"Guru niku, digugu lan di tiru.."
Dari dulu, saya selalu suka
mengajar. Bahkan sempat, mama saya menyuruh saya masuk pendidik guru di IKIP
karena saya memang suka mengajar.
Dan keberadaan saya di papua ini
membuat hasrat mengajar saya menjadi tersalurkan.
Di yakati ini, hanya terdapat satu gedung sekolah. Satu gedung
untuk seluruh aktifitas belajar mengajar. Gedung yang menampung seluruh
masayarakat yakati yang harus bersekolah. Pendidikan di yakati ini hanya sampai
pada jenjang SMP saja, sehingga bagi mereka yang ingin melanjutkan penididikan
ke jenjang selanjutnya harus pergi ke bintuni.
tampak depan |
Sekolah
dasar yang ada di Yakati ini terdiri secara normal oleh enam kelas. Kelas yang
paling banyak siswanya adalah kelas satu SD. Saya tak tahu persisnya berapa
jumlahnya, tapi anak kelas satu ini ada sekitar 20 an lah.. sementara kelas dua
hanya satu orang bernama martin, kelas tiga ada 3 atau 4 orang begitu juga
kelas 5 dan kelas 6 nya. Hanya terdiri beberapa siswa saja.
Kalau biacara
pendidikan di yakati ini, saya hanya bisa tersenyum galau. Mereka kan juga anak
Indonesia yang harusnya punya hak pendidikan yang sama seperti anak-anak yang
ada di jawa. Tapi nyatanya mereka memang tidak seberuntung mereka yang ada di Jawa
sana. Dari segi sarana prasaran yang snagat kurang memadai, kurikulum yang
masih berantakan, dan juga minimnya inovasi pengajaran dan motivasi untuk
mereka semua.
Tenaga pengajar disini sebetulnya
sudah ada. namanya adalah bu afrida. Bu afrida ini adalah guru honorer dari
dinas pendidikan. Dia ada di yakati karena pembagian tugas. Saya melihat, ada
kejenuhan yang membuat profesinya sebagai guru menjadi tidak enjoy lagi. Awalnya
saya malah menjudge guru ini tidak
komit dengan pekerjaanya. Jadi di awal, saya sedikit tidak respek dengan dia. Karena,
seharusnya dia bisa melakukan banyak hal lagi untuk anak-anak disini. Tapi
lantas saya jadi berfikir, bahwa tidak mudah menjadi seperti dia. Menjadi guru
honorer di yakati yang tidak ada hiburan apa-apa. Anak-anaknya pun tidak mudah
menangkap materi yang diberikan. Memang tantangan dan kendalanya besar untuk
mengajar di Yakati ini. Belum lagi, tenaga pengajar yang ada saat ini, ya hanya
bu Afrida saja. Bayangkan, dia harus mengajar 6 kelas SD ditambah SMP. Berat juga
sih. Pengajar yang lain entah kemana saat ini. katanya masih di Bintuni.
Untuk itu
kami membantu mengajar.
Hmm..
anak-anak ini, tidak bisa diajarkan dengan cara biasa atau konvensional. Harus ada
cara pembelajaran yang cocok untuk mereka. Mengapa saya mengatakan demikian? Karena
mereka tidak terbiasa berada di lingkungan intelektual. Jadi tidak bisa
sepenuhnya menerapkan cara mengajar seperti di Jawa. Saya setuju dengan apa
yang dikatakan fauzan.
“penididikan awal itu harusnya
dari keluarga. Tapi, keluarganya saja juga mendidik mereka dengan kekerasan”
Ya welcome to the club
man. Pendidikan bagi mereka seperti kebutuhan tersier. Sehingga mereka tak
akan segan meninggalkan sekolah untuk membantu orang tuanya mencuci di daratan.
Kembali lagi pada sistem belajar
mengajar disini. Ya sepertinya tidak bisa dengan teknik biasa saja untuk
mengajarkan materi belajar kepada mereka. Mereka terbiasa dikerasi jika mereka tidak bisa mengingat sesuatu. Jadi cara kami
yang mengajar dengan penuh kelembutan di awal itu malah membuat mereka
menyepelekan materi dari kami. Tapi overall,
mereka anak-anak yang memiliki jiwa belajar yang besar. Keingin tahuan mereka
akan banyak hal juga banyak ditujukan dengan keaktifan mereka datang ke pastori
kami untuk membaca buku atau menyusun puzzle.
Selain yang
kelas 1, hampir mayoritas siswa-siswinya telah bisa membaca walaupun masih ada
satu dua yang masih tertatih.
Karena kami
tak begitu paham akan kurikulum SD maka kami hanya berpedoman pada buku teks
belajar saja. Bagi saya dan fauzan yang memegang kelas 1, fokus kami adalah membuat
mereka bisa membaca dan berhitung secara sederhana. Ya itu saja bagi kami
membutuhkan usaha yang tidak mudah.
Setiap harinya
kami mengajar. Aktifitas belajar dimulai pada pukul 08.00 WIT. Jika hujan, dan
jalan licin, saya harus menggangandeng fauzan agar saya tidak jatuh. Wajah-wajah
calon pemimpin ini menyenangkan untuk dilihat, terlebih saat mereka sedang
berdoa. Mereka terlihat khusyuk dan begitu lucu. Wajah mereka begitu kecil. Tapi
selebihnya, mereka hanyalah anak kelas 1 yang sangat menyukai kegaduhan. Saat saya
menegajarkan membaca pada mereka, di sisi sebelah kanan seorang anak bisa
menangis karena dinakali temannya. Di sebelah kiri, ada anak yang sibuk memakan
sagu. Di bagian depan ada anak yang sibuk mendengarkan. Ada anak yang ingin
keluar ruangan. Ah.. anak-anak ini…
topi saya bundar... |
ga pake seragam gapapa, asal sekolah |
jumlah seluruh anak kelas 1, 2, 3 SMP hanya sekitar 12 orang |
Tidak ada komentar
Posting Komentar