau seperti apa? Kadang
saya suka risau sendiri dan menebak2 apa kata orang tentang diri saya. Apakah
saya harus mencitrakan diri saya hanya demi pengakuan? Apakah saya sudah ada di
jalan yang tepat?
Hingga hari itu saya merasa bahwa di tataran ini, saya orang yang
konvensional, kuno, dan jauh dari kekinian. Saya tidak begitu menyukai
permukaan, bagi saya apa yang ada di dasar laut jauh lebih penting untuk
dipersiapkan. Jadi alih-alih saya
mencoba mengesankan orang dengan sesuatu yang hanya ada di permukaan seperti
saya sedang apa, dimana, dan melakukan apa. Saya lebih baik fokus pada apa yang
ingin saya raih. Saya sedang membangun kerajaan bawah laut, jadi saya (seharusnya) tidak risau dengan urusan permukaan.Sesuatu yang indah di bawah harus dibangun dengan waktu dan proses.
Dan saya yakin, saya bukan satu-satunya orang konvensional disini.
Ibarat laut, saya lebih percaya bahwa apa yang ada di media sosial
adalah permukaan laut. Sesuatu yang bisa dilihat siapapun, tapi tidak ada
keindahan disana.
Sesuatu yang meledak-ledak, dan butuh pengakuan adalah permukaan.
Sesuatu yang bisa semua orang tunjukan. Padahal lautan, semakin tersembunyi, justru
akan semakin dicari.
Akhirnya saya tiba pada kesimpulan bahwa terkadang, apa yang tidak
tampak, jutru lebih penting dan menarik
ketimbang apa yang sekedar ada di permukaan.
Lagipula, bukan terumbu karang yang mencari penyelam. Tapi penyelam
yang akan menemukan terumbu karangnya. Pun mutiara akan dicari, sedalam apapun
dia bersembunyi.
Dan karena lampu sorotlah yang akan mencari artisnya, bukan
sebaliknya.
#31harimenulis
#bonus
Tidak ada komentar
Posting Komentar