Sabtu, 01 September 2012

Pendidikan


"Guru niku, digugu lan di tiru.."

Dari dulu, saya selalu suka mengajar. Bahkan sempat, mama saya menyuruh saya masuk pendidik guru di IKIP karena saya memang  suka mengajar.

Dan keberadaan saya di papua ini membuat hasrat mengajar saya menjadi tersalurkan.
Di yakati ini, hanya terdapat satu gedung sekolah. Satu gedung untuk seluruh aktifitas belajar mengajar. Gedung yang menampung seluruh masayarakat yakati yang harus bersekolah. Pendidikan di yakati ini hanya sampai pada jenjang SMP saja, sehingga bagi mereka yang ingin melanjutkan penididikan ke jenjang selanjutnya harus pergi ke bintuni.


tampak depan



                Sekolah dasar yang ada di Yakati ini terdiri secara normal oleh enam kelas. Kelas yang paling banyak siswanya adalah kelas satu SD. Saya tak tahu persisnya berapa jumlahnya, tapi anak kelas satu ini ada sekitar 20 an lah.. sementara kelas dua hanya satu orang bernama martin, kelas tiga ada 3 atau 4 orang begitu juga kelas 5 dan kelas 6 nya. Hanya terdiri beberapa siswa saja.
                Kalau biacara pendidikan di yakati ini, saya hanya bisa tersenyum galau. Mereka kan juga anak Indonesia yang harusnya punya hak pendidikan yang sama seperti anak-anak yang ada di jawa. Tapi nyatanya mereka memang tidak seberuntung mereka yang ada di Jawa sana. Dari segi sarana prasaran yang snagat kurang memadai, kurikulum yang masih berantakan, dan juga minimnya inovasi pengajaran dan motivasi untuk mereka semua.
Tenaga pengajar disini sebetulnya sudah ada. namanya adalah bu afrida. Bu afrida ini adalah guru honorer dari dinas pendidikan. Dia ada di yakati karena pembagian tugas. Saya melihat, ada kejenuhan yang membuat profesinya sebagai guru menjadi tidak enjoy lagi. Awalnya saya malah menjudge guru ini tidak komit dengan pekerjaanya. Jadi di awal, saya sedikit tidak respek dengan dia. Karena, seharusnya dia bisa melakukan banyak hal lagi untuk anak-anak disini. Tapi lantas saya jadi berfikir, bahwa tidak mudah menjadi seperti dia. Menjadi guru honorer di yakati yang tidak ada hiburan apa-apa. Anak-anaknya pun tidak mudah menangkap materi yang diberikan. Memang tantangan dan kendalanya besar untuk mengajar di Yakati ini. Belum lagi, tenaga pengajar yang ada saat ini, ya hanya bu Afrida saja. Bayangkan, dia harus mengajar 6 kelas SD ditambah SMP. Berat juga sih. Pengajar yang lain entah kemana saat ini. katanya masih di Bintuni.
                Untuk itu kami membantu mengajar.
                Hmm.. anak-anak ini, tidak bisa diajarkan dengan cara biasa atau konvensional. Harus ada cara pembelajaran yang cocok untuk mereka. Mengapa saya mengatakan demikian? Karena mereka tidak terbiasa berada di lingkungan intelektual. Jadi tidak bisa sepenuhnya menerapkan cara mengajar seperti di Jawa. Saya setuju dengan apa yang dikatakan fauzan.
“penididikan awal itu harusnya dari keluarga. Tapi, keluarganya saja juga mendidik mereka dengan kekerasan
Ya welcome to the club man. Pendidikan bagi mereka seperti kebutuhan tersier. Sehingga mereka tak akan segan meninggalkan sekolah untuk membantu orang tuanya mencuci di daratan.
Kembali lagi pada sistem belajar mengajar disini. Ya sepertinya tidak bisa dengan teknik biasa saja untuk mengajarkan materi belajar kepada mereka. Mereka terbiasa dikerasi jika mereka  tidak bisa mengingat sesuatu. Jadi cara kami yang mengajar dengan penuh kelembutan di awal itu malah membuat mereka menyepelekan materi dari kami. Tapi overall, mereka anak-anak yang memiliki jiwa belajar yang besar. Keingin tahuan mereka akan banyak hal juga banyak ditujukan dengan keaktifan mereka datang ke pastori kami untuk membaca buku atau menyusun puzzle.
                Selain yang kelas 1, hampir mayoritas siswa-siswinya telah bisa membaca walaupun masih ada satu dua  yang masih tertatih.
                Karena kami tak begitu paham akan kurikulum SD maka kami hanya berpedoman pada buku teks belajar saja. Bagi saya dan fauzan yang memegang kelas 1, fokus kami adalah membuat mereka bisa membaca dan berhitung secara sederhana. Ya itu saja bagi kami membutuhkan usaha yang tidak mudah.
                Setiap harinya kami mengajar. Aktifitas belajar dimulai pada pukul 08.00 WIT. Jika hujan, dan jalan licin, saya harus menggangandeng fauzan agar saya tidak jatuh. Wajah-wajah calon pemimpin ini menyenangkan untuk dilihat, terlebih saat mereka sedang berdoa. Mereka terlihat khusyuk dan begitu lucu. Wajah mereka begitu kecil. Tapi selebihnya, mereka hanyalah anak kelas 1 yang sangat menyukai kegaduhan. Saat saya menegajarkan membaca pada mereka, di sisi sebelah kanan seorang anak bisa menangis karena dinakali temannya. Di sebelah kiri, ada anak yang sibuk memakan sagu. Di bagian depan ada anak yang sibuk mendengarkan. Ada anak yang ingin keluar ruangan. Ah.. anak-anak ini…
topi saya bundar...

ga pake seragam gapapa, asal sekolah


jumlah seluruh anak kelas 1, 2, 3 SMP hanya sekitar 12 orang


Yakati, 28 Juli 2012 

Tidak ada komentar

© RIWAYAT
Maira Gall