“waktu telah tiba, aku kan
meninggalkan. Tinggalkan kamu, tuk sementara…”
Saya orang yang sulit menerima perpisahan.
Saya merasa ada penyakit psikologis yang saya idap, yang membuat saya
begitu sulitnya menerima perpisahan. Dulu, saat saya kecil, SD lebih tepatnya,
jika ada tamu yang menginap di rumah barang 3 atau 4 hari, saya akan diliputi perasaan
was-was. Saya takut jika tamu
itu pulang dan saya merasa sedih. Dan ketakutan saya itu ternyata benar.
Setelah tamu itu pulang, saya kan menangis jejeritan seperti ditinggal oleh
orang itu selamanya. Padahal sebetulnya,
saya tidak mempunyai hubungan darah dengan orang itu. Tapi saya merasa sangat kehilangan.
Kejadian seperti itu selalu berulang.
Dengan orang yang jauh dan tak punya
hubungan darah saja, saya seperti itu lantas bagaimana dengan keluarga? Wah
jangan tanya. Saya bisa lebih parah untuk meratapi kepergian keluarga saya itu.
Semisal, nenek saya datang dan menginap selama seminggu, nanti menjelang nenek
saya pulang, saya akan menangis tak berhenti hingga nenek saya pulang.
Sebetulnya bukan menangisnya yang saya permasalahkan. Toh saya juga kerap menangis. Yang saya
permasalahkan adalah perasaan “sesak” karena ditinggal ini. Saya sedih dan
sangat kehilangan sekali. Mungkin saya menderita lebayisme goodbye syndrome
kali ya?
Saya merasa itu sangat mengganggu. Saya tentu tidak bisa begitu terus. Saya
capek untuk menanggung perasaan sedih karena ditinggal. Beruntungnya, semenjak
saya SMA dan hingga kuliah, saya jarang dirumah, jadinya jika ada saudara atau
kerabat yang menginap dirumah saya, saya tak harus menderita lebayisme goodbye syndrome lagi.
Saya pikir, penyakit lebayisme
goodbye syndrome saya ini sudah sembuh.
Tapi ternyata belum -__-
Saya masih menderita penyakit ini ternyata.
Yang saya sadar adalah ketika perpisahan gardep 42.
Saya merasa kambuh lagi dengan penyakit ini. Saat perpisahan gardep 42 ini, saya menangis tak
henti selama 2 hari, 2 malam. Sebetulnya tak jelas juga apa yang kita tangisi.
Tapi yang jelas ada perasaan sesak yang mendalam ketika saya tau saya akan
mengalami perpisahan.
Dan rasa sesak itu akan mengantarkan pada air hangat yang keluar dari
pelupuk mata. Dan samapi rasa sesak itu berhenti, maka air itu akan terus
mengucur. Sungguh ironi saya yang menderita lebayisme
goodbye syndrome ini.
Dan pagi ini, saya kembali mendapati diri saya terkena lebayisme goodbye syndrome lagi.
Kali ini adalah karena partner siaran saya yang bernama arga nalasukma
telah pergi dari acara morning sunrise. dia telah mendapat pekerjaan yang lebih “layak” di
malang dan akan segera hidup di fase selanjutnya.
Di siaran terakhir kami tadi pagi, saya tak kuasa untuk menahan air mata,
bahkan saat on air. Perasaan
sesak menyebalkan ini hadir lagi dan membuat saya betul-betul merasa
kehilangan. ya bagaimana saya bisa tidak sedih, setiap harinya, dari senin sampai jumat, pukul 05.00-08.00 saya
menghadapi program morning sunrise dengan seorang arga nalasukma selama hampir
6 bulan ini. Tidak akan mudah tentunya bagi saya untuk menghadapi hari-hari di unisi
tanpa kehadiran arga nalasukma.
Penyakit langka yang menyerang saya ini membuat saya sangat takut merasa
memiliki secara emosional terhadap orang. Lah wong, tidak terlibat secara
emosional saja saya sudah bisa menangis meraung-raung dan “sesak hati” karena
ditingal, bagaimana jika saya mencintai dengan amat sangat sesorang nantinya?
Terakhir kali saya merasa mencintai sepenuh hati, saya merasa sangat ditinggalkan dan
penyakit lebayisme goodbye syndrome
kembali menyerang. Untuk itu, saya sangat berhati-hati dengan lelaki yang akan
masuk dalam hidup saya. Saya memproteksi diri saya dengan amat agar saya tidak
mudah terkena lebayisme goodbye syndrome
ini dengan sembarang orang. (Loh, kok jadi nyambung kesini sih? Hehehe)
lebayisme goodbye syndrome ini harus saya atasi. Karena secara pasti,
saya akan kehilangan satu persatu semua oarng yang ada di dunia ini. Entah itu
selamanya atau sementara. Tapi pasti aan kehilangan.
Bahkan hingga kini saya masih tak bisa menampik ketakutan saya akan
kematian yang kelak akan menimpa mama, ayah, serta nenek-kakek saya. Walaupun
saya juga tidak tahu pasti, siapa yang akan lebih dulu menghampiri garis
kematian. Tapi tetap saja saya takut.
Saya takut menerima perpisahan.
Saya benci konsep perpisahan, walapun itu merupakankonsep mutlak kehidupan yang nyata adanya.
Tapi walupun saya mengidap lebayisme
goodbye syndrome tapi saya juga percaya bahwa dliuar sana sejuta pertemuan
telah menanti saya. hidup ini imbang. Ketika satu perpisahan memilukan saya,
tapi itu akna terganti dengan pertemuan yang menghadang. Itu pasti!
Pertemuan yang indah akan terjadi, sesaat setelah saya mengharu biru
mengikhlaskan perpisahan. Sama seperti pertemuan saya dengan kamu *eh, kok
nyambungnya kesini lagi*
NB : tulisan ini untuk mereka yang belum paham arti perpisahan. Saadrailah
bahwa saat perpisahan ada di dekat mata, maka pertemuan akan segera hadir.
Begitupun saat pertemuan itu terjadi, maka perpisahan itu ada di belakangnya
sebagai bayangan. Jadi tidak ada yang perlu ditangisi dari konsep perpisahan
ini J
#30
#31harimenulis
Tidak ada komentar
Posting Komentar