“kapan-kapan… kita bertemu lagi…
kapan-kapan… kita berjumpa lagi. Mungkin esok, atau dilain hari…”
Perpisahan memang ada untuk membuat kita lebih menghargai
pertemuan.
Tak ada terbesit dalam pikiran saya, bahwa orang seperti
saya bisa menginjakan kaki di Papua dengan tidak menggunkana biaya sendiri
malah. Melalukan pengabdian dan semua kegiatan selama hampir 5 minggu.
untuk yang terakhir kalinya, saya berkeliling desa dan menghirup udara dalam-dalam. Memejamkan mata lekat-lekat dan menyimpan semua itu jauh kedalam sanubari.
Saya mengajak foto semua orang, termasuk papa louis yang genit.
untuk yang terakhir kalinya, saya berkeliling desa dan menghirup udara dalam-dalam. Memejamkan mata lekat-lekat dan menyimpan semua itu jauh kedalam sanubari.
Saya mengajak foto semua orang, termasuk papa louis yang genit.
Pagi tadi, anak-anak sub unit Yensei datang ke desa kami untuk menjemput. Seperti kejadian yang sama saat kami ber 20 tiba di Yakati 5 minggu lalu. Bedanya, jika dulu kami mengantar mereka pergi ke desa lainnya, kali ini, kamu dijemput oleh mereka.
Kami kembali berkumpul ber20. Bedanya kini, bawa-bawaan kami sudah berkurang drastis. Kami hanya membawa barang pribadi masing-masing. Itupun tidak lagi sebesar dan seberat saat berangkat karna hampir sleuruh barang kami, kami hibahkan (dan ada pula) yang dijarah paksa oleh warga.
Kami kembali berkumpul ber20. Bedanya kini, bawa-bawaan kami sudah berkurang drastis. Kami hanya membawa barang pribadi masing-masing. Itupun tidak lagi sebesar dan seberat saat berangkat karna hampir sleuruh barang kami, kami hibahkan (dan ada pula) yang dijarah paksa oleh warga.
Pemandangan pagi itu membuat terenyuh siapapun yang melihat.
Harusnya memang perpisahan ini dishooting oleh media swasta. Semua warga
berkumpul menjadi satu dan beberapa diantaranya telah menitikan air mata.
Karena insiden semalam, saya dan fauzan melewatkan acara
perpisahan yang telah dibuat oleh warga. Katanya mbak fitri, hampir seluruh
warga semalam tadi nangis sesenggukan karena perpisahan kami.
Melihat anak-anak Yensei yang sudah datang menjemput kami, saya jadi merasa tak ingin pergi
dari Yakati, saya merasa ingin memulainya dari awal lagi.
Saya sudah jatuh hati pada kampung ini dan seisinya.
Ya. Tak akan ada yang mampu menghentikan detak waktu. Dia
terus berjalan dan mengingatkan kita bahwa kehidupan selanjutnya telah
menunggu.
Kami ber 20, pemda, dan masyarakat desa yakati mengantar
kami semua ke dermaga.
Anak yensei merasa tahu diri dan naik ke kapal katinting
terlebih dahulu meninggalkan kami ber 10 yang akan memberikan kalimat terakhir.
Faizal selaku kormasit berdiri dan menyampaikan rasa
terimakasih dan maaf atas seluruh hal yang sengaja maupun tidak kami lakukan
selama 5 minggu di KKN.
Suara tangis yang menjadi backsound pagi tadi membuat rasa
haru yang besar. Saya tak berani melirik seluruh warga Yakati, saya takut akan
menangis lebay.
Satu demi satu dari kami ber10 menaiki kapal dan melihat
mereka yang berkumpul di dermaga dengan suara isak tangis yang berderai
kencang. Mata merah, pelukan kancang, lambaian tangan.
Ah cukup! Ini terlalu
manis untuk dilihat.
Saya mengusap air mata yang jatuh tak berhenti melihat
mereka menangis yang juga tak berhenti.
Katinting lambat dan pasti meninggalkan desa Yakati. Desa
penuh kenangan. Desa pendewasaan. Desa kampung halaman saya yang kedua.
Pandangan pemandangan Yakati semakin kabur dan diganti air
yang indah.
Hanya waktu yang tega memisahkan manusia.
Satu peristiwa telah berlalu.
Yak, KKN telah selesai.
Kapal Katinting,
perjalanan pulang 11 Agustus 2012
Tidak ada komentar
Posting Komentar