"Now I will tell you what I've done for you"
Dia berdiri di depan pintu. Memandang pilu lelaki itu.
Sudut matanya menyiratkan getirnya dirinya menahan semua
asa. Asa yang coba ia perjuangkan namun percuma.
Satir dan gontai tatapan mata itu menyapu seluruh tubuh
lelaki itu, dari atas hingga bawah dan berhenti lekat pada bagian mata.
Entah kebencian, entah kekecewaan, atau bahkan rasa lega, makna
dari tatapannya itu. Bias.
Lelaki yang sedari tadi dipandangnya itu hanya diam. Hendak
berkata tapi enggan. Karena lelaki itu tahu betul bahwa si wanita tidak akan
lagi percaya pada apapun yang akan ia sampaikan.
Dia berdiri di depan pintu,
Kali ini dengan tubuh yang bergetar. Semua perasaan dan
pengharapan yang ia pendam meledak sudah.
Hal yang coba ia perjuangkan namun terhembus begitu saja
tanpa bekas.
Memendam memang tak pernah mudah baginya. Kini, tanpa kata,
tanpa amukan, dan yang tersisa hanya getaran yang diiringi butir air mata dan
nafas tertahan.
Lelaki itu memandang si wanita. Ingin sekali menjelaskan dan
menenangkan atau jika bisa memeluk, tapi si wanita terlihat begitu bergetarnya,
hingga perasaan bersalah menyeruak hadir di batin lelaki itu. Nyalinya masih
ada, tapi perasaan bersalah menahannya mendekati wanita itu.
Dia masih berada di depan pintu.
Kini lengkap dengan membawa gembok di tangannya yang masih
tampak bergetar.
Kepalanya mendongak dan berkata lirih "mungkin
ini waktunya.."
Lelaki itu tampak mengerti dengan apa yang dikatakan wanita,
namun jiwa lelakinya seperti ditantang untuk berkata, menjelaskan apa yang
perlu didengarkan oleh si wanita
Bagi lelaki ini, rasa bersalah itu harus ditebus setidaknya
dengan secuil penjelasan yang juga tak akan diperbolehkan menuju hati, paling
juga hanya diterima telinga dan dikibaskan lagi oleh si wanita.
Di pintu itu, perang telah dimulai.
Dua emosi beradu kebenaran dan saling tuduh rasa bersalah.
Ada seorang wanita berjuang untuk mendengarkan dan seorang
lelaki berjuang untuk menjelaskan.
Tak ada titik temu. Semua memantul pada semu.
Tak ada dari mereka yang mencoba untuk saling mengerti. Bagi
mereka, kebenaran adalah apa yang mereka yakini benar. Benar-benar perang
sebenarnya.
Keduanya salah. Mungkin, keduanya benar. Entahlah..
Hati orang siapa yang tahu, pedih hati siapa yang sangka.
Pintu itu hanya diam menunggu akhir sambil menatap takut
pada mata si wanita. Bahkan pintupun tahu mata si wanita yang sayu itu
terlampau lelah. Entah seberapa pedih si wanita, hingga kilau matanya redup.
Hingga si wanitapun tak sanggup lagi.
Di pintu itu, dia berteriak kencang dan lantang, memekik
mengerikan "pergi kau, keluar dari
sini, dan jangan pernah masuk lagi kedalam. Jangan pernah mengetuk. Dan jangan
mencoba untuk mengintip apa yang ada di dalam. Pokoknya jangan pernah!"
Lelaki itu tak cukup bodoh untuk tahu apa yang harus
dilakukannya. Mungkin benar kata si wanita
bahwa ini memang saatnya.
Pada bintang yang selama ini ia titipkan rindu, wanita itu
berkata "bahagia itu tidak akan jauh
darimu. Jika itu menjadi milikmu, maka akan menjadi milikmu. Mungkin bahagiamu
hadir sekarang. Pintu lain telah terbuka untukmu, dan aku secara paksa harus
mengusirmu dari sini. Karena tak mungkin kau berada di dua pintu yang berbeda,
dan akan menjadi teramat tak adil, jika
kau hanya mengunjungi satunya, sementara yang satunya berdiri di pintu berharap
kehadiranmu. Tunggu sebentar, bahkan pintu bukanlah untuk sekedar untuk dibuka,
pintu yang telah terbuka memberi hak untuk dimasuki dan dikunci daridalam.
Dalam titik ini, aku betul bukan? terakhir yang harus kamu tahu, aku sakit. Aku
cukup sakit"
Di pintu itu, si wanita menutup pintunya, dan ini bukan
untuk pertama kalinya. Entah kapan lagi pintu itu terbuka. Pasrah dia serahkan
pada waktu dan skenarioNya.
Lelaki itu tidak menyadari bahwa saat wanita itu menutup
pintunya, dia memegang ganggang pintu, meremas dan meremasnya sekali lagi.
Mencoba mengikhlaskan setiap langkah dan punggung yang berjalan kian menjauh
menuju pintu lainnya dari lubang pintunya. Ia menjerit pelan dan merasakan
perih yang berdenyut.
Ya, wanita itu telah mengusir paksa satu-satunya penghuni
hatinya.