Rabu, 19 September 2012

Pintu

"Now I will tell you what I've done for you"

Dia berdiri di depan pintu. Memandang pilu lelaki itu.
Sudut matanya menyiratkan getirnya dirinya menahan semua asa. Asa yang coba ia perjuangkan namun percuma.
Satir dan gontai tatapan mata itu menyapu seluruh tubuh lelaki itu, dari atas hingga bawah dan berhenti lekat pada bagian mata.
Entah kebencian, entah kekecewaan, atau bahkan rasa lega, makna dari tatapannya itu. Bias.
Lelaki yang sedari tadi dipandangnya itu hanya diam. Hendak berkata tapi enggan. Karena lelaki itu tahu betul bahwa si wanita tidak akan lagi percaya pada apapun yang akan ia sampaikan.

Dia berdiri di depan pintu,
Kali ini dengan tubuh yang bergetar. Semua perasaan dan pengharapan yang ia pendam meledak sudah.
Hal yang coba ia perjuangkan namun terhembus begitu saja tanpa bekas.
Memendam memang tak pernah mudah baginya. Kini, tanpa kata, tanpa amukan, dan yang tersisa hanya getaran yang diiringi butir air mata dan nafas tertahan.
Lelaki itu memandang si wanita. Ingin sekali menjelaskan dan menenangkan atau jika bisa memeluk, tapi si wanita terlihat begitu bergetarnya, hingga perasaan bersalah menyeruak hadir di batin lelaki itu. Nyalinya masih ada, tapi perasaan bersalah menahannya mendekati wanita itu.

Dia masih berada di depan pintu.
Kini lengkap dengan membawa gembok di tangannya yang masih tampak bergetar.
Kepalanya mendongak dan berkata lirih "mungkin ini waktunya.."
Lelaki itu tampak mengerti dengan apa yang dikatakan wanita, namun jiwa lelakinya seperti ditantang untuk berkata, menjelaskan apa yang perlu didengarkan oleh si wanita
Bagi lelaki ini, rasa bersalah itu harus ditebus setidaknya dengan secuil penjelasan yang juga tak akan diperbolehkan menuju hati, paling juga hanya diterima telinga dan dikibaskan lagi oleh si wanita.

Di pintu itu, perang telah dimulai.
Dua emosi beradu kebenaran dan saling tuduh rasa bersalah.
Ada seorang wanita berjuang untuk mendengarkan dan seorang lelaki berjuang untuk menjelaskan.
Tak ada titik temu. Semua memantul pada semu.
Tak ada dari mereka yang mencoba untuk saling mengerti. Bagi mereka, kebenaran adalah apa yang mereka yakini benar. Benar-benar perang sebenarnya.
Keduanya salah. Mungkin, keduanya benar. Entahlah..
Hati orang siapa yang tahu, pedih hati siapa yang sangka.
Pintu itu hanya diam menunggu akhir sambil menatap takut pada mata si wanita. Bahkan pintupun tahu mata si wanita yang sayu itu terlampau lelah. Entah seberapa pedih si wanita, hingga kilau matanya redup.

Hingga si wanitapun tak sanggup lagi.
Di pintu itu, dia berteriak kencang dan lantang, memekik mengerikan "pergi kau, keluar dari sini, dan jangan pernah masuk lagi kedalam. Jangan pernah mengetuk. Dan jangan mencoba untuk mengintip apa yang ada di dalam. Pokoknya jangan pernah!"

Lelaki itu tak cukup bodoh untuk tahu apa yang harus dilakukannya. Mungkin benar kata si wanita  bahwa ini memang saatnya.

Pada bintang yang selama ini ia titipkan rindu, wanita itu berkata "bahagia itu tidak akan jauh darimu. Jika itu menjadi milikmu, maka akan menjadi milikmu. Mungkin bahagiamu hadir sekarang. Pintu lain telah terbuka untukmu, dan aku secara paksa harus mengusirmu dari sini. Karena tak mungkin kau berada di dua pintu yang berbeda, dan akan menjadi teramat tak adil,  jika kau hanya mengunjungi satunya, sementara yang satunya berdiri di pintu berharap kehadiranmu. Tunggu sebentar, bahkan pintu bukanlah untuk sekedar untuk dibuka, pintu yang telah terbuka memberi hak untuk dimasuki dan dikunci daridalam. Dalam titik ini, aku betul bukan? terakhir yang harus kamu tahu, aku sakit. Aku cukup sakit"

Di pintu itu, si wanita menutup pintunya, dan ini bukan untuk pertama kalinya. Entah kapan lagi pintu itu terbuka. Pasrah dia serahkan pada waktu dan skenarioNya.

Lelaki itu tidak menyadari bahwa saat wanita itu menutup pintunya, dia memegang ganggang pintu, meremas dan meremasnya sekali lagi. Mencoba mengikhlaskan setiap langkah dan punggung yang berjalan kian menjauh menuju pintu lainnya dari lubang pintunya. Ia menjerit pelan dan merasakan perih yang berdenyut.

Ya, wanita itu telah mengusir paksa satu-satunya penghuni hatinya.


Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall