Selasa, 09 Juni 2015

Toleransi

“If you can accept this as your part of you, maybe you can figure it out how to live with it”  
(Mike to Susan, Desperate Housewife)    


Beberapa masalah sering kali terjadi karena mendebatkan perkara wajar dan tidak wajar. Kenapa bisa begitu? Alasan cukup sederhana, karena penetapan wajar dan tidak wajar itu tergantung pada sisi mana kita melihat. Wajar untuk kita, bisa jadi tidak wajar untuk mereka, begitu juga sebaliknya.

Percakapan tentang durian misalnya.

“Duren, baunya aja udah kayak orang muntah” dan dibalas dengan Poor you ga bisa makan duren!”
Atau  “Aku ga ngerti loh sama orang-orang yang suka duren, enaknya tuh dimana coba?” dan di lain sisi, “Aku ga ngerti loh sama orang-orang yang ga suka duren, kasian gitu, ga bisa ngerasain ini. Ini tuh enak binggo!” 
See? Tapi itu baru sekedar perbedaan pendapa, belum krusial. Masalah sesungguhnya adalah ketika kita sudah bersikap intoleran. Menganggap apapun yang padangannya berbeda dengan kita, sebagai sesuatu yang tidak wajar.

"Aku ga begitu suka duren, tapi kalau es duren aku suka..."
"Duren itu ga enak diolah, bukan duren lagi namanya. Duren tuh ya dimakan langsung"
"Yaudah sih... kan aku ga suka..."
"Ya itu bukan makan duren namanya. Duren itu ga bisa diolah, apalagi jadi pie duren. Bukan begitu caranya..."
Nah.. nah ini masalah sesungguhnya. Intoleran! Kalau percakapan ini dilanjutkan, bisa-bisa terjadi perang saudara, hingga bentrok berdarah, lalu genosida. Hanya karena perkara duren, eh intoleran.

Ada satu kota yang bagiku penuh dengan ketidakwajaran. Namun ibarat doktrin, aku kini sudah bisa menerimanya sebagai sesuatu yang wajar. Ladies and gentlemen, Welcome to makassar!  
 
Ketidakwajaran pertama yang aku temui adalah saat aku pindah kesini saat SMP. Saat itu, aku begitu terkejut ketika mendengar percakapan teman-teman SMPku tentang merek sepatu. Jelas bagitu itu tidak wajar. Satu, pembicaraan merek seharusnya belum menyentuh ranah anak-anak SMP. Dua, mereka lalu dengan lancang mengklasifikasi kasta sosial hanya dengan merek sepatu. Seketika aku merasa tersisih dari pergaulan SMP.

Ketidakwajaran kedua adalah saat aku menyadari bahwa kota ini adalah kota yang selalu marah. Di Makassar sangat lumrah mendengar orang menghardik, berkata kotor, atau berteriak-teriak kencang. Tapi bagiku, itu sama sekali bukan hal yang lumrah. Lumrah apanya? ngeselin iya!

Walau begitu, kenyataanya, di sinilah aku menghabiskan 3 tahun masa remajaku di SMP. Menyulap sesuatu yang bagiku tidak wajar sebagai suatu kewajaran.Hingga saat aku kembali mengunjungi Makassar saat ini, hal-hal yang aku ceritakan tadi bukan lagi sebagai ketidakwajaran, melainkan ciri khas. Ini adalah kota yang cukup penting bagiku, karena di sinilah aku berjibaku untuk hal-hal yang awalnya terasa tidak wajar bagiku. Dan pada akhirnya tidak ada pilihan bagiku selain belajar menerimanya.

Setalah nyaris 12 tahun berlalu semenjak semua kejadian-kejadian kala SMP, aku merasa pada akhirnya kita memang harus berdamai pada ketidakwajaran. Menerimanya sebagai bagian dari skenario besar dan bersyukur karenanya. Makassar adalah kepingan cerita yang mengajarkan padaku apa itu toleran, dan apa itu memaafkan.

Aku sungguh senang bisa kembali mencicipi sop saudara, bakso kotak, mie titi, ikan cakalang, dan juga es pisang hijau di kota ini. Juga bisa kembali duduk santai di pantai Losari.
Walau sebenarnya, tujuanku mampir kesini hanyalah untuk satu hal. Menyapa makam.



Menyapa ketidakwajaran.

***
"Kak re, jadi ki' kita besok pi makam?"
"Insya Allah jadi ki nah... "
"Iye' bede, nanti coba saya tanyakan ki' ke pak Dudung, biar dia antar kita"
"Iya tawwa, makasih di' "
"Iye kak Ree..."

#31harimenulis
#12-31

Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall