Jumat, 12 Juni 2015

Menyelam!



Hidup itu ibarat bermain di lautan. Walau sekilas tampak menakutkan, tapi laut bisa menjadi sangat menyenangkan bagi mereka yang tau caranya bersenang-senang. Tapi bagi mereka yang takut basah, laut pasti dipandang sebagai sebuah kecemasan.

Menjalani hidup itu bagaikan menyelami lautan. Walau kita tahu permukaan laut begitu indahnya diterpa sinar matahari, namun jika kita mengintip lebih dalam, niscaya akan banyak keindahan yang ditawarkan.

Menyelami kehidupan ibarat memilih antara snorkeling atau diving. Snorkeling bisa dilakukan siapapun, tapi kita hanya akan melihat dari permukaan. Sementara diving, hanya bisa dilakukan setelah ada sertifikat khusus, tapi akan membawa kita menuju air yang lebih tenang dan pemandangan yang lebih menakjubkan.

Hidup memang tentang menyelam. Tentang melihat ke dasar. Tentang proses menuju ke dalam, bukan sebaliknya.

Tapi sayangnya, kita hidup di jaman yang justru memaksa kita menuju ke permukaan. Kita hidup di jaman bahwa kita harus menunjukan apapun. Bukankah itu hakikat media sosial? Menyebarluaskan?

Novel terakhir yang saya baca adalah Aruna dan Lidahnya karya Laksmi Pamuntjak. Ada satu bagian saat tokoh bernama Nadheza berkata pada Aruna tentang kegelisahan hatinya.

“Ya lihat aja sekeliling lu, Run. Berapa banyak program kuliner yang membanjiri televisi dan media cetak saat ini? Berapa banyak blog amatir yang membicarakan mkanan dan restoran, berapa banyak foto makanan yang dipasang di facebook dan instagram sebagai bukti bahwa pemakanannya punya kehidupan yang menarik?”

Kegelisahan Nadheza dalam novel itu sungguh beralasan. Di novel itu, diceritakan bahwa Nadheza adalah kritikus makanan yang kini harus bersaing dengan anak ABG yang bisa mengkomentari makanan seenaknya. Ya, kita memang sedang hidup di era yang menganggap sampah arti esensi dan proses.

Lalu kemudian, saya menemukan sebuah postingan menarik di twitter yang menjelaskan tentang profesionalitas. Dan tetiba saya mendapat jawaban dari kesemerawutan pikiran saya.




Sesaat setelah membaca postingan itu, saya jadi bertanya pada diri saya sendiri, apakah selama ini saya sudah melakukan hal yang hebat, hingga bisa mengatakan saya ini ahli? Rasanya belum..

Bersaamaan dengan postingan itu, saya melihat sebuah e-flyer  tentang sebuah acara yang berjudul 'Bagaimana Menulis Blog yang Menarik'. Pikir saya waktu itu, saya ingin mencoba mampir ke acaranya. Untuk itu saya melakukan sedikit riset tentang si pemateri. Saya blog walking ke blog miliki si pemateri. Hingga saya sudah membaca tulisan-tulisanya yang lama, saya masih belum menemukan bacaan yang menarik. Apa yang ia tulis sangat biasa, dan tidak dengan diksi yang menarik. Akhirnya, saya pun urung berangkat.

Dua penemuan itu mengantarkan saya pada satu kesimpulan: beberapa orang memang lebih suka membesar-besarkan hal biasa, dan sebaliknya beberapa orang mencoba biasa terhadap hal-hal yang besar.

Saya kadang suka bertanya pada diri saya sendiri, apakah saya harus meng-apdet kehidupan saya? Apakah orang-orang harus tau apa kesibukan saya? Apakah jika saya berhenti mainan path, eksistensi saya di dunia ini menjadi terancam, atau seperti apa? Kadang saya suka risau sendiri dan menebak2 apa kata orang tentang diri saya. Apakah saya harus mencitrakan diri saya hanya demi pengakuan? Apakah saya sudah ada di jalan yang tepat?

Hingga hari itu saya merasa bahwa di tataran ini, saya orang yang konvensional, kuno, dan jauh dari kekinian. Saya tidak begitu menyukai permukaan, bagi saya apa yang ada di dasar laut jauh lebih penting untuk dipersiapkan.  Jadi alih-alih saya mencoba mengesankan orang dengan sesuatu yang hanya ada di permukaan seperti saya sedang apa, dimana, dan melakukan apa. Saya lebih baik fokus pada apa yang ingin saya raih. Saya sedang membangun kerajaan bawah laut, jadi saya (seharusnya) tidak risau dengan urusan permukaan.Sesuatu yang indah di bawah harus dibangun dengan waktu dan proses.
Dan saya yakin, saya bukan satu-satunya orang konvensional disini.

Ibarat laut, saya lebih percaya bahwa apa yang ada di media sosial adalah permukaan laut. Sesuatu yang bisa dilihat siapapun, tapi tidak ada keindahan disana.
Sesuatu yang meledak-ledak, dan butuh pengakuan adalah permukaan. Sesuatu yang bisa semua orang tunjukan. Padahal lautan, semakin tersembunyi, justru  akan semakin dicari.
Akhirnya saya tiba pada kesimpulan bahwa terkadang, apa yang tidak tampak, jutru  lebih penting dan menarik ketimbang apa yang sekedar ada di permukaan.

Lagipula, bukan terumbu karang yang mencari penyelam. Tapi penyelam yang akan menemukan terumbu karangnya. Pun mutiara akan dicari, sedalam apapun dia bersembunyi.

Dan karena lampu sorotlah yang akan mencari artisnya, bukan sebaliknya.




#31harimenulis
#bonus

Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall