Minggu, 14 Juni 2015

Hal-Hal yang Tergantikan

When I look back on my ordinary life, I see so much magic, though I missed it at the time”
(Photograph – Jammie Cullum)


Semua hal di dunia ini memang replaceable.
Sam Smith sudah menggantikan era kejayaan Aerosmith. Jaman John Travolta bernyanyi-nyanyi di Grease kini berganti dengan jaman Lea Michele di Glee. Jaman The Police sudah berganti dengan 5 second of summer. Disket berganti flashdisk, iTunes menggantikan piringan hitam, radio berganti streaming, Alan Budikusuma berganti dengan Ihsan Maulana Mustofa, dan yang paling sering mengalami pergantian, tentu saja klub sepak bola.

Semua pergantian itu tentu saja baik, walau tetap dengan konsekuensi-konsekuensinya. Seperti Maslow's hierarchy of needs yang dengan lantang berkata bahwa piramida teratas manusia adalah aktulisasi diri. Dia berkata “What a man can be, he must be” yang mengindikasikan bahwa manusia akan selalu berubah. Dan untuk mendukung itu, manusia akan sibuk bermain bongkar pasang. Tapi itu bukan hal yang buruk, karena tanpa itu, mustahil sebuah peradaban terbentuk.

Di satu sisi, sebagai manusia, kita adalah penikmat hal-hal yang senantiasa silih berganti itu. Kitalah penikmat iPhone dan tak mau lagi menggunakan pager. Penikmat streaming, karena malas membawa-bawa radio. Penikmat WhatsApp, karena menulis surat akan memakan banyak waktu. Sadar atau tidak, kita adalah pihak yang mengganti, dan sekaligus pihak yang tidak akan ambil pusing pada hal-hal yang tergantikan.
Apakah kita peduli bahwa di tahun 2009, Kodak menghentikan produksi roll film fotonya setelah dipasarkan selama 74 tahun? Atau siapa menyadari boy band BLUE, Westlife, dan bahkan almarhumah Whitney Huston bangkrut, saat perlahan mereka tergantikan?

Tapi bagaimana jika, jika kitalah hal-hal itu?
Bagaimana jika kitalah hal yang tergantikan? Atau tanpa sadar, kita sudah digantikan?
Bagaimana jika ternyata kita adalah disket, pager, whitney Huston, westlife, dan hal-hal yang tergantikan lainnya?
Bagaimana jika ternyata, kita tidak lagi berarti untuk seseorang? Apakah kita masih sama tidak pedulinya?

Lalu kitapun mulai berimajinasi, dan memberikan doktrin bahwa ada beberapa hal yang tidak akan tergantikan no matter what. Tapi sebenarnya kita tau, nothing last forever!
Sayangnya... oh sayangnya, kita tidak bisa berharap kembali ke masa The Beatles untuk melihatnya perform. Tidak bisa bersisikukuh ingin menggunakan disket, tidak bisa menggunakan kuda sebagai alat transportasi. Walaupun kita mau, dunia yang tidak menginjinkan. Hukum alamnya jelas, matahari tidak akan bertemu bulan, selamanya.

Ternyata, kita tidak bisa menjadi pihak yang penting bagi hidup seseorang, ketika di saat sama kita menghilang.
Kita tidak bisa berharap bahwa kita adalah pihak yang diingat, ketika di saat yang sama kita lupa.
Kita tidak bisa memaksa waktu untuk menunggu, ketika di saat yang sama kita pergi.
Kita tidak bisa berharap sesuatu akan terjadi selamanya, ketika di saat yang sama kita tidak berjuang.
Kita tidak bisa selamanya menjadi istimewa.

Dan yang lebih penting, kita tidak bisa membuat keadaan kembali seperti semula, saat kita sudah terlalu jauh melangkah.
Untuk sesuatu yang sudah terlanjur berganti, kita hanya mampu menyimpan memorinya, tapi tidak untuk menjadikannya nyata.
Kita tidak bisa menjadi disket dan berharap Apple Inc menciptakan slot khusus untuk kita. Kita harus menghargai apa yang sudah berganti, bukankah begitu?

Kita harus menerima, bahwa akan selalu ada dua sisi dalam kehidupan ini. Saat kita sudah mencoba mengganti, di saat yang sama, di sisi yang berbeda, kita sudah menjadi yang terganti.


Sesederhana itu.
***


Untuk Ujang Fahmi.


#31harimenulis

#Bonus

Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall