Senin, 08 Juni 2015

Morotai #2

If you're lost you can look and you will find me 
Time after time 
If you fall I will catch you, I'll be waiting 
Time after time 
(Cyndi Lauper)

Bintang adalah petunjuk. Setiap melihatnya, aku seperti diberi arahan. Saat aku merasa kalut dan hilang, aku akan menatap bintang, dan tetiba aku merasa diberi peta.

Bintang adalah benda langit yang menghasilkan cahayanya sendiri. Tidak seperti bulan yang hanya memantulkan cahaya dari benda langit lainnya, bintang nyata tidak perlu apapun untuk membuatnya bersinar. Ia mandiri, ia bersinar, dan ia indah.
Mungkin itulah alasan, kenapa bintang merasa tidak butuh bersinar di kota-kota besar yang sudah ramai dengan warna-warni kota. Cahaya adalah cahaya, ia adalah kompas. Ia merasa tidak butuh bersaing dengan cahaya lain, ia tidak butuh tandingan. Begitulah sejatinya cahaya.

Hanya butuh satu untuk melihat bintang, gelap. Kita harus benar-benar berada di kegelapan untuk bisa melihat sesuatu yang bersinar. Konsep yang sama dengan datangnya petunjuk, kita harus berada dalam keadaan kosong atau blank area dulu untuk bisa melihat kebenaran. Kita harus gelap dulu, untuk bisa melihat terang.

Hubunganku dengan bintang sudah terjalin sejak lama. Dulu, saat masih remaja, aku selalu bercerita apapun pada bintang. Bagiku, hanya bintang yang paham tentang semua duka dan nestapa. Dan bagai ritual, setiap menatap bintang, akan aku tunjuk satu bintang yang paling terang sebagai teman bicaraku. Bahkan hingga kini, aku selalu percaya, hanya bintang yang teranglah yang mempunyai kekuatan mengabulkan semua ingin.
Dan lagi, aku suka intimasi yang terasa saat menikmati bintang. Saat menatapnya, aku serasa  ditatapnya kembali.

Dan inilah kami. Duduk di bawah langit dengan hamparan bintang, deru ombak, di monumen Trikora.

"Gimana sih rasanya jadi divers?"
"Ini mimpiku sih... untuk selalu bisa deket sama air"
"Horaay, dream came true dong yaaa..."
"Bisa dibilang..."
"Apa sih yang dicari?"
"Hmm... apa ya... aku engga merasa harus mencari apa-apa, laut buatku itu rumah, kesana aku selalu pulang"
"Perasaan tenang mungkin?"
"Lebih dari itu, perasaan dianggap. Perasaan dicintai. Perasaan diterima..."

Ombak masih terus menjadi iringan suara kami.

"Kamu tau engga? Aku dulu pemakai narkoba?" katanya santai
"What? Ya engga lah... kita baru kenal. Kok bisa?"
"biasalah masa-masa muda..."
"Sekarang engga muda?"
"engga semuda dulu. Dulu aku nakal banget. Pacar aja sampe 4"
"Wah, ada yang mantan playboy nih"
"Hahahaha.. engga... masa muda mah gitu..."
"Gitu gimana?"
"Ya gitu, suka nyoba hal yang...."
"Yang...?"
"Yang ga prinsipil"
"Hahaha... trus sekarang, pacarnya berapa?" Aduh! Kenapa nanya itu ya...
"Engga punya... kamu?"
"Engga ada juga... "
"Kamu mah pemilih!"
"Ih, baru kenal, udah ngejudge"
"Keliatan kali"
"keliatan dari mana?"
"Dari cara kamu ngomong, senyum, ngelirik, dan memutuskan sesuatu. Kamu pengen semuanya sesuai sama definisi kamu..."
"emang ga boleh ya berharap sesuatu yang terbaik buat kita? Kita boleh dong selektif dan memilih sesuatu sesuai sama apa yang kita mau..."
"Ya gapapa.. ga ada salahnya, cuma dengan begitu kamu menutup diri dari sesatu yang mungkin ditakdirkan buat kamu"

Kami terdiam.

"Kadang hidup engga ngasih kita pilihan Re, kadang kita cuma butuh menjalani kenyataan"


"Kayak kenyataan kita random banget disini jam 3 pagi ya?"

Dia tersenyum.

"Jam 9 pagi aku harus pulang"
"Kalau gitu, kita disini sampe matahari terbit"

Dari birunya pantai, putihnya pasir, dan bintang malam, Morotai dengan sempurna meninggalkan hati. Ada bagianku yang tertinggal di sana, diam di sana, hingga entah.

***

Kapal feri pagi ini tidak begitu sesak dengan penumpang. Setidaknya tidak sesesak hatiku yang rasanya ingin aku tinggal saja disini.
Lambat tapi pasti, kapal bergerak maju meninggalkan Morotai yang semakin jauh dan jauh meninggalkannya...

Morotai sudah hilang dari pandangan, dan saat lumba-lumba berlompatan, handphoneku bergetar. Sebuah SMS, “Nanti bintangnya aku kirim ke Jakarta. Kamu hati-hati yaaa” Katanya.

Jangan nangis Re, jangan nangis, doktrinku.

Tapi gagal.



#31harimenulis
#10-31
#Part2

Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall