Kamis, 11 Juni 2015

Makam

 "You're not mine to keep..."
(Fly my eagle fly - Anggun)

Kematian seharusnya menjadi ritual yang dirayakan. Sebab itulah satu-satunya cara agar kita bisa  terlepas dari hal-hal fana milik dunia. Sungguh bahagia mereka yang mati, karena akhirnya mereka bisa menjumpai sesuatu yang kekal, sesuatu yang lebih prinsipil ketimbang dunia. Kematian juga seharusnya tidak diasosiasikan dengan sesuatu yang menakutkan dan gelap. Sebaliknya, kematian harusnya diasosiasikan dengan sesuatu yang damai dan terang.
Untuk itu, jika suatu hari aku mati, aku harap ada sebuah pesta perayaan untuku yang akhirnya menjumpai keabadian.

Jika kita mendengar kabar tentang kematian, refleks kita akan berkata "Kenapa?" atau "kok bisa?". Mungkin itu bersumber karena kita terbiasa mendengar kabar bahwa kematian adalah sebuah kejadian yang dramatis. Sehingga dibalik merenggangnya nyawa seseorang, kita percaya pasti ada cerita dibaliknya. Padahal, mati seharunya tidak memiliki cara. Mati itu takdir. Mati itu ketetapan.

Walaupun demikian, setiap orang memiliki nasib yang berbeda dalam menyambut kematian. Beberapa mati dengan darah yang bersimbah-simbah, beberapa mati dengan obat-obatan dan selang, dan beberapa mati tanpa peringatan. Konon, mati tanpa peringatan adalah cara mati paling diidam-idamkan. Karena tetiba saja nafas berhenti dan seketika kita terputus dengan kehidupan. Mati memang sudah semestinya sederhana dan misterius.

Tapi aku yakin, alasan Tuhan menjadikan mati sebagai sebuah misteri, tidak terlepas dari konsep waktu yang juga merupakan rahasia terbesarNya. Manusia hanya dibiarkan mengetahui waktu sebatas nominal. Sebatas pengetahuan tentang setahun terdiri dari 256 hari, sebulan terdiri dari 30 atau 31 hari, sehari terdiri dai 24 jam, 1 jam terdiri dari 60 menit, dan 1 menit terdiri dari 60 detik. Hanya itu saja, selebihnya kita diminta awas dan bersiap. Karena apa yang terjadi di detik selanjutnya adalah misteri.
 
Dulu aku pernah bertanya, mana yang lebih menyakitkan, menyiapkan perpisahan atau ditinggal begitu saja? Karena setakuku, perpisahan adalah musuh bebuyutan manusia. Manusia tidak pernah terbiasa dengan perpisahan, walau sebenarnya, perpisahan adalah teman dekatnya. Jadi sampai sekarangpun aku masih bertanya-tanya, mana yang lebih baik antara kematian yang dapat dipredikisi, atau kematian yang tiba-tiba.

Dan satu lagi pertanyaanku, apakah aku harus menangisi kematian?

***

Perjalanan menuju makam tidak begitu jauh dari hotel tempatku menginap. Kurang lebih 45 menit.
Sepanjang perjalanan aku melihat pemandangan yang tidak berubah dari Makassar tempo dulu. Beberapa ruas jalan masih sama kotor dan semerawutnya. Belum lagi tradisi orang sini yang mudah sekali membunyikan klakson. Berisik.
Setelah 45 menit perjalanan, sampailah aku di sebuah pemakaman. Aku butuh waktu 15 menit untuk mempersiapkan diri bertemu dengannya. Setelah aku yakin bahwa aku sanggup keluar mobil, barulah aku keluar.

Aku melihat namanya. Diam seperti sejak terakhir kali aku melihatnya.

Jika aku tidak pernah menangis karena kematiannya, apakah aku berdosa Tuhan?




#31harimenulis
#13-31

Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall