Sabtu, 01 September 2012

kado puasa pertama adalah bintang jatuh



Saya berada beribu-ribu kilometer dari semua hal yang biasa ada di bulan ramadhan tahun lalu. Saya dihalangi lautan dan pulau juga ribuan pohon yang bahkan membuat signal telefon saja hilang.
Saya jauh dari jogja. Saya jauh dari mama dan ayah. Saya jauh dari seluruh iklan televisi edisi ramadhan. Saya jauh dari sinetron para pencari tuhan yang entah jilid berapa untuk tahun ini. Jauh dari ngabuburit dan buka bersama. Dan jauh dari sirine buka puasa TVRI.

Untuk pertama kalinya saya berpuasa di tempat yang bahkan adzan saja tidak pernah saya dengar secara langsung dari masjid. Tempat yang seluruh masyarakatnya beragama non islam. Ya beginilah adanya, tanpa listrik, tanpa sirup marjan, tanpa es, tanpa semua hal khas ala Ramadhan.
Ini puasa pertama di tahun ini yang saya lewatkan dengan ketidakadaan signal untuk menanyakan kabar pada orang-orang yang saya kenal, bahkan sekedar untuk meminta maaf dan mengucapkan selamat berbuka puasa pada orang-orangpun itu tidak bisa lagi. Puasa pertama tahun lalu saya ada di gerai dagadu dan saya lewati dengan 31 orang yang saya sayang. Dan tahun ini saya berada di papua, tepatnya di desa yakati dengan 9 orang lainnya yang sudah seperti keluarga sendiri.
Sahur pertama kami adalah sayur lodeh dengan daun singkong yang dipetik di hutan dan dimasak oleh koki handal mas yoyo, dengan perkedel jagung juga nutrijell rasa leci. Saat sahur, saya sengaja menyetel lagu-lagu islam rohani untuk menyadarkan saya dan memberikan feel bahwa Ramadhan telah tiba dan hari ini saya akan puasa.

Rasanya agak aneh sih dan jujur saja, tidak terasa seperti bulan ramadhan. Ya sekali lagi, tak ada semerbak apapun yang memperlihatkan bahwa bulan agung penuh berkah ini telah tiba. Tiba-tiba sedih melanda, dan rasanya ingin pulang untuk sekedar berbuka puasa pertama dengan keluarga..

Tapi saya yakin 9 orang lainnyapun memiliki perasaan yang sama. Hingga mungkin, , akumulasi perasaan ini justru menjadikan suasana ramadhan yang tidak akan pernah bisa saya lupakan seumur hidup saya.
Pada dasarnya, hari pertama puasa ini, sama seperti hari-hari sebelumnya selama kami di papua. Panas terik tanpa hujan yang mengguyur seperti beberapa hari lalu. Untungnya hari ini kami libur program dan meluangkan waktu untuk membersihkan pastori tempat kami menginap. Panas papua sungguh membuat energi terkuras dan juga pikiran menjadi sangat kacau. Untungnya , canda dari 9 orang lainnya mampu membuat suasana menjadi lebih dingin.
Kami berbuka puasa lebih lama dari di jawa. Kami berbuka pada pukul 18.30 waktu indonesia bagian timur. Yap, inilah buka puasa pertama tahun ini. kami berbuka dengan natadecoco yang hanya dicampur air gula. Tapi anehnya, bagi saya yang tidak menyukai nata de coco,saya harus mengakui bahwa ini adalah buka puasa terlezat dan tersyukur yang pernah ada semumur hidup saya. I swear!
Ada pula pisang goreng sebagai teman berbuka puasa kami hari ini. Dalam hati saya bersyukur bahwa akahirnya saya berjumpa kembali dengan ramadhan, bulan yang selalu menjadi bulan favorite saya. Dan saya bisa berbuka puasa untuk yang pertama kalinya juga dengan rasa syukur tiada tara.
Walaupun rasa rindu banyak tersimpan dan entah bagaimana menyampaikannya pada mereka yang berhak pada rindu ini. Tapi berbuka puasa tadi adalah moment yang tak akan saya lupakan!



Well, karena hari ini saya ada jadwal piket, maka setelah makan besar, saya, fauzan, dan ozi, harus mencuci piring di kali. Puji syukur kehadirat Allah SWT yang memberikan langit cerah sehingga saya bisa melihat bintang yang teramat indah di hari pertama puasa ini. Dan sebagai bonus, ada sebuah bintang jatuh di angkasa. Saat itu terjadi, saya pun segera mematikan head lamp dan memejamkan mata. Beberapa permohonan yang ada di hati, segera saya lontarkan, semoga bintang mendengar dan. dan dengan sinarnya juga bisa mengabulkan apa yang diinginkan hati.

saya rindu. dan hanya bintang yang bisa mendengar dan saya berharap, rindu itu dirasakan juga oleh mereka. oleh kamu.

yakati 20 juli 2012 22:22

Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall